10 Permasalahan Qodho’ Puasa Ramadhan

Artikel Ramadhan (30)

0
8264

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

PERTAMA: ORANG-ORANG YANG WAJIB QODHO’

(1) Orang yang Berbuka Puasa karena Sakit yang Masih Diharapkan Kesembuhannya

Orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya dan merasa berat atau tidak mampu berpuasa atau perlu minum obat di siang hari maka boleh berbuka dan wajib atasnya untuk meng-qodho’ puasanya di hari-hari yang lain setelah Ramadhan, yaitu pada hari-hari yang tidak diharamkan berpuasa, setelah sembuh dari sakit.[1]

Allah ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka siapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan).” [Al-Baqoroh: 184]

Dan firman Allah ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]

Lihat pembahasannya lebih detail dalam pasal Hukum Puasa bagi Orang Sakit dan Orang Tua yang telah berlalu.

(2) Orang yang Berbuka Puasa karena Safar

Musafir yang berbuka puasa wajib untuk meng-qodho’ puasanya di hari-hari yang lain setelah Ramadhan, yaitu pada hari-hari yang tidak diharamkan berpuasa, sebagaimana ayat-ayat yang berbicara tentang orang sakit dan musafir di atas.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى

“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian sholat atau separuh sholat dan puasa dari musafir dan dari wanita menyusui atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]

Lihat pembahasannya lebih detail dalam pasal Hukum-hukum Puasa bagi Musafir yang telah berlalu.

(3) Orang yang Berbuka Puasa karena Khawatir Binasa (Tertimpa Mudarat yang Besar)

Ada tiga permasalahan yang banyak terjadi:

Permasalahan Pertama: Orang yang Berada di Negeri yang Siangnya Panjang atau di Musim yang Sangat Panas

Orang-orang yang berada di negeri yang siangnya panjang, atau di musim yang sangat panas, wajib bagi mereka berpuasa, kemudian apabila khawatir akan binasa maka boleh berbuka, dan wajib meng-qodho’ di hari-hari yang lain setelah Ramadhan, yaitu pada hari-hari yang tidak dilarang berpuasa.[2]

Allah ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” [An-Nisa’: 29]

Dan firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqoroh: 195]

Permasalahan Kedua: Hukum Puasa Orang yang Pekerjaannya Berat

Orang yang pekerjannya berat wajib berpuasa, apabila kemudian ia tidak kuat berpuasa dan khawatir binasa maka boleh berbuka, dan wajib meng-qodho’.

Dan hendaklah para Penanggung Jawab pekerjaan untuk tidak membebani para pekerja dengan pekerjaan yang berat di bulan Ramadhan, dan hendaklah dilakukan di waktu malam dan dibagi jadwal pekerjaan kepada para pekerja agar menjadi ringan.[3]

Permasalahan Ketiga: Hukum Puasa Pelajar yang Sedang Menghadapi Ujian Sekolah

Para pelajar yang menghadapi ujian sekolah di bulan Ramadhan tidak boleh berbuka puasa karena ujian sekolah tidak termasuk udzur syar’i.

Hendaklah mereka belajar di malam hari apabila berat di siang hari, dan hendaklah para Penanggung Jawab ujian untuk mengadakan ujian di luar bulan Ramadhan agar terkumpul dua kebaikan: Ibadah puasa dan konsentrasi menghadapi ujian.[4]

(4) Wanita yang Tidak Berpuasa karena Haid dan Nifas

Wanita yang haid atau nifas tidak dibolehkan berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah wanita haid tidak boleh puasa dan sholat.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]

Dan wajib bagi wanita haid dan nifas untuk meng-qodho’ di hari-hari yang tidak dilarang berpuasa setelah Ramadhan,[5] sebagaimana dalam hadits Mu’adzah rahimahallah,

سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ،فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Aku bertanya kepada Aisyah -radhiyallahu’anha-: Mengapakah wanita haid harus meng-qodho’ puasa dan tidak meng-qodho’ sholat? Beliau berkata: Apakah kamu wanita Khawarij? Aku berkata: Aku bukan wanita Khawarij, tapi aku bertanya. Maka beliau berkata: Dahulu ketika kami haid, kami diperintahkan untuk qodho’ puasa, dan tidak diperintahkan untuk qodho’ sholat.” [HR. Muslim]

(5) Wanita yang Berbuka Puasa karena Hamil dan Menyusui

Wanita hamil dan menyusui sama dengan orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya, yaitu boleh berbuka apabila merasa berat untuk puasa atau khawatir mudarat, sama saja apakah mudarat untuk dirinya atau anaknya.

Dan hendaklah meng-qodho’, tidak perlu membayar fidyah, ini pendapat terkuat insya Allah ta’ala.[6]

Wanita hamil dan menyusui juga sama dengan musafir yang boleh berbuka, wajib meng-qodho’ di luar Ramadhan, dan tidak perlu membayar fidyah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى

“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian sholat atau separuh sholat dan puasa dari musafir dan dari wanita menyusui atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]

Bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa dalam waktu yang lama karena masa hamilnya dan masa menyusuinya bersambung dari satu anak ke anak yang lainnya, maka hukumnya sama, cukup baginya qodho’, dan tidak wajib fidyah. Dan tidak masalah walau qodho’nya dengan cara menyicil, tidak berurutan, serta sesuai dengan kemampuannya.[7]

KEDUA: HUKUM ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA TANPA UDZUR

Orang yang berbuka puasa Ramadhan sebelum matahari terbenam tanpa udzur maka ia telah melakukan dosa besar.

Bahkan termasuk kekafiran apabila disertai dengan penghalalan terhadap perbuatan haramnya tersebut atau pengingkaran terhadap kewajiban puasa, maka wajib atasnya bertaubat kepada Allah ta’ala.[8]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda tentang dua malaikat yang membawa beliau di dalam mimpi beliau,

ثُمَّ انْطَلَقَا بِي فَإِذَا قَوْمٌ مُعَلَّقُونَ بِعَرَاقِيبِهِمْ، مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

“Kemudian keduanya membawaku, maka tiba-tiba ada satu kaum yang digantung terikat di pergelangan kaki-kaki mereka, dalam keadaan robek mulut-mulut mereka serta mengalirkan darah, aku pun berkata: Siapa mereka? Dia menjawab: Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum dihalalkan atas mereka untuk berbuka puasa.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 3951]

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Orang yang Berbuka Tanpa Udzur Syar’i, Apakah Wajib Qodho’ atau Cukup Bertaubat?

Pendapat Pertama: Wajib qodho’, ini pendapat mayoritas ulama dan dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah dan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumullah, berdasarkan keumuman dalil-dalil.[9] Ini adalah pendapat yang lebih hati-hati insya Allah ta’ala.

Pendapat Kedua: Tidak wajib qodho’, ini pendapat sebagian Hanabilah dan Zhaahiriyyah, tetapi bukan untuk meringan-ringankan atau menyepelekan, namun karena puasa adalah ibadah yang terkait waktu, sehingga apabila waktunya telah lewat maka tidak ada lagi kewajibannya, kecuali ditetapkan dengan dalil. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumullah. Hanya saja Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah membedakan antara orang yang tidak puasa sama sekali sejak awal hari maka tidak ada qodho’ atasnya dan orang yang berpuasa lalu membatalkannya sebelum terbenam matahari maka wajib atasnya qodho’.[10]

KETIGA: KAPAN WAKTU AWAL DAN AKHIR QODHO’?

Waktu awal qodho’ adalah sejak tanggal 2 Syawwal dan seterusnya selain di hari-hari yang diharamkan berpuasa, yaitu dua hari raya (1 Syawwal dan 10 Dzulhijjah) dan tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Adapun waktu akhir qodho’ maka tidak ada batasan waktu sahnya qodho’, hanya saja yang diwajibkan adalah sebelum Ramadhan berikutnya.

