Bawalah Ucapan Saudaramu Kepada Makna yang Benar, Jagalah Persatuan

34
3670

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 Bawalah Ucapan Saudaramu ke Makna yang Baik

Telah dimaklumi bersama bahwa perpecahan sangat tercela dalam agama Islam yang mulia ini, bahkan perpecahan termasuk ciri-ciri orang kafir dan ahlu bid’ah. Allah ta’ala telah mengingatkan dalam kitab-Nya yang mulia,

وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Janganlah kamu seperti kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” [Ar-Rum: 31-32]

Oleh karena itu, generasi Salaf senantiasa berusaha menjaga persatuan kaum muslimin dengan menghindari sebab-sebab terjadinya perpecahan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sehingga, Salaf dahulu sangat berhati-hati dari semua yang mengandung sebab perpecahan dan rusaknya hubungan antara sesama muslim.

Sampai Al-Khalifah Ar-Rasyid, Sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata,

لاَ تَظُنَّ كَلِمَةً خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدَ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً

“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap kalimat yang diucapkan saudaramu sedang engkau masih menemukan kemungkinan makna yang baik dalam ucapannya itu.” [Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih rahimahullah, (2/418)]

Demikianlah wasiat generasi teladan kita, para sahabat nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menyikapi ucapan saudara muslim kita yang masih mengandung kemungkinan benar dan salah, terlebih jika saudara kita telah menegaskan bahwa yang dia maksudkan adalah makna yang benar, bukan makna yang salah.

Sebagai contoh, jika saudara kita mengucapkan bahwa, “Hukum karma itu ada dalam Islam.” Maka ucapan seperti ini mengandung dua makna:

  1. Makna yang batil, jika yang dimaksudkan dengan hukum karma adalah yang dipahami oleh umat Hindu dan Budha yang kafir kepada Allah ta’ala.
  2. Makna yang benar, adalah makna yang dipahami oleh kebanyakan orang awam dalam ilmu tentang Bahasa Indonesia, dimana mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan karma adalah balasan setimpal atas pelaku kejahatan.

Tidak diragukan lagi makna pertama salah dan makna kedua benar, maka hendaklah Anda bertanya apa yang dimaksud dalam ucapan saudaramu, apakah makna yang pertama atau kedua. Kalau memang Anda tidak mau bertanya maka bawalah ucapan saudaramu kepada makna yang benar sebagaimana bimbingan teladanmu, para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Terlebih jika saudaramu telah menegaskan bahwa karma yang dia maksudkan adalah makna yang kedua, seperti dalam penegasan berikut ini,

“Hukum karma dimaklumi ya dalam bahasa Indonesia, dalam pengertian kita. Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia juga mendapatkan akibat yang semisalnya. Nah hal yang semacam ini mungkin saja ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa pembalasannya itu sangatlah berat. Di dalam berbagai ayat diterangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, iya, memberikan balasan kepada orang yang berbuat dosa sesuai dengan amalannya masing-masing.”

Dan terlebih lagi jika saudaramu adalah seorang penyeru kepada kebaikan, kepada manhaj yang haq di tengah-tengah ramainya manusia yang menyeru kepada kesesatan, bukankah engkau memiliki kewajiban untuk menolong saudaramu dengan mengharumkan namanya agar manusia mengikuti seruannya dan tidak lari dari kebenaran yang ia serukan. Sedangkan Anda memaklumi bahwa sang penyeru kepada kebenaran tersebut adalah manusia biasa yang mungkin berbuat kesalahan,

Berikut ini adalah ringkasan nasihat Al-Walid Al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah dalam menyikapi kesalahan para da’i Ahlus Sunnah dalam sebuah risalah yang berjudul, “Uslub An-Naqd bayna Du’at wat Ta’qib ‘alaihi.”

Beliau rahimahullah berkata,

وقد شاع في هذا العصر أن كثيرا من المنتسبين إلى العلم والدعوة إلى الخير يقعون في أعراض كثير من إخوانهم الدعاة المشهورين , ويتكلمون في أعراض طلبة العلم والدعاة والمحاضرين . يفعلون ذلك سرا في مجالسهم . وربما سجلوه في أشرطة تنشر على الناس , وقد يفعلونه علانية في محاضرات عامة في المساجد , وهذا المسلك مخالف لما أمر الله به ورسوله من جهات عديدة منها

“Telah tersebar di zaman ini, banyak orang yang menghubungkan dirinya kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan, mereka itu telah menodai kehormatan banyak saudara-saudara mereka para da’i yang terkenal (berjalan di atas kebenaran). Mereka juga menjatuhkan kehormatan para penuntut ilmu, da’i dan penceramah. Mereka lakukan itu secara rahasia di majelis-majelis mereka dan bisa jadi mereka merekamnya dan disebarkan kepada khalayak. Bisa jadi juga perbuatan tersebut mereka lakukan secara terang-terangan dalam ceramah umum di masjid-masjid. Dan ini adalah sebuah metode yang menyelisihi perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya dari banyak sisi.”

Berikut ringkasan pelanggaran dalam perbuatan tersebut:

Pertama: Perbuatan tersebut melampaui batas terhadap hak-hak manusia, bahkan manusia yang paling mulia, yaitu para penuntut ilmu dan da’i yang telah mengerahkan tenaga mereka untuk membimbing manusia kepada kebaikan, memperbaiki aqidah umat dan manhaj mereka serta bersungguh-sungguh dalam mengadakan pengajaran, ceramah dan penulisan buku-buku yang bermanfaat.

Kedua: Perbuatan tersebut memecah belah kesatuan kaum muslimin, terlebih para du’at Ahlus Sunnah membutuhkan kekuatan dalam persatuan untuk menghadapi ahlul bid’ah dan orang-orang kafir.

Ketiga: Perbuatan tersebut menolong ahlul bid’ah dan orang-orang kafir dalam menjatuhkan Ahlus Sunnah.

Keempat: Perbuatan tersebut merusak hati kaum muslimin yang umum maupun yang khusus, sehingga memunculkan banyaknya kedustaan, ghibah, namimah dan membuka pintu-pintu keburukan terhadap orang-orang yang lemah jiwanya lagi suka menebar syubhat dan fitnah serta menyakiti kaum muslimin.

Kelima: Bahwa kebanyakan ucapan yang disebarkan tersebut adalah kedustaan atau sebuah kalimat yang masih mungkin ditafsirkan kepada makna yang benar sebagaimana ucapan Salaf (Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu) di atas.

Keenam: Sebagian ulama dan penuntut ilmu yang melakukan ijtihad tidaklah dicela karena kesalahan mereka dalam berijtihad, akan tetapi hendaklah dinasihati dengan cara yang terbaik dalam keadaan kita mengingankan agar sampai kepada kebenaran dan menolak tahrisy (memecah belah) yang dilakukan oleh setan. Jika tidak memungkinkan disampaikan secara langsung dan sembunyi-sembunyi, dan mengharuskan adanya nasihat secara terbuka maka hendaklah dinasihati dengan kata-kata yang paling halus dan lemah lembut.

Pada bagian akhir Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mewasiatkan,

فالذي أنصح به هؤلاء الأخوة الذين وقعوا في أعراض الدعاة ونالوا منهم أن يتوبوا إلى الله تعالى مما كتبته أيديهم , أو تلفظت به ألسنتهم مما كان سببا في إفساد قلوب بعض الشباب وشحنهم بالأحقاد والضغائن , وشغلهم عن طلب العلم النافع , وعن الدعوة إلى الله بالقيل والقال والكلام عن فلان وفلان , والبحث عما يعتبرونه أخطاء للآخرين وتصيدها , وتكلف ذلك

“Maka yang aku nasihatkan kepada para Ikhwah yang menjatuhkan kehormatan para da’i dan melecehkan mereka, untuk segera bertaubat kepada Allah ta’ala dari apa yang mereka tulis dengan tangan-tangan mereka atau yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka yang telah menjadi sebab rusaknya hati sebagian pemuda dan membakar mereka dengan kedengkian dan kebencian, serta menyibukkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan dakwah kepada Allah ta’ala dengan qila wa qaala (desas desus) dan pembicaraan tentang fulan dan fulan, dan membahas apa yang mereka anggap sebagai kesalahan orang lain, mencari-carinya dan berlebihan padanya.”

Sebagaimana beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah) juga mewasiatkan agar tidak terburu-buru dalam menulis suatu bantahan sebelum mengembalikannya kepada para orang-orang yang berilmu. Allah ta’ala telah mengingatkan,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [An-Nisa’: 83]

[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, (7/311-314)]

Peringatan: Tidak diragukan lagi yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam wasiat beliau di atas adalah para da’i Ahlus Sunnah, bukan dalam mengkritik ahlul bid’ah dan orang-orang kafir. Hal ini perlu kami ingatkan sebab seringkali ahlul bid’ah dari kalangan hizbiyun bertameng dengan nasihat ini sebagaimana mereka juga bertameng dengan kitab Rifqon Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah untuk menyalahkan Ahlus Sunnah yang mengkritik da’i-da’i mereka yang sesat.

Bimbingan Ulama dalam Menasihati Kesalahan Orang-orang yang Berilmu

Terlebih lagi jika ternyata orang yang engkau jatuhkan kehormatannya itu adalah seorang yang berilmu maka ketahuilah, tidak ada yang lebih mengenal keutamaan dan kedudukan orang-orang yang berilmu melebihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan inilah salah satu karakter Ahlus Sunnah yang membedakannya dengan Ahlul Bid’ah. Tanda Ahlus Sunnah adalah memuliakan orang-orang yang berilmu dan tanda Ahlul Bid’ah adalah menjatuhkan kehormatan mereka.

Oleh karena itu, termasuk kewajiban seorang muslim adalah memberikan nasihat kepada orang-orang yang berilmu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama itu adalah nasihat,” Kami bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin (ulama dan pemerintah) kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.” [HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu]

Adapun yang dimaksud dengan nasihat terhadap orang-orang yang berilmu adalah,

1. Mencintai mereka

2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran

3. Membela kehormatan mereka

4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan PENGHORMATAN

5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi manusia

Tahapan Dalam Menyikapi Kesalahan Orang yang Berilmu

Seorang yang berilmu mungkin melakukan kesalahan, akan tetapi berbeda cara menyikapi kesalahan orang yang berilmu dan orang yang jahil. Inilah tahapan menyikapi kesalahan orang yang berilmu, kami ringkas dengan sedikit perubahan dari penjelasan Faqihul ‘Asrh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah,

TAHAPAN PERTAMA: Melakukan tatsabbut [pemastian] berita tentang kesalahan tersebut kepadanya, karena berapa banyak kesalahan yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu secara dusta.

TAHAPAN KEDUA: Hendaklah diteliti apakah yang dianggap sebagai kesalahan tersebut benar-benar suatu kesalahan atau ternyata justru itu adalah kebenaran, karena sering terjadi di awal kali kita menganggap sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti lebih jauh menjadi jelas bahwa hal itu adalah kebenaran.

TAHAPAN KETIGA: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.

TAHAPAN KEEMPAT: Adapun jika ternyata ucapan orang yang berilmu itu memang suatu kesalahan dan penisbatan kesalahan itu kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan adalah:

  • MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan ADAB dan SOPAN SANTUN, lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini dan itu, maka aku ingin engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab engkau lebih tahu dariku?”
  • Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang ‘alim tersebut telah salah maka engkau memiliki hak untuk munaqosyah [menyampaikan pendapatmu], akan tetapi dengan ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya sesuai dengan kedudukan dan kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
  • Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa sikap keras dan kasar serta menjatuhkan kehormatan orang-orang yang berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap ‘ujub [kagum terhadap diri sendiri] dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah Ahlus Sunnah yang berjalan di atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh dari jalan Salaf. Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat yang lainnya kecil di hadapannya.

[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Syarhul ‘Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 140-142]

34 KOMENTAR

  1. […] Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com/2012/03/24/bawalah-ucapan-saudaramu-kepada-makna-yang-benar-jagal… (Blog Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray) […]

  2. jazaakallahu khair ustadz atas penjelasannya, semoga Allah Ta’ala membuka pintu hati saudara kita yang masih menulis ataupun berkomentar miring di situs/blog pribadinya tentang ustadz-ustadz kita hafizhahumullah

  3. assalamu’alaikum

    Jazakallahu khair ya ustadz..
    Mudah2an bisa jadi obat terhadap penyakit2 yang terdapat di dalam tulisan-tulisan sebagian penuntut ilmu yang sibuk dengan urusan menjatuhkan kehormatan da’i ahlussunnah..

    aamiin

  4. Bismillah
    Afwan ustadz menulis sebagai kritikan terhadap saudara kita yg suka menulis tahdziran, apakah ustadz pun sudah menasihatinya secara sembunyi/ langsung kpd ybs?? mungkin cara seperti ini termasuk menjatuhkan / merendahkan saudara kita yang memang ilmunya belum setinggi “orang2 alim” ?. wallahu a’lam. barakallahu fiyk

    • Bismillah. Baarokallahu fiyk, coba Anda perhatikan kembali tulisan ini, tidak ada seorang pun yang dikritik dalam tulisan di atas secara khusus, ini untuk seluruh kaum muslimin, bahkan terlebih dahulu tulisan ini ana niatkan sebagai nasihat untuk ana pribadi.

      Dan perhatikan lagi, apa ada seorang Ikhwan yang direndahkan dalam tulisan ini, insya Allah tidak ada sama sekali dan tidak ada sedikitpun niat kami mengarah ke sana, sebab ini nasihatnya umum, terlebih nasihat Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah yang kami ringkas di atas ditujukan bagi seluruh umat.

      Ucapan Anda betul jika kami secara khusus menyebut nama seseorang dalam nasihat di atas. Adapun tulisan ini sama sekali tidak menulis nama seseorang dan memang tidak dikususkan untuk seseorang atau sekelompok orang, tetapi seluruh kaum muslimin. Sehingga jika ada orang yang berpemahaman bahwa tulisan ini dikhususkan kepada orang tertentu itu adalah kesalahan pemahamannya.

      Dan seorang pengikut kebenaran sejati, apabila dia dapatkan ternyata dirinyalah yang paling berhak dengan nasihat ini hendaklah dia bersyukur kepada Allah ta’ala dan berterima kasih kepada orang yang menasihatinya.

      • Barakallahu fiyk. – ustadz betul sekali tidak menulis nama seseorang dalam nasihat di atas, namun uraian yang ustadz sampaikan dalam memberikan contoh “tentang hukum karma” dan juga dari judul artikel sudah cukup menunjukan sebuah nasihat yang khusus pada seseorang dan umumnya untuk kaum muslimin. ana tidak ada maksud untuk membenarkan siapapun yang mengkritik atau menulis tahdziran dengan tidak adab dan atau tidak dengan penghormatan, bahkan menimbulkan perpecahan/perselisihan, namun mengapa ustadz pun tidak menasihati secara langsung dan tersembunyi?. bukankah itu lebih hikmah dan bijaksana?. jika seperti ini adanya, maka tidak heran akan lebih berkepanjangan fitnah-fitnah yg menimbulkan pro dan kontra. Semoga Allah menjaga kita semua dari pintu-pintu fitnah dan perselisihan.
        Jazakumullahu khoiron

        • Wa fiyk baarokallah,

          Pertama, Sudah ana katakan sebelumnya, bahwa nasihat ini ana niatkan bukan untuk ditujukan secara khusus, bahkan sebelum adanya kasus hukum karma sdh ana rencanakan menulis artikel ini tanpa memberikan contoh, kebetulan ada contoh ttg hukum karma maka ana sebutkan sekalian, sehingga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca. Maka ana tegaskan, barangsiapa yang memahami artikel ini ditujukan kepada satu orang tertentu dia telah salah.

          Kedua, Kalaupun dikatakan hal ini ditujukan kepada orang tertentu maka dalam syari’at, boleh memperingatkan penyimpangannya tanpa menyebut namanya, apabila memang kita melihat hal itu perlu untuk dilakukan, terlebih akan membawa manfaat bagi kaum muslimin. Perhatikan fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pada poin keenam pada link yang ana sertakan di akhir fatwa beliau, silakan diklik. Di situ beliau berdalil dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menegur sahabat yang salah tanpa menyebut nama mereka,

          ما بال أقوام قالوا كذا وكذا

          “Mengapakah mereka mengatakan ini dan itu!?”

          Pada akhir fatwa beliau melengkapi teks haditsnya,

          ما بال أقوام قالوا كذا وكذا لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني

          “Mengapakah mereka mengatakan ini dan itu, akan tetapi aku sholat dan tidur, aku puasa dan berbuka, aku juga menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan bagian dariku.”

          Ketiga, Sehingga yang akan membuat fitnah ini berkepanjangan insya Allah ta’ala bukanlah nasihat ini, atau nasihat dari manapun yang datang untuk mengingatkan seluruh kaum muslimin yang salah, tapi SIKAP orang yang bersalah dalam menerima nasihat, apakah dia mau menerima dengan baik, ataukah dia ingin memperpanjang fitnah ini?!

          Keempat, Di sisi lain, orang yang dinasihati, apabila dia mengetahui kesalahannya yang sudah TERSEBAR dan ada yang meluruskannya, hendaklah dia bersyukur kepada Allah ta’ala dan berterima kasih kepada orang yang meluruskannya, tanpa mempedulikan perasaan dia yang TERSINGGUNG. Ini sifat Salafi sejati. Sebab apabila kesalahannya tersebar dan diikuti oleh manusia dan menimbulkan berbagai macam fitnah maka dia akan menanggung dosa-dosa mereka tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.

          Kelima, Di sisi yang lain pula, kita berkewajiban untuk membela seorang yang berilmu yang dizalimi dan dijelek-jelekan namanya, perhatikan kembali nasihat Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas. Maka perlu disebutkan secara terbuka sehingga kaum muslimin dapat mengetahui bahwa orang yang berilmu tersebut adalah seorang Ahlus Sunnah yang layak diambil ilmunya.

          TAHAPAN KETIGA: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.”

          Maka artikel ini merupakan usaha kami untuk membela orang yang berilmu (yang tidak bersalah dalam masalah ini) dan menerangkan kepada manusia akan kebenarannya (dalam permasalahn ini), pahamilah dengan baik.

          Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepadaku dan kepadamu serta seluruh kaum muslimin.

    • Bismillah…
      Afwan,antum benar msh diKOLUT,gmn dsana,banykkah saudara2 kt ahlussunnah??,
      ana insyaALLAH ada rencana jalan2 ksana…Ikhwah kendari

  5. JAZAKALLOOHU KHOIR, artikel yg sgt bermanfaat, Sebaiknya artikel ini disampaikan kpd para du’at, shg jika dibaca dan diamalkan oleh seluruh du’at, fa Insya Allah persatuan salafiyyiin akan terjaga, tdk malah memprovokasi arus bawah melalui sindiran2 yg keras di majelis2 yg walopun ndak sebut nama tp jelas maksudnya.., persatuan ikhwah salafiyyin sgt dipengaruhi para da’inya, jika da’inya agak bersikap keras thp da’i lainnya maka mad’u akan bersikap jauh lebih keras. pepatah mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Semoga Allah persatukan hati-hati salafiyyiin khususnya di Indonesia. AAMIIN

  6. A’udzubillaahis Sami’il ‘Adziim minasy Syaythanirrajim

    فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

    “Maka siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?! Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-An’am: 144)

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

    ألا لا يمنعن رجلا هيبة الناس أن يقول بحق إذا علمهث

    “Janganlah kamu terhalang rasa segan kepada manusia untuk menyatakan kebenaran manakala ia telah mengetahui kebenaran itu” (Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, hadits no.4007, Asy Syaikh Al Albani: shahih)

    Dalam file dauroh Bali yang disebarluaskan di internet, ada pertanyaan menarik diajukan kepada Al Ustadz Dzulqarnain hadahullah yang terkait langsung dengan aqidah penting di dalam agama Hindu/Budha yakni hukum karma/karmaphala. Silakan simak jawaban beliau yang sangat menakjubkan….

    Pertanyaan : “Apakah hukum karma itu memang ada?”

    Jawaban : “Hukum karma dimaklumi ya dalam bahasa Indonesia, dalam pengertian kita. Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia juga mendapatkan akibat yang semisalnya. Nah hal yang semacam ini MUNGKIN SAJA ADA sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa pembalasannya itu sangatlah berat. Di dalam berbagai ayat diterangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, iya, memberikan balasan kepada orang yang berbuat dosa sesuai dengan amalannya masing-masing….(kemudian beliau membawakan ayat dan hadits untuk menguatkan FATWAnya di atas)

    Audionya:
    http://http://www.4shared.com/mp3/j4YPBuX1/hukum_karma_mungkin_saja_ada.html

    Pertanyaannya,

    Kenapa antum membela dia yg terjatuh dalam kesalahan? Apakah tulisan antum sudah ditanyakan kepada masyayikh? Bukankah di Madinah ada syaikh MANTAN hindu yg bisa antum mintai fatwanya? Yakni Prof. Asy Syaikh Al A’dzami
    Alangkah indahnya jika antum menasihatinya secara diam diam, dan menyuruhnya tobat, dan DIUMUMKAN di khalayak ramai

    Bagaimana HUKUM KARMA yg sebenarnya menurut penganutnya? KENAPA tidak antum kembalikan keyakinan hukum karma kepada pemiliknya, yakni penganut agama hindu dan budha tsb?

    Ittaqullah yaa ustadz…

    Inilah hukum karma yg sebenarnya:
    File .doc :
    http://www.4shared.com/office/GuK3WaK6/AL_USTADZ_DZULQARNAIN__AQIDAH_.html
    File .pdf:
    http://www.4shared.com/office/3M0-o0fY/AL_USTADZ_DZULQARNAIN__AQIDAH_.html

    Ana uhibbuka lillaah, barakallaahufiikum

    • Bismillah, ahabbakallahulladzi ahbabtaniy lahu wafiykum baarokallah, wa jazaaka khairon atas nasihat Antum untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, sesungguhnya ana adalah orang yang paling pantas mendapatkan nasihat tersebut karena jauhnya ana dari ketakwaan secara hakiki. Adapun sebagai tanggapan atas pertanyaan Antum,

      Pertama, Ana sama sekali tidak membela orang yang bersalah, akan tetapi meluruskan cara menegur orang berilmu yang salah dari kalangan Ahlus Sunnah yang tentu berbeda dengan menegur Ahlul Bid’ah. Dan itu jelas insya Allah ta’ala dalam nasihat Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah di atas.

      Kedua, Hukum karma yang sebenarnya menurut Hindu Budha di atas telah ana jelaskan bahwa hal itu tidak diragukan lagi kebatilannya, coba perhatikan sekali lagi tulisan di atas secara perlahan-lahan. Dan insya Allah jika ditanyakan kepada Masyaikh pasti jawabannya adalah sama, yaitu batil.

      Ketiga, Nasihat secara diam-diam dilakukan jika nasihat tersebut ditujukan secara khusus kepada person tertentu dari kalangan Ahlus Sunnah, adapun di sini, ana tidak menujukan nasihat ini kepada seorang pun secara khusus, tetapi kepada seluruh kaum muslimin.

      Keempat, Jika dibutuhkan, boleh menujukan nasihat kepada seseorang secara terang-terangan tanpa menyebut namanya, agar lebih jelas permasalahan ini silakan lihat pada fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pada teks fatwa lengkapnya, silakan klik pada link yang ana taut di akhir fatwa beliau di atas.

      Kelima, KENAPA tidak antum kembalikan keyakinan hukum karma kepada pemiliknya, yakni penganut agama hindu dan budha tsb?

      Jawabannya, karena bukan makna tersebut yang dimaksudkan oleh si pemilik ucapan.

  7. Bismillah, sehubungan dengan tulisan kami ini http://nasihatonline.wordpress.com/2012/03/24/bawalah-ucapan-saudaramu-kepada-makna-yang-benar-jagalah-persatuan/

    Ada masalah yang akan kami sampaikan, walaupun sebetulnya sudah dipahami oleh Ahlus Sunnah, apalagi seorang penuntut ilmu. akan tetapi demi menutup pintu setan terhadap sebagian Ikhwan agar tidak membawa mereka kepada pemahaman yang salah maka kami perlu jelaskan bahwa,

    PERTAMA: Makna karma yang menurut pengertian orang awam (yakni awam dengan Bahasa Indonesia, jika benar maknanya beda dgn pengertiian Hindu Budha) yang ana katakan dalam tulisan tersebut sebagai balasan setimpal bagi pelaku dosa adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi benar adanya, maka hal itu SAMA SEKALI TIDAK MENAFIKAN pelaku dosa tersebut mungkin mendapatkan ampunan Allah ta’ala dan tidak diadzab sama sekali, bahkan ada dosa yang mungkin diampuni dan pelakunya tidak diadzab, baik dia bertaubat maupun tidak bertaubat, namun ada dosa yang tidak mungkin diampuni kecuali dia taubat kepada Allah ta’ala sebelum mati.

    Perinciannya:

    1. Jika dosa tersebut adalah kesyirikan dan kekufuran maka pasti dosanya tidak akan diampuni jika dia mati sebelum taubat.

    Akan tetapi ini pun sebetulnya kalau mau dirinci lagi masih bisa dirinci, yaitu kalau seorang muslim terjatuh dalam kekafiran dan kesyirikan dan tidak bertaubat sebelum mati, dan hal itu dikarenakan kejahilannya maka mungkin dia akan mendapatkan ampunan Allah ta’ala, oleh karena itu tidak boleh mengkafirkan seorang muslim sebelum iqomatul hujjah atasnya.

    Inipun masih bisa dirinci lagi, yaitu apa sebab kejahilannya, jika sebabnya karena memang dia sendiri sengaja berpaling dari ilmu maka tidak ada udzur baginya.

    2. Jika dosa tersebut tidak sampai pada derajat kesyirikan dan kekufuran maka jika dia bertaubat dengan memenuhi syarat-syarat taubat insya Allah dia akan diampuni oleh Allah ta’ala dan tidak diazab.

    Dan jika dia belum sempat bertaubat maka keadaannya di bawah kehendak Allah ta’ala, jika Allah ta’ala berkehendak untuk diazab maka pasti dia diazab, dan jika Allah ta’ala berkehendak untuk mengampuninya maka dia akan diampuni.

    Dalilnya adalah firman Allah jalla wa ‘ala,

    إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

    “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lebih ringan dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(An-Nisa’: 48, 116)

    KEDUA: Nasihat dalam tulisan tersebut adalah nasihat ulama besar umat ini, yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah, sebuah nasihat yang disampaikan karena melihat kenyataan adanya sebagian orang yang salah dalam permasalahan tersebut.

    Kami nukil, sebagai nasihat bagi kaum muslimin bukan sebagai pembelaan terhadap orang-orang terhormat yang bersalah. Bukan pula karena suatu keyakinan bahwa orang berilmu yang salah tidak boleh dikritik, tetapi penjelasan bahwa BERBEDA cara mengkritik orang berilmu dari kalangan Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah.

    Semoga Allah ta’ala menolong kaum muslimin untuk mendengarkan ucapan yang baik dan memilih yang terbaik. Baarokallahu fiykum.

  8. Alhamdulillah, penjelasan di atas adil dalam timbangan mengkritik. Semoga pengelola —— memahami akan hal ini dan dapat lbh menjaga lisannya. Jazakallah kharian ustadz.

  9. Shodaqoo rohimahumalloh wa shodaqta ya ustadz.kalau kita perhatikan pesan syeikh bin baz;jangan terburu-buru dalam mengeluarkan bantahan terhadap orang yang berbuat kesalahan sebelum mengembalikan kpd para ulama.pernyataan ini kembali pada kesalahan yang butuh kedetailan dalam pengambilan sikap.karena kesalahan ada dua;1.jali(yg sudah jelas diketahui)seperti bid’ah rafidhoh,kesalahan ini jelas kita semua memperingatkan manusia darinya,2.khofi(samar) baik dari sisi kesalahan itu sendiri maupun cara pengambilan sikap, kesalahan semacam ini,harus dikompromikan kpd para ulama.sehingga pengambilan sikap kita bisa tepat sesuai maslahat dan mafsadat dan tidak membawa kpd dosa dan perpecahan serta perselisihan.,

  10. Baarakallaahu Fiik Ustadz Sofyan. Semoga Allah menajamkan pena Antum dalam mengurai dan menjelaskan setiap masalah dan kerancuan.

  11. Oh iya, Ustadz. Maaf, sedikit melenceng. Saya punya pertanyaan:
    1. Bagaimanakah hukumnya mempelajari kristologi bagi kaum muslimin?
    2. Bagaimanakah hukumnya wanita hamil luar nikah muslimah menikah dengan mayat?

    Terima kasih.

    • بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

      1. Hukumnya haram mempelajari kitab-kitab umat terdahulu, baik taurat, injil, zabur dan selainnya. Kecuali bagi seorang ‘alim dengan maksud membantah kitab-kitab tersebut.

      2. Tidak sah.

  12. Bismillah….
    Subhanallah setelah ana berulangkali mmbaca artikel di atas baru ana faham dan sungguh sgtlah adil dlm mmberikan jawaban…

    • Alhamdulillah ana sdh dengarkan keterangan Ustadz Muhammad hafizhahullah, yang intinya, beliau tidak mengingkari makna “hukum karma menurut orang-orang awam” yang diartikan dengan “balasan setimpal,” sebagaimana kaidah syari’at “al-jazaa’ min jinsil ‘amal”.

      Akan tetapi beliau mengingkari kita mengikuti istilah hukum karma ini sebab istilah ini milik orang-orang kafir, dan itu pula yang ana yakini. Oleh karena itu artikel ini inti sebenarnya bukan membela hukum karma, namun membela seorang yang berilmu dari kalangan Ahlus Sunnah yang dizalimi dengan tuduhan-tuduhan keji.

      Sesungguhnya orang yang berkal itu cukup baginya isyarat. Wallahul Musta’an.

  13. Subhanalloh! Ane baca dari awal sampai akhir komen. Afwan, ane ga bermaksud mengaku2 cerdas, uraian yg begitu gamblang utk dipahami masih saja ada yg berusaha menyeretnya ke maksud yg lain. Sungguh relevan artikel tsb dgn keadaan saat ini yg banyak terjadi perselisihan dan pertengkaran di antara ahlussunnah sendiri.

    Ane teringat ucapan bagus dalam hal ini dari seorang ‘alim yg kira2 begini: seorang klelaki itu tdk terlalu mempeributkan contoh

    barokallohu fiiKum

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini