Hukum-hukum Puasa bagi Musafir

Artikel Ramadhan (12)

5
4676

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pertama: Keringanan bagi Musafir

Musafir, orang yang melakukan perjalanan jauh dibolehkan berbuka dan tidak diwajibkan berpuasa, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’.

Allah ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka siapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan).” [Al-Baqoroh: 184]

Dan firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan). Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى

“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian sholat atau separuh sholat dan puasa dari musafir dan dari wanita menyusui atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]

Al-‘Allaamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وقد أجمع العلماء أنه يجوز للمسافر الفطر

“Ulama sepakat bahwa dibolehkan bagi musafir untuk berbuka.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/326]

Kedua: Bolehkah Musafir Berpuasa?

Kondisinya ada tiga:

1) Apabila musafir berpuasa akan membahayakannya atau sangat memberatkannya maka hukumnya haram ia berpuasa, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [An-Nisa’: 29]

Dan firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqoroh: 195]

Sahabat yang Mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma meriwayatkan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ، فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar menuju Makkah di tahun Fathu Makkah di bulan Ramadhan, beliau ketika itu sedang berpuasa sampai tiba di bukit lembah Al-Ghamim, dan manusia ketika itu juga berpuasa, maka beliau meminta segelas air, lalu mengangkatnya agar manusia dapat melihatnya, kemudian beliau minum, maka dikatakan kepada beliau setelah itu: Sesungguhnya sebagian manusia masih ada yang berpuasa. Beliau bersabda: Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat.” [HR. Muslim]

2) Apabila musafir berpuasa akan memberatkannya, namun ia masih mampu untuk berpuasa maka hukumnya makruh, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, beliau meriwayatkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seseorang yang dinaungi (karena kepayahan). Beliau pun bersabda: Ada apa dengannya? Mereka berkata: Dia sedang puasa. Maka beliau bersabda: Tidak termasuk kebaikan, melakukan puasa ketika safar.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat An-Nasaai,

إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ، وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا

“Sesungguhnya tidak termasuk kebaikan, kalian berpuasa ketika safar, hendaklah terhadap keringanan dari Allah yang Dia berikan kepada kalian, terimalah.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1054]

Dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai keringanan-keringanan dari-Nya diambil, sebagaimana Allah membenci kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.” [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 1886]

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

إذا اشتد الحر، وعظمت المشقة، تأكد الفطر، وكره الصوم للمسافر

“Apabila sangat panas dan berat bebannya maka dimakruhkan bagi musafir untuk berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]

3) Apabila musafir berpuasa tidak membahayakannya dan tidak pula memberatkannya, atau kondisinya sama saja, baik berbuka atau berpuasa tidak ada bedanya, maka boleh baginya untuk berpuasa dan boleh berbuka, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِر

“Hamzah bin Amr Al-Aslami radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang puasa ketika safar? Beliau bersabda: Kalau kamu mau berpuasa silakan dan kalau kamu mau berbuka juga silakan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Juga hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata,

كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak puasa, dan orang yang tidak puasa tidak mencela orang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ومن صام فلا حرج عليه إذا لم يشق عليه الصوم، فإن شق عليه الصوم كره له ذلك

“Barangsiapa berpuasa maka tidak ada dosa atasnya apabila puasa tidak menyulitkannya, namun apabila memberatkannya maka dimakruhkan baginya berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]

Ketiga: Dalam Kondisi Musafir Boleh Berbuka dan Boleh Berpuasa Mana yang Afdhal baginya?

Pendapat yang lebih kuat insya Allah adalah berpuasa yang afdhal baginya, karena empat alasan:[1]

1) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berpuasa ketika safar. Sahabat yang Mulia Abu Ad-Darda’ radhiyallahu’anhu berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami keluar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebagian safar beliau di hari yang sangat panas, sampai seorang laki-laki meletakkan tangannya di atas kepala karena sangat panasnya, dan tidak ada seorang pun diantara kami yang berpuasa selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rowahah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

2) Berpuasa lebih cepat menunaikan kewajiban, tidak tertunda.

3) Berpuasa lebih mudah ketika dilakukan bersama-sama kebanyakan kaum muslimin daripada melakukannya sendiri.

4) Berpuasa di bulan Ramadhan lebih afdhal.

Keempat: Jarak Safar yang Membolehkan Berbuka

Jarak safar yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah jarak safar yang membolehkannya meng-qoshor sholat, yaitu meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at. Berapa jarak minimalnya?

Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat jarak minimalnya adalah kurang lebih 80 KM. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah.[2]

Pendapat Kedua: Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak safar dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) manusia.[3] Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[4] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah.[5]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil yang shahih lagi sharih (tegas) yang menentukan jarak safar, maka dikembalikan kepada kebiasaan manusia (‘urf).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كُلُّ اسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجِعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَّقَ بِهِ الشَّارِعُ الْحُكْمَ

“Setiap nama yang tidak memiliki batasan dalam bahasa dan tidak pula dalam syari’at, maka rujukan untuk menentukannya dikembalikan kepada kebiasaan, maka apa yang dianggap safar menurut kebiasaan manusia, itulah safar yang dikaitkan dengan hukum oleh Penetap syari’at.” [Majmu’ Fatawa, 24/40-41]

Kelima: Apabila Terjadi Perbedaan Kebiasaan Manusia dalam Penentuan Jarak Safar

Apabila seseorang sulit memastikan kebiasaan manusia dalam penentuan satu jarak safar karena perbedaan kebiasaan mereka maka hendaklah kembali kepada pendapat jumhur ulama, yaitu 80 KM.

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

ولا حرج عند اختلاف العرف فيه أن يأخذ الإنسان بالقول بالتحديد؛ لأنه قال به بعض الأئمة والعلماء المجتهدين, فليس عليهم به بأس إن شاء الله تعالى, أما مادام الأمر منضبطاً فالرجوع إلى العرف هو الصواب

“Tidak mengapa ketika terjadi perbedaan kebiasaan dalam jarak tertentu sehingga seseorang mengambil pendapat yang menentukan jarak safar (80 KM), karena itu adalah pendapat sebagian imam dan ulama mujtahid, maka tidak mengapa insya Allah, namun apabila perkaranya dapat dipastikan dengan kebiasaan maka dikembalikan kepada kebiasaan itulah yang benar.” [Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no.1098]

Keenam: Kapan Musafir Boleh Berbuka?

Musafir baru dibolehkan berbuka ketika ia telah berstatus sebagai musafir. Maka apabila seseorang berniat di malam hari untuk safar di siang hari, tidak boleh ia masuk waktu pagi dalam keadaan tidak berpuasa, karena ia baru meniatkan safar, belum melakukan safar.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,

وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُسَافِرِ فِي رَمَضَانَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُبَيِّتَ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْمُسَافِرَ لَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالْعَمَلِ وَالنُّهُوضِ فِي سَفَرِهِ

“Para Fuqoha sepakat dalam permasalahan musafir di bulan Ramadhan bahwa ia tidak boleh bermalam dalam keadaan berniat tidak berpuasa, karena musafir tidak menjadi musafir dengan sekedar berniat safar, tetapi dengan perbuatan dan mulai melakukan safarnya.” [At-Tamhid, 22/49]

Ketujuh: Di Mana Musafir Boleh Berbuka?

Pendapat Pertama: Apabila sudah meninggalkan perumahan kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah.[6]

Pendapat Kedua: Apabila sudah siap melakukan safar walau masih berada di kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.[7]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya dari Tabi’in yang Mulia Muhammad bin Ka’ab rahimahullah, beliau berkata,

أَتَيْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا، وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ، وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ، فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ، فَقُلْتُ لَهُ: سُنَّةٌ؟ قَالَ: سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ

“Aku mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan dan beliau ingin melakukan safar, kendaraannya pun telah disiapkan dan beliau telah mengenakan pakaian safar, maka beliau meminta makanan lalu memakannya. Aku pun berkata kepadanya: Apakah ini sunnah? Beliau berkata: Ya sunnah. Kemudian beliau naik kendaraan.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, 1/419]

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، وَقَالُوا: لِلْمُسَافِرِ أَنْ يُفْطِرَ فِي بَيْتِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْصُرَ الصَّلاَةَ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ جِدَارِ الْمَدِينَةِ أَوِ القَرْيَةِ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيِّ

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini, mereka berkata: Boleh bagi musafir untuk berbuka di rumahnya sebelum keluar, tetapi tidak boleh baginya meng-qoshor sholat sampai ia keluar dari perumahan kotanya atau kampungnya, ini adalah pendapat Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali.” [Sunan At-Tirmidzi, 2/155]

Kedelapan: Apabila Musafir Singgah di Satu Daerah, Masih Bolehkah baginya Berbuka atau Tidak Berpuasa?

Pendapat Pertama: Boleh berbuka hanya bagi musafir yang tinggal sementara di suatu daerah dalam waktu kurang dari empat hari, apabila lewat empat hari maka wajib baginya puasa dan tidak boleh meng-qoshor sholat. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.[8]

Pendapat Kedua: Selama apa pun boleh baginya berbuka selama ia tidak berniat mukim. Pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.[9]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, karena tidak ada dalil shahih dan sharih yang menunjukkan penentuan batas waktu bagi musafir yang singgah di satu negeri, maka selama ia tidak menetap, statusnya masih musafir, berlaku baginya hukum-hukum musafir terkait sholat dan puasa.

Dan terdapat banyak riwayat para sahabat dan tabi’in yang tinggal sementara di satu negeri selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam keadaan meng-qoshor sholat, karena mereka tidak berniat untuk menetap atau bermukim.

Namun telah kami jelaskan di atas, dalam kondisi musafir mampu berpuasa dan tidak merasa berat, maka lebih afdhal melakukan puasa daripada berbuka.

Kesembilan: Orang yang Safar dengan Pesawat atau Kendaraan yang Nyaman, Masih Bolehkah Berbuka?

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة

“Tidak apa-apa bagi musafir untuk berbuka, sama saja apakah sarana transportasinya nyaman atau tidak nyaman, berdasarkan keumuman dalil-dalil (tidak memberikan pengecualiaan terhadap jenis transportasi tertentu).” [Majmu’ Al-Fatawa, 15/236]

Kesepuluh: Apabila Musafir Pulang di Siang Hari dalam Keadaan Tidak Berpuasa, Bolehkah baginya Makan, Minum dan Berhubungan Suami Istri?

Pendapat Pertama: Tidak boleh karena statusnya bukan lagi musafir. Pendapat ini dikuatkan Al-Lajnah Ad-Daimah.[10] Tetapi tidak sah baginya berpuasa apabila telah masuk waktu pagi dalam keadaan berbuka atau tadinya berpuasa kemudian telah berbuka karena safar, maka ia tetap harus meng-qodho’.

Pendapat Kedua: Boleh karena ia berbuka dengan sebab yang dibolehkan syari’at. Pendapat ini dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah.[11]

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil shahih lagi sharih yang mengharuskannya untuk menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri dalam keadaan ia tidak berpuasa, dan terdapat beberapa riwayat dari Salaf yang menguatkan pendapat ini.

Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,

من أفطر أول النهار فليفطر آخره

“Barangsiapa dibolehkan berbuka di awal hari maka boleh baginya berbuka di akhirnya.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/54]

Al-Imam Malik dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata,

وَلَوْ قَدِمَ مُسَافِرٌ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ طَهُرَتْ جَازَ لَهُ وَطْؤُهَا

“Andai seorang musafir kembali dalam keadaan seperti ini, lalu ia mendapati istrinya baru bersih dari haid (dan tidak berpuasa karena sampai Shubuh masih haid), maka boleh baginya untuk menggauli istrinya tersebut.” [At-Tamhid, 22/53]

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ubaid, dari Jabir bin Zaid rahimahumullah,

أَنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَوَجَدَ الْمَرْأَةَ قَدِ اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا فَجَامَعَهَا

“Bahwa beliau ketika pulang dari safar di bulan Ramadhan, mendapati istrinya baru mandi besar dari haidnya, maka beliau menggaulinya.” [At-Tamhid, 22/53]

Kesebelas: Suami Istri yang Melakukan Safar di Bulan Ramadhan

Suami istri yang melakukan safar bersama di bulan Ramadhan boleh berhubungan suami istri karena tidak wajib bagi mereka berpuasa.

Akan tetapi bila mereka melakukan safar hanya untuk bersiasat agar mendapat keringanan berhubungan suami istri maka dosa mereka lebih besar, karena mereka telah membatalkan puasa dengan berjima’ dan melakukan tipu daya dalam syari’at.

Maka wajib atas mereka bertaubat kepada Allah ta’ala dan membayar kaffaroh, sebagaimana akan datang pembahasannya lebih detail insya Allah ta’ala.

Keduabelas: Apa Kewajiban Musafir yang Tidak Berpuasa?

Kewajibannya hanyalah meng-qodho’ sejumlah hari yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Ketigabelas: Puasa Pekerja yang Terus Melakukan Safar Seperti Pilot dan Supir

Keumuman dalil mencakup orang-orang yang bekerja dalam keadaan safar seperti supir, pilot dan yang semisalnya, maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan meng-qoshor sholat.

Kewajiban mereka hanyalah meng-qodho’ puasa setelah bulan Ramadhan, selain di hari-hari yang terlarang berpuasa, yaitu dua hari raya dan hari-hari Tasyriq.[12]

Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan di atas, dalam kondisi musafir mampu berpuasa dan tidak merasa berat, maka lebih afdhal melakukan puasa daripada berbuka.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Catatan Kaki:

[1] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/330 dan 6/343.

[2] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/203, no. 7652.

[3] Sebagai faidah seputar permasalahan ‘urf, lihat risalah ringkas kami yang berjudul “Al-‘Urf, Haqiqatuhu, wa Hujjiyyatuhu wa Tathbiqotuh”, yang kami susun di bawah bimbingan Dosen Pembimbing Asy-Syaikh Dr. Hisyam Muhammad As-Sa’id hafizhahullah.

[4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 24/38-44.

[5] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no. 1098.

[6] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/346.

[7] Lihat risalah “Tashih Hadits Ifthoris Shooim Qobla Safarihi wa Ba’dal Fajri”.

[8] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 12/276.

[9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 24/18.

[10] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/210 no. 1954.

[11] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409.

[12] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/212.

═══ ❁✿❁ ═══

Bimbingan Umroh & Haji Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc dan Asatidzah Ahlus Sunnah hafizhahumullah

Insya Allah Keberangkatan Umroh dan Haji 2024
– Umroh I’tikaf Akhir Ramadhan, Lebaran di Makkah 17 Hari (1 April ’24)
– Umroh Syawwal Libur Lebaran (15 April ’24)
– Haji Tanpa Antri 2024
– Umroh 17 Agustus 2024
– Umroh Desember (Akhir Tahun 2024)

HUBUNGI wa.me/628118247111

Gabung Grup WA Info dan Konsultasi Fikih Umroh dan Haji Asatidzah Ahlus Sunnah: https://chat.whatsapp.com/IxtiARFN3M2CsV5EJs3Fqo

═══ ❁✿❁ ═══

WA GROUP KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Admin:
wa.me/628111833375

TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/kitab_tauhid
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim

Medsos dan Website:
youtube.com/c/kajiansofyanruray
instagram.com/sofyanruray.info
facebook.com/sofyanruray.info
instagram.com/taawundakwah
facebook.com/taawundakwah
twitter.com/sofyanruray
sofyanruray.info

#Yuk_share agar menjadi amalan yang terus mengalir insya Allah. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]

5 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini