بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Berlebih-lebihan, ekstrim, ghuluw dan terlalu gampang dalam memvonis seorang Ahlus Sunnah sebagai ahlul bid’ah atau mentahdzir seorang ulama dan da’i Ahlus Sunnah adalah musibah besar di masa ini, yang diingkari oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Tetapi, jangan menutup mata juga, tidak sedikit generasi baru bahkan lama yang telah mengenal Sunnah, namun bermudah-mudahan dan bergampangan dalam permasalahan manhaj.
Tidak jarang, mereka mudah tertipu dengan gelar-gelar akademis dari Timur Tengah lalu menganggap semua orang yang bergelar tersebut adalah Ahlus Sunnah, padahal pemikiran-pemikiran Khawarij begitu kuat bercokol dalam benak mereka dan terlihat jelas dalam ucapan dan gerakan mereka.
Bahkan bisa jadi seorang hizbi berpemahaman Khawarij, yang jahil lagi tak beradab, mereka anggap sebagai ‘Ustadz’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hanya karena ia membela ‘Wahabi’ dan mentahdzir ‘Syi’ah’.
Tidak sedikit pula, yang sudah ngaji bersama Ahlus Sunnah, tapi dengan mudahnya mengumbar emosi dan meluapkan kemarahan terhadap Pemerintah di media-media sosial.
Atau dengan entengnya menyebarkan berita-berita media yang mengandung cercaan terhadap Pemerintah. Bahkan tidak sedikit media-media yang dianggap bermanhaj Ahlus Sunnah dan memusuhi Syi’ah, Liberal dan kelompok-kelompok sesat lainnya, tetapi terang-terangan dalam ‘menasihati’ Pemerintah, dan media-media ini jarang atau tidak pernah sama sekali menyingkap fikrah Khawarij yang ada pada kelompok Ikhwanul Muslimin dan yang semisalnya.
Di sini kami tidak hendak menujukan peringatan ini kepada person-person tertentu atau komunitas-komunitas dakwah tertentu, namun nasihat ini umum, tidak ada maksud menjatuhkan pihak-pihak tertentu, sebab fenomenanya memang umum, hampir merata di setiap komunitas-komunitas kajian yang ber-intisab kepada Ahlus Sunnah, karena banyak faktor.
Ada faktor-faktor yang bisa dimaklumi seperti karena baru ngaji misalnya, ada pula yang sulit dipercaya, mengapa fulan yang kita kenal sebagai Ahlus Sunnah sudah sejak lama tapi tidak paham bahaya hizbiyah dan Khawarij, bahkan cenderung membela? Dengan siapa sebetulnya fulan berteman? Dari siapa saja ia mengambil ilmunya? Mengapa bisa kena syubhat?
Banyak faktor, bisa jadi salah satunya, saya sendiri sebagai Ahlus Sunnah insya Allah, atau sebagai Pendidik, kurang atau bahkan tidak sama sekali mengingatkan bahaya-bahaya hizbiyah harakiyyah dan fikrah Khawarij, serta tidak mempraktekan ilmu tentang itu di lapangan.
Oleh karena itu, melalui risalah ringkas ini kami ingin mengingatkan beberapa poin penting yang semoga dapat membantu kita berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah:
Pertama: Ketahuilah saudaraku, benar bahwa tidak semua orang yang bersalah bisa kita keluarkan dari Ahlus Sunnah, tidak semua orang yang bersalah bisa kita vonis ahlul bid’ah kemudian kita tahdzir. Tetapi itu bisa saja terjadi, bukan tidak mungkin. Maka ketahuilah, kesalahan yang mengeluarkan seseorang dari Ahlus Sunnah itu diantaranya adalah apabila kesalahan itu menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kaidah umum atau prinsip dasar agama.
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata,
أَنَّهُ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً» وَحَتَّمَ ذَلِكَ. وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ لَا يُعَدُّ مِنَ الْفِرَقِ إِلَّا الْمُخَالِفَ فِي أَمْرٍ كُلِّيٍّ وَقَاعِدَةٍ عَامَّةٍ
“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Semuanya di neraka kecuali satu.” Beliau memastikan hal tersebut. Dan telah berlalu bahwa tidaklah seseorang digolongkan kepada kelompok-kelompok sesat (ahlul bid’ah) itu kecuali orang yang menyelisihi dalam perkara yang menyeluruh dan kaidah umum (prinsip-prinsip dasar agama).” [Al-I’tishom, 2/764]
Diantara prinsip dasar agama yang sangat penting berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah menaati Pemerintah dan tidak memberontak, oleh karena itu Khawarij dihukumi sebagai ahlul bid’ah karena diantaranya menyelisihi Ahlus Sunnah dalam prinsip ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
و”الْبِدْعَةُ” الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ؛ كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ وَالرَّوَافِضِ وَالْقَدَرِيَّةِ وَالْمُرْجِئَةِ فَإِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ وَيُوسُفَ بْنَ أَسْبَاطٍ وَغَيْرَهُمَا قَالُوا: أُصُولُ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً هِيَ أَرْبَعٌ: الْخَوَارِجُ وَالرَّوَافِضُ وَالْقَدَرِيَّةُ وَالْمُرْجِئَةُ
“Bid’ah yang menggolongkan seseorang kepada ahlul ahwa (ahlul bid’ah) adalah bid’ah yang telah masyhur di kalangan ulama Sunnah akan penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti bid’ah Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Qodariyyah dan Murjiah, karena sungguh Abdullah bin Al-Mubarok, Yusuf bin Asbath dan selain keduanya berkata: Akar 72 golongan ada empat; Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Qodariyyah dan Murjiah.” [Majmu’ Al-Fatawa, 35/414]
Bahkan bersabar terhadap kezaliman penguasa juga termasuk prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كَانَ مِنْ الْعِلْمِ وَالْعَدْلِ الْمَأْمُورِ بِهِ الصَّبْرُ عَلَى ظُلْمِ الْأَئِمَّةِ وَجَوْرِهِمْ كَمَا هُوَ مِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَكَمَا أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأَحَادِيثِ الْمَشْهُورَةِ عَنْهُ
“Termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan Allah ta’ala adalah bersabar atas kezaliman dan kesewenang-wenangan penguasa, sebagaimana itu juga termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan telah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di dalam banyak hadits yang sudah masyhur.” [Majmu’ Al-Fatawa, 28/179]
Maka jelaslah bid’ah Khawarij itu tidak ringan, sebagaimana bid’ah Syi’ah mengeluarkan dari Ahlus Sunnah, demikian pula bid’ah Khawarij dapat mengeluarkan dari Ahlus Sunnah, jangan pandang remeh wahai saudaraku yang sudah mengenal Sunnah.
Dan diantara pangkal masalahnya adalah orang-orang yang berpemahaman Ikhwanul Muslimin yang memiliki bid’ah khawarij dan hizbiyyah harakiyyah yang telah mengenal Sunnah, tapi tidak rela meninggalkan pemahaman Khawarij, lalu mencoba untuk mencampuradukkan antara manhaj yang haq dan yang batil, sama saja mereka sadar atau tidak. Dan tidak sedikit pula yang sengaja disusupkan ke dalam barisan Ahlus Sunnah.
Atau orang-orang yang sudah mengenal Sunnah tapi masih suka ‘bergaul bebas’ dalam belajar, tidak peduli kepada Ahlus Sunnah atau kepada Ikhwanul Muslimin yang berpaham Khawarij. Pada akhirnya mereka termakan syubhat tanpa sadar.
Kedua: Kenalilah ciri-ciri Khawarij, agar engkau menjauhi dan waspada dari orang-orang yang memiliki ciri-ciri tersebut.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan menerangkan tiga ciri Khawarij yang paling mendasar:
1. Mengkafirkan kaum muslimin.
2. Memberontak terhadap pemerintah muslim.
3. Menghalalkan darah kaum muslimin.
[Lihat Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil Qodhooya Al-‘Ashriyyah, hal. 86]
Ketiga: Apakah yang disebut Khawaij itu harus melakukan tiga penyimpangan tersebut atau cukup satu saja sudah bisa dihukumi Khawarij?
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
: ومن اتصف بخصلة من خصالهم فهو منهم
.الذي يخرج على ولي الأمر هذا من الخوارج
.الذي يكفر بالكبيرة هذا من الخوارج
.الذي يستحل دماء المسلمين هذا من الخوارج
.الذي يجمع بين الأمور الثلاثة هذا هو أشد أنواع الخوارج
Barangsiapa mengadopsi salah satu sifat Khawarij tersebut maka ia bagian dari mereka:
1. Siapa yang memberontak kepada pemerintah maka ia termasuk Khawarij.
2. Siapa yang mengkafirkan pelaku dosa besar maka ia termasuk Khawarij.
3. Siapa yang menghalalkan darah kaum muslimin maka ia termasuk Khawarij.
4. Siapa yang mengumpulkan tiga perkara tersebut maka ia termasuk jenis Khawarij yang paling parah.
[Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil Qodhooya Al-‘Ashriyyah, hal. 86]
Keempat: Pemberontakan itu tidak saja terjadi dengan senjata, tapi bisa juga dengan kata-kata, seperti memprovokasi kebencian terhadap Pemerintah melalui Media Massa, walaupun dengan dalih menasihati, dan tidak akan pernah terjadi pemberontakan dengan senjata sebelum ada pemberontakan dengan kata-kata. Bahkan sejak dahulu, golongan Khawarij jenis ini sudah ada.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
والقعدية قوم من الخوارج كانوا يقولون بقولهم ولا يرون الخروج بل يزينونه
“Al-Qo’adiyah adalah satu kaum dari golongan Khawarij yang dahulu berpendapat dengan ucapan mereka, dan mereka tidak memandang untuk memberontak, akan tetapi mereka memprovokasi untuk melakukannya (dengan kata-kata).” [Fathul Bari, 1/432]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
بل العجب أنه وُجّه الطعن إلى الرسول صلى الله عليه وسلم ، قيل لـه : اعدل، وقيل لـه: هذه قسمة ما أريد بها وجه الله. وهذا أكبر دليل على أن الخروج على الإمام يكون بالسيف ويكون بالقول والكلام، يعني: هذا ما أخذ السيف على الرسول صلى الله عليه وسلم، لكنه أنكر عليه
ونحن نعلم علم اليقين بمقتضى طبيعة الحال أنه لا يمكن خروج بالسيف إلا وقد سبقه خروج باللسان والقول. الناس لا يمكن أن يأخذوا سيوفهم يحاربون الإمام بدون شيء يثيرهم، لا بد أن يكون هنـاك شيء يثـيرهم وهو الكلام. فيكون الخروج على الأئمة بالكلام خروجاً حقيقة، دلت عليه السنة ودل عليه الواقع
“Sangat mengherankan tatkala celaan itu diarahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (yaitu yang dilakukan oleh pentolan Khawarij, Dzul Khuwaisiroh). Dikatakan kepada beliau, “Berlaku adillah!” Juga dikatakan, “Pembagianmu ini tidak menginginkan wajah Allah!” Ini adalah sebesar-besarnya dalil yang menunjukkan bahwa memberontak kepada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa jadi pula dengan ucapan dan kata-kata. Maksudnya, orang ini tidaklah memerangi Rasul -shallallahu’alaihi wa sallam- dengan pedang, akan tetapi ia mengingkari beliau (dengan ucapan di depan umum).
Kita tahu dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan ucapan. Manusia tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi Penguasa tanpa ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa memprovokasi mereka, yaitu dengan kata-kata. Jadi, memberontak terhadap Penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan dalil As-Sunnah dan kenyataan.” [Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hal. 96]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
الخروج على الأئمة يكون بالسيف، وهذا أشد الخروج، ويكون بالكلام: بسبهم، وشتمهم، والكلام فيهم في المجالس، وعلى المنابر، هذا يهيج الناس ويحثهم على الخروج على ولي الأمر، وينقص قدر الولاة عندهم، فالكلام خروج
“Memberontak kepada Pemerintah bisa jadi dengan senjata, ini adalah pemberontakan yang paling jelek, dan bisa jadi pula dengan ucapan, yaitu dengan mencaci, mencerca dan berbicara tentang kejelekan Pemerintah di majelis-majelis dan mimbar-mimbar, ini dapat memprovokasi dan mendorong manusia untuk memberontak terhadap pemerintah dan menjatuhkan kewibawaan Pemerintah di mata mereka, maka ucapan adalah pemberontakan.” [Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil Qodhoya Al-‘Ashriyyah, hal. 107]
Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata,
فلا يجوز للإنسان أن ينشر المعايب. هذا نوع من الخروج, إذا نُشِرَتِ المعايب -معايب الحكام والولاة- على المنابر, وفي الصحف والمجلات, وفي الشبكة المعلوماتية؛ أبغض الناس الولاة, وألبوهم عليهم, فخرج الناس عليهم
“Tidak boleh bagi seseorang untuk menyebarkan aib-aib Pemerintah, ini termasuk pemberontakan, apabila aib-aib Penguasa disebarkan di mimbar-mimbar, koran-koran, majalah-majalah dan jaringan informasi, maka membuat orang-orang marah dan berkumpul untuk melawan, maka mereka pun memberontak kepada Pemerintah.” [Syarhul Mukhtar fi Ushulis Sunnah, hal. 339]
Kelima: Bagaimana cara menasihati Penguasa yang disyari’atkan?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
فالنصح يكون بالأسلوب الحسن والكتابة المفيدة والمشافهة المفيدة , وليس من النصح التشهير بعيوب الناس , ولا بانتقاد الدولة على المنابر ونحوها , لكن النصح أن تسعى بكل ما يزيل الشر ويثبت الخير بالطرق الحكيمة وبالوسائل التي يرضاها الله عز وجل
“Nasihat hendaklah dengan cara yang baik, tulisan yang bermanfaat dan ucapan yang berfaidah. Bukanlah termasuk nasihat dengan cara menyebarkan aib-aib manusia, dan tidak pula mengeritik negara di mimbar-mimbar dan semisalnya. Akan tetapi nasihat itu engkau curahkan setiap yang bisa menghilangkan kejelekan dan mengokohkan kebaikan dengan cara-cara yang hikmah dan sarana-sarana yang diridhoi Allah ‘azza wa jalla.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 7/306]
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga berkata,
ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة , وذكر ذلك على المنابر; لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف , ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع , ولكن الطريقة المتبعة عند السلف : النصيحة فيما بينهم وبين السلطان , والكتابة إليه , أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير
“Bukan termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib Penguasa dan menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada kekacauan serta tidak mendengar dan taat kepada Penguasa dalam perkara yang ma’ruf, dan mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat. Akan tetapi tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara mereka dan Pemerintah (secara rahasia), dan menulis surat kepada Penguasa, atau menghubungi ulama yang memiliki akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan kepada kebaikan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 8/210]
RENUNGAN MENDALAM DARI SEJARAH PARA IMAM
Sudaraku, tahukah Anda tentang seorang ahli hadits, ahli fikih dan ahli ibadah yang bernama Al-Hasan bin Shalih bin Hayy?
Dia adalah rawi hadits yang terpercaya dan kokoh hapalannya, ahli ibadah yang menghabiskan kebanyakan waktu malamnya dengan ibadah dan sering menangis hingga pingsan karena takut kepada Allah.
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya,
الإِمَامُ الكَبِيْرُ، أَحَدُ الأَعْلاَمِ، أَبُو عَبْدِ اللهِ الهَمْدَانِيُّ، الثَّوْرِيُّ، الكُوْفِيُّ، الفَقِيْهُ، العَابِدُ
“Imam besar, salah seorang tokoh, dia adalah Abu Abdillah Al-Hamadani Ats-Tsauri Al-Kufi, seorang yang fakih, ahli ibadah.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/52]
Tetapi, para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, Yusuf bin Asbath, Zaaidah dan selain mereka rahimahumullah mentahdzir Al-Hasan bin Shalih bin Hayy.
Abu Nu’aim rahimahullah berkata,
دَخَلَ الثَّوْرِيُّ يَوْمَ الجُمُعَةِ مِنَ البَابِ القِبْلِيِّ، فَإِذَا الحَسَنُ بنُ صَالِحٍ يُصَلِّي، فَقَالَ: نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ خُشُوْعِ النِّفَاقِ، وَأَخَذَ نَعْلَيْهِ، فَتَحوَّلَ إِلَى سَارِيَةٍ أُخْرَى
“Sufyan Ats-Tsauri masuk ke masjid di hari Jum’at melalui salah satu pintu, ternyata Al-Hasan bin Shalih sedang sholat, maka Sufyan Ats-Tsauri berkata: Kami berlindung kepada Allah dari khusyu’ kemunafikan. Lalu beliau mengambil sandalnya dan berpindah ke sisi yang lain.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/53]
Adz-Dzahabi rahimahullah juga menyebutkan,
كَانَ زَائِدَةُ يَجْلِسُ فِي المَسْجِدِ، يُحذِّرُ النَّاسَ مِنِ ابْنِ حَيٍّ، وَأَصْحَابِه
“Zaidah duduk di masjid untuk mentahdzir manusia dari Al-Hasan bin Shalih bin Hayy dan teman-temannya.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]
Abu Shalih Al-Farra’ rahimahullah berkata,
حَكَيتُ لِيُوْسُفَ بنِ أَسْبَاطٍ عَنْ وَكِيْعٍ شَيْئاً مِنْ أَمرِ الفِتَن، فَقَالَ: ذَاكَ يُشْبِهُ أُسْتَاذَهُ. يَعْنِي: الحَسَنَ بنَ حَيٍّ. فَقُلْتُ لِيُوْسُفَ: أَمَا تَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ هَذِهِ غِيبَةً? فَقَالَ: لِمَ يَا أَحْمَقُ، أَنَا خَيْرٌ لِهَؤُلاَءِ مِنْ آبَائِهِم وَأُمَّهَاتِهِم، أَنَا أَنْهَى النَّاسَ أَنْ يَعْمَلُوا بِمَا أَحْدَثُوا، فَتَتْبَعُهُم أَوْزَارُهُم، وَمَنْ أَطْرَاهُم كَانَ أَضَرَّ عَلَيْهِم
“Aku menghikayatkan kepada Yusuf bin Asbath sesuatu tentang Waki’ terkait perkara ‘fitnah’. Maka beliau berkata: Dia menyerupai gurunya, yaitu Al-Hasan bin Hayy. Aku pun berkata kepada Yusuf: Apakah kamu tidak takut ini menjadi ghibah? Maka beliau berkata: Kenapa wahai dungu, justru aku lebih baik bagi mereka daripada bapak dan ibu mereka sendiri, aku melarang manusia agar tidak mengamalkan bid’ah yang mereka ada-adakan, agar dosa-dosa mereka tidak berlipat-lipat, orang yang memuji mereka justru yang membahayakan mereka.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]
Abu Sa’id Al-Asyaj rahimahullah berkata,
سَمِعْتُ ابْنَ إِدْرِيْسَ -وذُكِر لَهُ صَعْقُ الحَسَنِ بنِ صَالِحٍ- فَقَالَ: تَبسُّمُ سُفْيَانَ، أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ صَعْقِ الحَسَنِ
“Aku mendengar Ibnu Idris ketika disebutkan kepadanya tentang pingsannya Al-Hasan bin Shalih karena takut kepada Allah, maka beliau berkata: Senyumnya Sufyan lebih kami cintai daripada pingsannya Al-Hasan.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]
Al-Imam Ahmad bin Yunus rahimahullah yang telah belajar kepada Al-Hasan bin Shalih selama 20 tahun pun berkata,
لَوْ لَمْ يُولَدِ الحَسَنُ بنُ صَالِحٍ، كَانَ خَيْراً لَهُ
“Andaikan Al-Hasan bin Shalih tidak dilahirkan, itu lebih baik baginya.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]
Inilah beberapa penukilan tahdzir ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masa itu terhadap Al-Hasan bin Shalih bin Hayy, padahal dia adalah seorang ahli hadits yang kuat dan banyak hapalannya, ahli fikih dan ahli ibadah.
Ada Apa Dengannya?
Ketahuilah saudaraku, para ulama mentahdzirnya karena satu bid’ah[1], sebagaimana kata Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,
ذَاكَ رَجُلٌ يَرَى السَّيْفَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dia adalah orang yang berpendapat boleh memerangi (Pemerintah zalim) umat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/53]
Apakah Dia Pernah Memberontak dengan Senjata?
Sama sekali tidak pernah saudaraku, dia hanya memiliki pemikiran tersebut, namun tidak pernah melakukannya dan tidak pula terang-terangan menyebarkannya. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,
كَانَ يَرَى الحَسَنُ الخُرُوْجَ عَلَى أُمَرَاءِ زَمَانِهِ لِظُلْمِهِم وَجَوْرِهِم، وَلَكِنْ مَا قَاتَلَ أَبَداً، وَكَانَ لاَ يَرَى الجُمُعَةَ خَلْفَ الفَاسِقِ
“Al-Hasan berpendapat bolehnya memberontak terhadap Pemerintah di masanya karena kezaliman dan ketidakadilan mereka, akan tetapi dia tidak pernah berperang selamanya. Dan dia juga berpendapat tidak boleh sholat Jum’at di belakang imam yang fasik[2].” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/58]
Kesimpulan Adz-Dzahabi rahimahullah,
هُوَ مِنْ أَئِمَّةِ الإِسْلاَمِ، لَوْلاَ تَلَبُّسُهُ بِبِدعَةٍ
“Dia termasuk ulama Islam, kalaulah tidak melakukan bid’ah.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/52]
Perhatikanlah saudaraku rahimakallaah, hanya satu bid’ah, hanya satu kesalahan, tapi besar, karena menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masa itu melarang manusia untuk belajar kepadanya.
Perhatikan juga, para ulama tidak tertipu dengan keluasan ilmunya, kekuatan hapalannya dan kehebatan ibadahnya, hal itu karena para ulama benar-benar memahami manhaj dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Inilah pentingnya menuntut ilmu agama bagi Ahlus Sunnah.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
————————–
[1] Awalnya adalah satu bid’ah, yaitu pembangkangan terhadap pemerintah muslim yang fasik atau zalim, kemudian dari satu bid’ah tersebut muncul bid’ah yang lain yang merupakan cabangnya, seperti tidak mau sholat Jum’at bersama pemimpin yang fasik atau zalilm tersebut, dan pada hakikatnya sama-sama bid’ah khawarij (lihat catatan kaki nomor 2).
[2] Ucapan Adz-Dzahabi, “Dan dia juga berpendapat tidak boleh sholat Jum’at di belakang imam yang fasik” pada awalnya sengaja tidak kami tampilkan dengan dasar bahwa hakikat perbuatan itu hanyalah cabang dari bid’ah yang pertama, yaitu memberontak kepada pemimpin yang fasik atau zalim, bukan karena dia tidak mau sholat Jum’at sama sekali, melainkan tidak mau sholat Jum’at bersama pemimpin yang dia anggap fasik atau zalim. Dan atas masukan dari sebagian Ikhwan untuk menukil lanjutan ucapan Adz-Dzahabi rahimahullah agar tidak terjadi kesalahpahaman, jazaahumullaahu khayron.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
═══ ❁✿❁ ═══
Umroh Bersama Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc hafizhahullah
HUBUNGI
WA wa.me/628118247111
IG @travel.sofyanruray.info
═══ ❁✿❁ ═══
GABUNG TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/kitab_tauhid
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim
WA GROUP KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Salah Satu Admin:
wa.me/628111833375
wa.me/628111377787
wa.me/628119193411
Website dan Medsos:
– sofyanruray.info
– taawundakwah.com
– twitter.com/sofyanruray
– facebook.com/sofyanruray.info
– instagram.com/sofyanruray.info
– youtube.com/c/kajiansofyanruray
#Yuk_share agar menjadi amalan yang terus mengalir insya Allah. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]
[…] Renungan dan Peringatan Terkait Bid’ah Khawarij dan Hizbiyyah Harakiyyah dalam Barisan Ahlus Sunna… […]