Dan boleh menunda qodho’ sampai bulan Sya’ban sebelum Ramadhan berikutnya, hanya saja qodho’ lebih cepat lebih afhdhal, kecuali terdapat udzur syar’i.

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

“Aku pernah memiliki kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, maka aku tidak bisa meng-qodho’ kecuali di bulan Sya’ban.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Akan tetapi yang dibolehkan untuk menunda qodho’ sampai bulan Sya’ban hanyalah yang tidak berpuasa karena udzur. Adapun yang tidak memiliki udzur, wajib segera mengqodho’ setelah bulan Ramadhan.

KEEMPAT: APA KEWAJIBAN ORANG YANG MENUNDA QODHO’ SAMPAI RAMADHAN BERIKUTNYA?

Orang yang menunda qodho’ karena udzur syar’i sampai Ramadhan berikutnya maka ia tidak berdosa, dan wajib baginya meng-qodho’ sesuai jumlah hari-hari puasa Ramadhan yang ia tinggalkan, tidak menjadi berlipat ganda.

Adapun orang yang menundanya tanpa udzur syar’i hendaklah bertaubat kepada Allah ta’ala dan wajib baginya meng-qodho’, juga sesuai jumlah hari-hari puasa Ramadhan yang ia tinggalkan, tidak menjadi berlipat ganda.

Perbedaan Pendapat Ulama Apakah Harus Ditambah dengan Membayar Fidyah?

Pendapat Pertama: Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat harus disertai dengan fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari qodho’ puasa yang ditunda tanpa udzur sampai Ramadhan berikutnya, bersama dengan qodho’ dan taubat, pendapat ini juga dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, berdasarkan fatwa dari sejumlah sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma.

Pendapat Kedua: Menurut sejumlah ulama dari kalangan Hanafiyyah dan dipilih oleh Al-Bukhari serta dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah bahwa tidak wajib atasnya fidyah.11]

Pendapat yang lebih kuat dan lebih hati-hati adalah pendapat yang pertama insya Allah, karena adanya riwayat fatwa dari para sahabat radhiyallahu’anhum.

KELIMA: BOLEHKAH QODHO’ PUASA TANPA BERURUT?

Boleh qodho’ puasa tanpa berurut bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena udzur. Namun yang lebih afdhal dilakukan berurutan karena tiga alasan:[12]

(1) Dikerjakan berurutan lebih menyerupai puasa di bulan Ramadhan.

(2) Lebih cepat dalam menjalankan kewajiban.

(3) Lebih berhati-hati, karena seseorang tidak mengetahui halangan-halangan berpuasa yang akan terjadi padanya.

KEENAM: BOLEHKAH BERPUASA SUNNAH SEBELUM MENG-QODHO’ PUASA WAJIB?

Pendapat Pertama: Tidak boleh berpuasa sunnah sebelum qodho’, tidak sah dan berdosa orang yang melakukannya. Ini pendapat Hanabilah.[13]

Pendapat Kedua: Boleh selama waktunya masih lapang, tetapi lebih afdhal mendahulukan qodho’ Ramadhan. Ini pedapat mayoritas ulama dan dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah[14] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumullah.[15]

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua karena keumuman dalil. Hanya saja Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah memperkecualikan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, bahwa seseorang tidak akan meraih keutamaannya sebelum qodho’ Ramadhan, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian ia ikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim dari Abu Ayyub Al-Anshori radhiyallahu’anhu]

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan dua syarat untuk memperoleh pahala puasa setahun, yaitu:
1. Berpuasa Ramadhan, maknanya keseluruhan Ramadhan.
2. Berpuasa enam hari di bulan Syawwal.
Maka siapa yang hanya berpuasa sebagian Ramadhan dan belum meng-qodho’, ia tidak akan meraih pahala puasa setahun.[16]

Dan tidak boleh berpuasa dengan niat qodho’ dan niat puasa sunnah sekaligus.[17]

KETUJUH: HUKUM MENG-QODHO’ UNTUK ORANG LAIN YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

Orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan ada dua keadaan:[18]

(1) Udzurnya berlanjut sampai setelah bulan Ramadhan dan sampai wafat, maka tidak wajib atasnya qodho’. Seperti orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena sakit, lalu sakitnya berlanjut sampai setelah Ramadhan dan sampai wafat, maka tidak wajib atasnya qodho’, karena ia masih memiliki udzur sampai wafat.[19]

(2) Udzurnya berakhir setelah bulan Ramadhan dan sudah memungkinkan baginya untuk meng-qodho’ puasa, namun ia wafat sebelum meng-qodho’, apakah boleh bagi orang lain meng-qodho’ untuknya?[20]

Pendapat Pertama: Qodho’ puasa untuk orang lain hanya dibolehkan untuk puasa nadzar, adapun untuk mengganti puasa Ramadhan hendaklah dengan membayar fidyah. Ini pendapat jumhur ulama; Malik, Syafi’i, Ahmad dan selain mereka rahimahumullaah.

Pendapat Kedua: Qodho’ puasa untuk orang lain dibolehkan untuk semua puasa wajib, apakah Ramadhan, nadzar maupun kaffaroh. Ini pendapat para ahli hadits dari kalangan Syafi’iyyah dan selain mereka rahimahumullaah.

Pendapat Ketiga: Qodho’ puasa untuk orang lain tidak disyari’atkan sama sekali, tidak puasa wajib dan tidak pula puasa sunnah. Pendapat ini juga dinukil dari Malik, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i rahimahumullah dalam pendapat beliau yang baru (al-qoulul jadid).

Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, yaitu boleh untuk semua puasa wajib, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang wafat dan masih berhutang puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuknya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz[21] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah.[22]

Apabila Tidak Ada Orang yang Mengqodho’ Puasanya, Apa yang Disyari’atkan?

Hendaklah dibayarkan fidyah dari harta peninggalannya, sama seperti orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya atau orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa.

Sahabat yang Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,

إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِي رَمَضَانَ، ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ

“Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian wafat dan ia belum berpuasa maka hendaklah dikeluarkan fidyahnya.” [Diriwayatkan Abu Daud, Shahih Abi Daud: 2078]

Namun apabila ia tidak memiliki harta peninggalan maka tidak ada keharusan membayar fidyah baginya.[23] Namun dibolehkan bagi ahli waris untuk mengeluarkan fidyah dari harta mereka.[24]

Lihat pembahasan fidyah lebih detail dalam pasal Cara Membayar Fidyah yang telah berlalu.

KEDELAPAN: SIAPA WALI YANG DIANJURKAN MENG-QODHO’ PUASA MAYYIT?

Wali yang dimaksud adalah ahli waris, seperti anaknya atau selainnya dari kalangan ahli waris.

Namun apabila ada selain ahli waris yang mau meng-qodho’ baginya atau membayarkan fidyahnya maka tidak apa-apa.[25]

Tetapi yang afdhal adalah ahli waris yang melakukannya, karena qodho’ baginya adalah termasuk sebesar-besarnya perbuatan ihsan kepadanya dari ahli waris.

Dan tidak mengapa jika ada beberapa ahli waris membagi hari-hari puasanya, dan tidak mengapa juga walau para ahli warisnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, kemudian mereka melakukan puasa di satu hari yang sama.[26]

KESEMBILAN: WAJIBKAH BAGI WALI UNTUK MENG-QODHO’?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum meng-qodho’ bagi wali adalah mustahab, tidak wajib, karena apabila wajib maka ia berdosa jika tidak melakukannya, padahal Allah ta’ala berfirman,

وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [Al-An’am: 164]

KESEPULUH: HUKUM MENG-QODHO’ PUASA DI HARI JUM’AT ATAU SABTU

Boleh qodho’ puasa di hari Jum’at atau hari apa saja selain dua hari raya (1 Syawwal dan 10 Dzulhijjah) dan tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Hanyalah yang terlarang puasa di hari Jum’at adalah puasa sunnah dengan maksud mengkhususkan hari Jum’at saja tanpa berpuasa di hari sebelumnya atau setelahnya.[27]

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي، وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk sholat tahajjud tanpa dilakukan di malam-malam yang lain, dan janganlah kalian mengkhususkan puasa di hari Jum’at tanpa hari-hari yang lain, kecuali bertepatan dengan hari puasa yang biasa dilakukan oleh seorang dari kalian.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ، إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Janganlah seorang dari kalian berpuasa di hari Jum’at, kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Adapun larangan berpuasa di hari Sabtu maka haditsnya lemah.[28]

Andai haditsnya shahih sekali pun[29] maka yang terlarang hanyalah mengkhususkan puasa sunnah di hari Sabtu, tanpa berpuasa di hari sebelumnya atau setelahnya.[30]

Pelajaran Penting: Dari sini dapat kita pahami bahwa tidak boleh mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan dalam syari’at, karena itu termasuk menambah-nambah dalam agama yang dilarang keras dalam syari’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Catatan Kaki:

[1] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/211, 214.

[2] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/296.

[3] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/245-246.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/249.

[5] Lihat Fatawa Nur ‘alad Darb libni Baz rahimahullah, 7/212.

[6] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/223.

[7] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/227.

[8] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/143 no. 6060.

[9] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/218 no. 5136 dan Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/336.

[10] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/400.

[11] Lihat Fatawa Nur ‘alad Darbi libni Baz rahimahullah, 16/347 dqn Asy-Syarhul Mumti’, 6/445-446.

[12] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/441.

[13] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/442.

[14] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/382 no. 2232 dan 10/299 no. 2178.

[15] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/443.

[16] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/444.

[17] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/383 no. 6497.

[18] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 19/391.

[19] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/367 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 19/387.

[20] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 295.

[21] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/367.

[22] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/449-451.

[23] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/367-368 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 19/386.

[24] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/263-264 no. 17575.

[25] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 2/312 dan 19/395.

[26] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/525.

[27] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/283 no. 16744.

[28] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 25/213 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 20/36.

[29] Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan haditsnya shahih, sebagaimana dalam Tamaamul Minnah, hal. 406.

[30] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/463 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 20/37.

═══ ❁✿❁ ═══

Bimbingan Umroh & Haji Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc dan Asatidzah Ahlus Sunnah hafizhahumullah

Insya Allah Keberangkatan Umroh dan Haji 2024
– Umroh I’tikaf Akhir Ramadhan, Lebaran di Makkah 17 Hari (1 April ’24)
– Umroh Syawwal Libur Lebaran (15 April ’24)
– Haji Tanpa Antri 2024
– Umroh Muharram 1446
– Umroh 17 Agustus 2024
– Umroh Desember (Akhir Tahun 2024)

HUBUNGI wa.me/628118247111

Gabung Grup WA Info dan Konsultasi Fikih Umroh dan Haji Asatidzah Ahlus Sunnah: https://chat.whatsapp.com/IxtiARFN3M2CsV5EJs3Fqo

═══ ❁✿❁ ═══

WA GROUP KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Admin:
wa.me/628111833375

TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/kitab_tauhid
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim

Medsos dan Website:
youtube.com/c/kajiansofyanruray
instagram.com/sofyanruray.info
facebook.com/sofyanruray.info
instagram.com/taawundakwah
facebook.com/taawundakwah
twitter.com/sofyanruray
sofyanruray.info

#Yuk_share agar menjadi amalan yang terus mengalir insya Allah. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini