Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati?

101
6614

بسم الله الرحمن الرحيم

Wajib Taat Pemerintah dalam Kebaikan

Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An-Nisa’: 59]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari ‘Irbad bin Sariyah radhiyallahu’anhu]

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah,

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah]

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء

“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik dibanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7]

Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?

Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah  menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?

Jawaban Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah:

Tanya: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab: Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.

Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:

1) Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.

2) Motivasinya berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.

Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.

Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zalim, dan kekuasaannya tetap sah.

Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229]

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah berkata,

“Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat:

Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya.

Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah.

Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” [Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82]

Kesimpulan

Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau atau berbaiat kepada selain pemerintah atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.

Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satu pun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.

Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Perhatikan kembali dalam ayat di atas Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An-Nisa’: 59]

Ulil amri atau pemerintah diantara kamu maknanya diantara kaum muslimin, sehingga apabila pemerintah muslim (beragama Islam) maka wajib ditaati.

Artikel terkait: https://sofyanruray.info/siapakah-ulil-amri-yang-harus-ditaati/

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray [www.fb.com/sofyanruray.info]

101 KOMENTAR

  1. Ana nasehatkan buat antum bahwa, hadist diatas adalah hak untuk penguasa kaum muslimin, bukan hak penguasa murtad dan bukan pula hak penguasa kafir…

    • Bismillah. Assalamu’alaykum. Sepakat, hanya saja kami tidak mudah mengkafirkan seorang muslim sebelum terpenuhi syuruth at-takfir dan intifaul mawani’. Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:

      أيما امرئٍ قال لأخيه كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

      “Siapa saja berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka salah seorang di antara dua orang itu menjadi kafir. Jika yang dipanggil benar-benar kafir, jika tidak maka kembali kepada yang mengatakannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma)

      Hadits ini mengingatkan kita, agar tidak mudah memvonis kafir terhadap seorang yang asalnya muslim. Oleh karena itu, gegabah dan terburu-buru dalam mengkafirkan bukanlah karakter Ahlus Sunnah, melainkan karakter Khawarij, orang-orang bodoh yang dikendalikan oleh semangat yang tinggi bukan dengan ilmu. Allahu yahdiyk.

  2. Pd tulisan di atas dinyatakan bahwa ‘pemerintahnya tdklah kafir, melainkan fasik atau dzolim dan kekuasaannya tetap sah’, ana katakan,
    1. Apakah antum mau mentaati, menuruti, dan membela orang yg fasik dan dzolim?
    2. Kekuasaannya tetap sah menurut siapa, apakah menurut aturan demokrasi yg kalian HAROMKAN…?
    3. Jika ternyata penguasanya dari kalangan IM/PKS, apakah fatwa antum tentang harokah tsb akan berubah?

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Pd tulisan di atas dinyatakan bahwa ‘pemerintahnya tdklah kafir, melainkan fasik atau dzolim dan kekuasaannya tetap sah’, ana katakan,
      1. Apakah antum mau mentaati, menuruti, dan membela orang yg fasik dan dzolim?

      Tanggapan:

      Wajib menaati penguasa muslim meskipun zalim dan fasik dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Adapun jika dia perintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh taat kepada siapapun juga. Kenapa demikian? Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:

      قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم

      “Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)

      Perhatikanlah hadits ini, Nabi shallalahu’alaihi wa sallam ditanya tentang pemimpin yang tidak menunaikan hak rakyatnya, bukankah itu berarti dia telah meninggalkan syari’at Islam dan berhukum dengan hawa nafsunya?!

      Walaupun begitu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan kaum muslimin untuk mendengar dan taat. Tentunya selama dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala.

      2. Kekuasaannya tetap sah menurut siapa, apakah menurut aturan demokrasi yg kalian HAROMKAN…?

      Tanggapan:

      Kekuasaannya sah menurut Islam selama dia belum kafir, walaupun dia zalim dan fasik. Perhatikan dalam hadits di atas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ditanya tentang pemimpin yang tidak memenuhi hak rakyatnya, artinya dia seorang pemimpin zalim. Akan tetapi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan dengar dan taat, andaikan kekuasaannya tidak sah lagi tentunya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam akan memerintahkan kita untuk memeranginya.

      3. Jika ternyata penguasanya dari kalangan IM/PKS, apakah fatwa antum tentang harokah tsb akan berubah?

      Tanggapan:

      Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menyatakan sesat maka selamanya tidak pantas untuk dirubah. Hanya saja berbeda cara menasihati penguasa dan selainnya. Demikian pula berbeda menasihati kelompok sesat dan menasihati penguasa negeri.

      Allahu yahdiyk.

  3. seorang penguasa yg terbimbing lurus telah berani divonis zholim bahkan kafir oleh khawarij pd masa awal2nya..ustman bin affan dan ali adalah segelintir manusia terbaik yg tlh dikafirkan oleh khawarij dg tuduhan bhw mereka zholim dan tidak berhukum dg hukum allah. Maka bgmana dg penguasa muslim pd saat ini yg terjatuh dlm berbagai kemaksiatan dan meninggalkan sebagian syariat islam?tentunya mereka kaum khawarij semakin lantang menjatuhkan vonis kafir thd penguasa yg seperti ini.

    • komentar yang sangat bagus sekali … semoga bisa menjadi renungan untuk para pendukung2 teroris yang dianggap mujahid ..

  4. assalamualikum

    Wajib menaati penguasa muslim meskipun zalim dan fasik dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Adapun jika dia perintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh taat kepada siapapun juga

    saya berkesimpulan :
    1. tidak boleh ikut dalam pemilu (memilih atau dipilih), karena itu bagian dari DEMOKRASI yang statusnya haram
    2. tidak harus membayar pajak,.karena tidak ada pajak dalam islam yang ada zakat
    3. tidak boleh bekerja sebagai polisi atau tentara atau jaksa, hakim dan pengacara, dan tidak boleh ikut berpartisipasi dalam partai apapun karena itu semua akan melanggengkan DEMOKRASI
    4. tidak boleh bekerja di BANK karena itu adalah institusi riba

    mohon bimbingannya. jazakallah

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Wa’alaykumussalam.

      1. Benar, juga bertentangan larangan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: “meminta jabatan” dan “memberikan jabatan kepada orang yang memintanya”, maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang “mengemis” jabatan dari rakyat. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

      يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سَمُرَة , لاَ تَسْأَلُ الإِمَارَةَ. فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا

      “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Ta’ala). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

      2. Pertama: Alhamdulillah -sepengetahuan saya- di Indonesia sdh ada aturan bebas pajak bagi siapa yang telah membayar zakat. Memang asalnya pajak haram diambil dari kaum muslimin, akan tetapi boleh jika negara membutuhkannya untuk suatu keperluan yang urgen, seperti untuk menggaji tentara -sebagaimana yang difatwakan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah-.

      Kedua: Jika penguasa menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari kaum muslimin maka tidak boleh dilawan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Nabi yang penyanyang kepada ummatnya shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:

      يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

      “Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

      3. Polisi dan tentara tidak masalah sepanjang tidak melanggar aturan2 Allah. Adapun jaksa, hakim dan pengacara tidak boleh berhukum dengan suatu hukum yang bertentangan dengan syari’at Allah Ta’ala. Sedang partai adalah bagian terpenting dari demokrasi yang bertentangan dengan Islam.

      4. Benar, jika bank tersebut melakukan transaksi-transaksi yang diharamkan seperti riba’, karena tidak boleh tolong-menolong dalam dosa.

      Wa jazaakumullahu khairon.

  5. Boleh ana tambahkan dr jawaban :
    1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, melarang meminta jbtan, memberikan jbtan pd orang yg meminta, dan mengemis jabatan. Anehnya dari cara yg harom(pemilu), namun jabatan yg sudah sah menurut DEMOKRASI (bukan menurut Allah Ta’ala dan Rosul-Nya) harus ditaati, walaupun fasik dan dzolim. Padahal sangat jelas bahwa orang yg fasik dan dzolim adalah orang yg jauh dari Qur’an. Kenapa pemimpin seperti ini diikuti?

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Hal itu tidaklah aneh bagi orang yang memahami permasalahannya. Sebab permasalahannya bukanlah melegalkan demokasi, tapi ketaatan kepada seorang pemimpin muslim, tentunya ketaatan tersebut hanya dalam perkara yang tidak bertentangan dengan syari’at.

      Mengapa harus menaati pemimpin muslim meski zhalim dan fasik?

      Karena Nabi shallalahu’alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut. Perhatikan kembali hadits berikut:

      يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

      “Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

      Lihatlah, “pemimpin berhati setan dalam jasad manusia”, “memukul dan merampas harta”, bukankah ini termasuk sebesar-besarnya bentuk kezaliman dan kefasikan?! Akan tetapi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan untuk mendengar dan taat. Maka tunduklah dengan keputusan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tinggalkan akal dan perasaan kita yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

      Jadi permasalahannya bukanlah menganggap benar demokrasi, tapi kewajiban taat kepada pemimpin muslim meskipun dihasilkan dari proses demokrasi. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan pemahaman yang baik kepada kaum muslimin. Baarokallahu fiyk.

      • Subhanallah jawaban ust sungguh sangat ilmiah karena menjawab dengan dalil yg syar’i dan sangat mudah d terima o/ akal sehat,berbeda dengan sebagian manusia yg beragama mengedepankan akal dan hawa nafsu bukan dengan Al Qur’an dan AsSunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat,tabiin dan tabut tabiin

  6. assalamu’alaikum

    perkaranya sudah jelas akhi chaedar,..
    1. jika hadits shahih maka ikutilah karena Rasulullah tidak mungkin salah dan bohong
    2. DEMOKRASI tetap haram tidak usah kita ikut kedalam urusan mereka
    3. taat dalam perkara yg tidak melanggar syariat bukan dalam perkara yg lain
    4. pilihlah : ikutilah petunjuk Rasulullah atau tidak sama sekali

  7. Sebagai orang awan diantara berbagai haluan, ane nyimak aja dehhhh. siapa tau dapat hidayah dan barokah!. salam kenal ya dari kangjavas

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Ahlan wa sahlan, semoga blog ini bermanfaat buat Anda. Nasihat kami untuk mengikuti pendapat maupun haluan yang sesuai petunjuk Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam agar selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Baarokallahu fiyk.

  8. Barakallahu fiika ya ustadz. Semoga Allah menjagamu dan terus menerus memberikan hidayahnya kepada ana, antum dan kita semua. Terima kasih atas tulisan yang sangat berharga ini, mudah dimengerti dan disandarkan pada dalil yang lengkap dan sohih.

  9. “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
    Saya insyaallah mengutamakan dalil Al-quran tersebut, karena Al-quran kedudukannya lebih tinggi dari hadits, dan Al-Quran Dijaga Oleh Allah dari dirubah oleh tangan mahlukNya sampai hari kiamat, betulkan ustadz?
    kemudian saya mengesampingkan hadits berikut ini ustadz:

    “Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)
    sebab hadits tidak dijaga Allah dari kejahilan tangan mahlukNya, betul kan ustadz?

    hadits yg saya sebut diatas sangat bertentangan dengan amar ma’ruf nahi munkar.
    kemudian saya mau tanya pak ustadz,
    apakah pemimpin seperti SBY itu sah kepemimpinannya?
    soalnya dia kan mengemis untuk dipilih jadi pemimpin?
    mohon dijwb ya ustadz..
    smuga kita slalu diberi hidayah oleh Allah swt (Subhanahu wa Ta’ala).. aamiin..

    fatal pak ustadz, hadits hadits yg ustadz sebut ada yg bertentangan dg alquran…
    semoga Allah memberi kita hidayah.. aamiin..
    menurut saya, POLRI KAFIR karena memutuskan hukum tidak berdasar hukum yg diturunkan Allah.. yaitu alquran.
    jika kita tidak mengakui POLRI KAFIR berarti kita mengingkari alquran surat al-maidah ayat 44 yang berbunyi:
    “barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir” ..naudzubillah min dhalik…
    ya Allah tunjukkanlah kebenaran!
    musnahkan kebathilan.. amiin..

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Menjawab syubhat-syubhat ini kami rinci dalam beberapa poin berikut:

      1. Ungkapan “Al-Qur’an kedudukannya lebih tinggi dari Al-Hadits”

      Ungkapan ini tidak sepenuhnya benar. Tetapi harus dirinci:
      Pertama: Dari sisi keutamaan, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an lebih tinggi dari Al-Hadits dari segi keutamaannya.
      Kedua: Dari sisi ihtijaj (sebagai sumber hujjah atau dalil), maka kedudukannya sama dengan Al-Qur’an. Sehingga orang yang taat kepada Al-Qur’an berarti dia taat kepada Al-Hadits. Sebaliknya, orang yang menolak Al-Hadits itu artinya dia menolak Al-Qur’an.

      Mengapa demikian? Karena Allah Ta’ala sendiri telah menegaskan hal tersebut dalam banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya:

      وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ

      “Apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu, ambillah dan apa yang kamu dilarang olehnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

      Jadi, orang yang mengesampingkan Al-Hadits itu artinya dia mengesampingkan Al-Qur’an, karena dia tidak mau taat kepada perintah Allah dalam Al-Qur’an untuk menerima semua yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

      Olehnya, mengingkari hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah kekafiran terhadap Al-Qur’an yang diturunkan Allah Ta’ala.

      2. Benarkah Al-Hadits tidak dijaga keasliannya sebagaimana Al-Qur’an?

      Jika Antum terbiasa membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah maka Antum akan tahu penjelasan ulama bahkan kesepakatan seluruh ulama bahwa Al-Hadits juga dijaga keasliannya sebagaimana Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

      إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

      “Sesungguhnya kami yang menurunkan adz-dzikr dan kami pula yang menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

      Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan makna adz-dzikr dalam ayat di atas:

      فمضمون عند كل من يؤمن بالله واليوم الآخر أن ما تكفل الله عز وجل بحفظه : فهو غير ضائع أبدا ، لا يشك في ذلك مسلم ، وكلام النبي صلى الله عليه و سلم كله وحي ، بقوله تعالى : ( وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ) النجم/3، 4 . والوحي ذكر بإجماع الأمة كلها ، والذكر محفوظ بالنص ؛ فكلامه عليه السلام محفوظ بحفظ الله عز و جل ضرورة ، منقول كله إلينا لا بد من ذلك

      “Sudah semestinya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengimani bahwa apa yang telah Allah jamin untuk menjaganya maka ia tidak akan hilang selamanya, seorang muslim tidak meragukan hal itu. Sedang perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam semuanya adalah wahyu, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan tiadalah yang diucapkan oleh Nabi menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4) Jadi, wahyu berdasarkan kesepakatan (ijma’) seluruh umat Islam adalah dzikr, dan ad-dzikr itu terjaga berdasarkan nash. Maka perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga terjaga dengan penjagaan Allah ‘Azza wa Jalla karena pentingnya penjagaan tersebut, maka semua hadits telah tersampaikan kepada kita.” (Al-Ihkam, 2/201)

      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

      فما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة محفوظ

      “Apa yang Allah utus dengannya Rasul-Nya dari Al-Qur’an dan Al-Hikmah (Sunnah) maka itu terjaga.” (Majmu’ Al-Fatawa, 27/169)

      3. Jika demikian adanya, maka Al-Hadits yang shahih selamanya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hanya kita saja yang bodoh sehingga mengira ada pertentangan antara keduanya. Karena tidak mungkin Allah Ta’ala menurunkan wahyu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits kemudian terjadi kontradiksi antara sesama wahyu Allah Ta’ala yang sama-sama terjaga dari perubahan oleh tangan manusia.

      Apalagi kalau dikatakan bertentangan dengan amar ma’ruf nahi munkar, karena ma’ruf adalah apa yang dipandang ma’ruf oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan menurut pandangan kita yang sempit. Demikian pula yang munkar adalah apa yang dipandang munkar oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan menurut selera kita.

      4. Oleh karena itu, makna ayat Al-Maidah: 44 jangan dipahami dengan akal sendiri, tapi rujuklah kepada pemahaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat, karena mereka lebih tahu dengan al-Qur’an.

      Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan makna ayat tersebut adalah:

      إنه ليس كفراً ينقل عن ملة : (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) كفر دون كفر

      “Maksud ayat ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama (murtad), “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir; maknanya kekufuran di bawah kekufuran (yakni kufur kecil).” (HR. Al-Hakim, 2/313, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi, juga dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 6/113)

      Demikian pula yang dipahami oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil di atas, bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala tidaklah langsung menjadi murtad. Maka sungguh lancang sekali orang-orang yang mudah mengkafirkan pemerintah muslim, PNS, maupun kepolisian di negeri-negeri kaum muslimin demi untuk meningkari sahnya kepemimpinan seorang muslim.

      Sesungguhnya tidak ada teladan mereka dalam hal mudah mengkafirkan ini kecuali kaum Khawarij, sebagaimana mereka memahami surat Al-Maidah: 44 sesuai pemahaman Khawarij. Al-Imam Al-Jasshash rahimahullah berkata:

      وقد تأولت الخوارج هذه الآية على تكفير من ترك الحكم بما أنزل الله من غير جحود

      “Khawarij mentakwikan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah meskipun dia tidak mengingkari (hukum Allah tersebut).” (Ahkamul Qur’an, 2/534)

      Maka bertaubatlah saudaraku dari pemahaman sesat ini, Allahu yahdiyk.

    • Wahai penanya(perang salib) janganlah kita beragama sesuai dengan apa yg mencocoki akal semata atau menurut persangkaan kita,tapi agama itu d bangun d atas dalil AlQur’an dan hadits yg shohih karena tidak mungkin AlQur’an akan bertentangan dengan hadits Rasulullah yg shohih yg semuanya itu adalah wahyu dr Allah Subhana wata’ala,maka simaklah jawaban ilmiah dari Ust Sofyan,smog bermamfaat dan kita mengharapkan hidayah dari Allah u/bisa faham agama dengan benar

  10. Bismillah.
    Orang yang menentang hadits shahih dg alasan bertentangan dg Al Qur’an berarti menganggap dirinya lebih tahu tentang Al Qur’an drpd Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam yg Allah utus unt mengamalkan dan menerangkang Al Qur’an. Apakah ada kengawuran yg lebih ngawur dr ini??!!
    Wallahu a’lam.

  11. Subhanallah, ternyata pemikiran Khawarij zaman sekarang sama dengan yang dahulu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan:

    فان الخوارج ينتحلون اتباع القرآن بآرائهم ويدعون السنن التي يزعمون انها تخالف القرآن

    “Sesungguhnya Khawarij memahami Al-Qur’an dengan akal-akal mereka dan meninggalkan sunnah/hadits yang mereka sangka menyelisihi Al-Qur’an.” (Lihat Al-Fatawa, 28/491)

  12. sungguh jawaban yang sangat ilmiyyah.. Semoga para pemuda yg semangat membela Islam, lebih mengilmui Islam dari sumber yang shohih, sehingga tidak terseret kpd pemahaman khawarij.
    Jazakallohu khoir.

  13. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  14. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  15. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  16. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  17. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  18. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  19. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  20. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  21. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  22. masya Alloh, sungguh bahasan yang Ilmiyah ttg fitnah dan syubhat yg disampaikan oleh orang2 yg bangga akan sifat terror yg dianggap baik/ haq. Semoga Alloh Ta’ala senantiasa menerangi Negara ini dg Dakwah ahlussunnah yang bersikap dg hikmah. jazakumulloh khoir ya Ustadz.

  23. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  24. Barokallahu fiika ya ustadz. Alhamdulillah artikel beserta jawaban dari ustadz sungguh ilmiah dan membuat ana tambah ilmu syar’i yang Insya Alloh bisa ana terapkan. Semoga Alloh memberikan hidayah kepada ana, ustadz dan seluruh kaum muslimin sehingga berada diatas manhaj salafush shaleh, amin.

  25. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  26. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  27. Assalamu’alaikum

    Nama saya sandly dari medan. Saya baru baca blog ini, sangat indah dan menawan terlebih lagi ketika ustadz menjawab dengan bijak dan sabar pertanyaan dari saudara chaedar dan perangsalib, hebat!

    Semoga Allah selalu mengokohkan ustadz beserta keluarga di atas Qur’an dan Sunnah ^_^

  28. Assalamu’alaikum
    Sungguh jawaban2 ustadz atas fitnah dan syubhat dari para pendukung Khawarij ,sangat cerdas dan berbobot. Salam kenal, selamat berkarya dan tetap menulis,ustadz.

  29. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  30. setuju kah anda bahwa masalah terburuk bangsa ini adalah korupsi yang sudah merajalela yang dilakukan sebagian besar para pejabat dan pemimpin bangsa ini ?
    Jika pemimpin bangsa yang dipercaya seperti presiden yang saya pilih, yang sekarang berkuasa ini yang pernah berjanji akan memberantas korupsi ternyata malah memberikan remisi bahkan membebaskan para koruptor, harus kah kita tetap percaya dan patuh kepadanya ????
    tolong anda jawab dengan jujur pertanyaan hati nurani ini…

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Assalamu’alaykum,

      1. Maaf klu saya tidak setuju, sebab masalah tebesar bangsa ini, berdasarkan dalil-dalil syar’i, adalah keyirikan dan kekufuran kepada Allah Ta’ala. Keburukannya, dosanya dan bahayanya sangat-sangat jauh lebih besar dibanding korupsi. Sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (1). Bentuk-bentuk syirik ini pun tersebar lebih banyak dan lebih merata di masyarakat, lihat artikel PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (2). Meskipun kami tidak mengingkari bahwa korupsi adalah DOSA BESAR, namun dosa SYIRIK dan KEKAFIRAN kepada Allah Ta’ala jauh lebih besar.

      2. Kita hanya boleh patuh apabila diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syari’at, sebagaimana telah kita isyaratkan di atas pada fatwa Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah, “Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib”. Adapun jika kita diperintah untuk berbuat maksiat maka tidak boleh taat kepada makhluq untuk bermaksiat kepada AL-KHALIQ.

      Alhamdulillah ini jawaban kami, bukan sekedar dari “hati nurani”, tapi dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta bimbingan para ulama. Allahu yahdiyk

  31. Subhanallah,sngt bermanfaat dn ilmiah ustad,jazakallahu khair,smoga Allah ta’ala mengistiqomahkn hati kt tuk selalu berada diats manhaj yang haq.

  32. Subhanallah, jawaban yang sangat ilmiah sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Semoga Allah selalu menjaga anda Ustadz Sofyan, barakallahu fiik.

    Kaum khawarij zaman modern sekarang seharusnya sadar akan dampak yang diakibatkan oleh aksi-aksi mereka, kaum muslimin yang masih awam terhadap agama mereka sendiri malah berkurang keyakinannya terhadap agama Islam yang mulia ini. Mereka malah ditakutkan oleh aksi-aksi jahilnya orang2 khawarij. Yang bodoh agama semakin bodoh, yang pintar menjadi bodoh. Agama yang mulia ini menjadi celaan di mata dunia dan mata kaum muslimin itu sendiri akibat jahilnya mereka terhadap pemahaman yang benar mengenai Al-Qur’an dan As-Sunnah.

    Jazakallahu khair ustadz, salam dari mantan tetangga di Kompleks IDI

  33. […]   Ketiga: Jika mereka menjawab iya sama, karena sama-sama berhukum dengan bukan syari’at Allah maka itu artinya mereka mengkafirkan para penguasa muslim. Penyimpangannya lebih berat lagi. Selengkapnya tentang ini silakan lihat artikel kami: Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) dan Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  34. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  35. Bismillah
    Barakallahu fiyk.. ya ustdz Sofyan.
    Memang sebagian besar masyarakat Indonesia menghukumi kesalahan penguasa/ pemerintah dgn korupsi semata, se-akan2 itu adalah dosa yg paling besar. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia banyak yang berbuat DOSA YG PALING BESAR yaitu KESYIRIKAN. dan itulah yang menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga banyaknya musibah dan bencana alam di negeri ini. Semoga kita semua diberi taufiq dan hidayah-Nya agar memahami mana yang haq dan mana yang bathil. Penjelasan ustdz sangat ilmiah dan jelas mudah dipahami, semoga dapat memberi pencerahan bagi umat muslim.
    jazakumullahu khairan.

  36. Subhanallah..

    Lanjutkan Dakwah bil Haq yaa Ustadz..

    Semoga Allah Jalla Jalaluhu menjaga antum dan keluarga antum..

    Amin Allahumma Amin..
    Barokallohu Fiik..

  37. Assalamu’alaykum warahmatullah wabarakatuhu
    semoaga dgan dakwah ahlussunnah aqidah muslim negeri ini jadi lebih lurus,sehigga terlepas dari bid’ah2 di segala bidang kehidupan.
    Baarakallahufiik

  38. subhanllah, jawaban ustad ilmiyah dan tidak terpancing emosi ketika menjawab pertanyaan2 yang diajukan.semoga ikhw2 yang sering membantah orang-orang yang tidak berada dalam pemahaman yang benardi FB nya dapat melihat metode ustad dalam menyampaikan al haq sehingga orang tidak lari dalam da’wah yang haq ini. mungkin ustad bisa menasehati/meluruskan ikhw2 yang sangat bersemangat dalam menyebarkan da’wah al haq ini

  39. Assalamu’alaykum Yaa Ustadz.
    Alhamdulillah, stlh membaca diskusi ini, ana lbh paham. Syubhat2 yg slama ini membwt pandangan jd gelap sdh hilang.
    Syukron ustadz.
    Smoga ustadz skeluarga slalu dlm lindungan Allah.
    Amin.

  40. Assalamu’alaikum wr, wb
    pa ustadz, menarik tulisannya, saya ada pertanyaan sedikit, yaitu:
    1. Apa kedudukan kedua hadist ini?, apabila shohih, siapa yg men-shohikannya?
    a. Wajib menaati penguasa muslim meskipun zalim dan fasik dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Adapun jika dia perintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh taat kepada siapapun juga. Kenapa demikian? Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:

    قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم

    “Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)

    b. “Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

    2. Dari tulisan ustad didapat bahwa apabila pemimpin berhukum selain hukum Allah karena hawa nafsu maka fasik, namun apabila dikarenakan beliau meyakini bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi rakyanya maka kafir. Darimana kita bisa mengetahui bahwa SBY tidak berhukum kepada hukum Allah karena hawa nafsunya bukan karena meyakini bahwa hukum allah sudah tidak relevan lagi?

    3. Pa ustad apabila kita mengutarakan ketidaksepahaman dengan kebijakan pemimpin (misal: kebijakan ekonomi) dengan memberikan hujjah didepan umum dalam suatu acara dialog ataupun hanya bertukarpikiran dengan kawan2 termasuk perbuatan membuka aib pemimpin?

    4. Apakah ustad pernah atau tidak henti-hentinya menasehati sby (cth: dengan surat)?

    • Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

      1. Kedua hadits tersebut disebutkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya dengan sanad yang bersambung dari rawi-rawi yang tsiqoh menunjukkan beliau menshohihkannya. Dan kitab Shahih Muslim disepakati oleh para ulama sebagai kitab yang paling shahih setelah Shahih Al-Bukhari.

      2. Justru karena kita belum tahu maka tidak boleh kita mengkafirkan beliau atau memberontak hanya berdasarkan persangkaan atau kira-kira belaka. Dalam hadits Ubadhah bin Shomit radhiyallahu’anhu:

      دعانا النبي صلى الله عليه و سلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

      “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau. Maka beliau bersabda tentang hal-hal yang dipersyaratkan atas kami, yaitu beliau membai’at kami untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin baik pada saat kami dalam keadaan semangat ataupun malas, baik dalam keadaan susah ataupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali jika kalian telah melihat kekufuran yang nyata dimana kalian memiliki dalil dari Allah akan kekufuran tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

      Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa syarat memberontak kepada penguasa ada empat syarat dan ditambah satu syarat lagi sehingga menjadi lima syarat, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan kelima syarat tersebut adalah:

      Pertama: “Kalian melihat (kekufuran yang nyata)”, maknanya harus berdasar ilmu (yaitu benar-benar melihat). Adapun sekedar persangkaan maka tidak boleh memberontak kepada penguasa.

      Kedua: Hendaklah kita tahu bahwa yang dilakukannya adalah benar-benar kekafiran, bukan kefasikan. Adapun kefasikan (dosa besar yang tidak sampai kepada derajat kekafiran), meskipun para penguasa melakukannya tidak boleh memberontak terhadap mereka; andaikan penguasa meminum khamar, berzina, menzhalimi manusia, tetap tidak boleh memberontak terhadap mereka. Yang dibolehkan hanyalah jika kita melihat kekufuran yang benar-benar nyata.

      Ketiga: Kekafiran tersebut nyata. Maknanya adalah kekufuran yang jelas dan nampak, terang (tidak bisa diartikan lain). Adapun perbuatan kekufuran yang masih mungkin untuk ditafsirkan lain maka tidak boleh memberontak kepada penguasa. Yakni, andaikan mereka melakukan kekufuran, tetapi kekufuran tersebut masih belum jelas (multi tafsir), maka tidak boleh kita memerangi atau memberontak terhadap mereka, dan kita takwilkan hal tersebut sesuai penakwilan mereka.

      Keempat: “Kalian memiliki dalil dari Allah”. Yakni kita memiliki dalil yang pasti bahwa perbuatan tersebut merupakan kekufuran (menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih).

      Kelima: Memiliki kemampuan. Jika kita tidak memiliki kekuatan maka tidak boleh memberontak, karena yang demikian itu termasuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Manfaat apakah yang bisa kita dapatkan jika kita memberontak kepada seorang penguasa yang kita lihat melakukan kekufuran yang jelas dan berdasarkan dalil dari Allah, hanya dengan menggunakan pisau dapur sedang dia menggunakan tank-tank lapis baja dan senjata-senjata otomatis, apakah ada manfaat pemberontakan tanpa kemampuan? Tentu tidak ada manfaatnya. (Lihat Syarhu Riyadhis Shalihin, bab. 23 hadits ke-186 dengan diringkas)

      3. Kalau hal itu dilakukan di depan umum hal itu tidak boleh sebagaimana yang telah kami jelaskan pada artikel: Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/05/tuntunan-islam-dalam-menasihati-penguasa-sebuah-renungan-bagi-para-pencela-pemerintah/

      4. Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

      Wallahul Muwaffiq.

  41. Assalamu’alaikum ustadz

    Mohon izin untuk disebarkan dibeberapa milis Islam yang saya ikuti agar supaya ada nasehat yang diberikan kepada orang-orang yang berpemahaman khawarij atau orang awam yang kurang paham tentang manhaj Ahlusunnah wal Jamaah.

  42. […] بسم الله الرحمن الرحيم Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, … Read More […]

  43. Assalamualaikum,
    bismillah.. ada bagian tulisan antum yang menarik:
    “..Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba..”
    beberapa anggota legxxxxxxx (atau menxxxx) -afwan gk gitu ingat- dari partai tertentu, pernah bilang bahwa bentuk demokrasi sudah final dan syariat Islam sudah menjadi wacana usang (saya kurang tahu persis, apakah ini benar2 dari ybs atau pelintiran media)
    Bagaimana pendapat ustadz mengenai hal ini? apakah oknum yang mengeluarkan statement tsb sudah jatuh ke kekufuran dengan ucapannya tsb?
    syukron

  44. Assalamualaikum warohmatullohi wabarokaatuh.
    Menarik dan bermanfaat mengikuti kajian di atas. Cuma ada sedikit tambahan pertanyaan Pak Ustadz.
    ~ Misalkan pemimpin yg sekarang (muslim), diganti/dikudeta dg cara memberontak(yg berontak muslim juga) (yg tentunya ini bertentangan melawan pemerintah yg sah), lalu pemimpin baru ini menjadi pimpinan kita, apakah kita juga harus mentaatinya?? bagaimana dengan loyalitas kita dg pemimpin sebelumnya yg lebih sah??, dst,dst/

    syukron atas jawabannya.

    wassalam
    Abdul Muiz

    • بسم الله الرحمن الرحيم

      Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh,

      Pertama: Tidak diragukan lagi pemberontakan kepada pemimpin muslim adalah haram.

      Kedua: Akan tetapi jika pemberontak yang muslim telah berhasil menjadi pemimpin maka wajib bagi kaum muslimin untuk mentaatinya demi merealisasikan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk taat kepada pemimpin muslim tanpa melihat bagaimana caranya dia meraih kekuasaan. Oleh karena itu para sahabat tetap taat kepada Yazid yang merampas kekuasaan dari sahabat yang mulia Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu’anhuma, demikian juga para ulama tetap taat kepada As-Saffaah, penguasa pertama Bani Abbasiyah yang memberontak kepada Bani Umayyah. Adapun loyalitas terhadap penguasa sebelumnya dalam bentuk mendengar dan taat kepadanya hanyalah ketika dia berkuasa. Kecuali jika pemberontak ini belum berhasil merampas kekuasaan penguasa yang sah maka wajib bagi kita untuk membela pemimpin yang sah.

      Ketiga: Ketaatan kepada pemimpin muslim dengan tidak memberontak kepadanya -baik dengan senjata maupun kata-kata- demi untuk menjaga keamanan kaum muslimin. Andaikan kita memberontak kepadanya maka sangat mungkin terjadi pertumpahan darah antara sesama muslim, sehingga mudharatnya lebih besar. Kemudian setelah kita berkuasa, maka orang lain juga mungkin akan memberontak kepada kita karena memandang kita telah meraih kekuasaan dengan cara pemberontakan, sehingga pertumpahan darah sesama muslim akan semakin meluas. Demikian seterusnya, lalu kapan akan tercipta keamanan kaum muslimin?

      Wallahu A’lam.

  45. Assalamu’alaikum. Subhanallah, malam-malam begini bisa dapat pencerahan berilmu. Saya memang sedang mencari terkait pemerintahan ini. Alhamdulillah bisa ketemu disini. Saya izin untuk share artikel-artikelnya di FB, Ustadz. Semoga bisa mencerahkan teman-teman yang lain juga. Jazakallah khair

  46. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  47. subhanallah,. diskusinya sangat ilmiah berdasarkan Al-Qur’an & Sunnah ditambah akhlak yang baik menjawab seputar2 pertanyaan.. syukron ilmunya

  48. Assalamualaikum Pak Ustadz
    saya punya sedikit saran, apabila menyampaikan suatu hadits sebaiknya tidak hanya ditulis (HR Muslim) atau (HR Bukhari), tetapi alahkah baiknya jika ditulis dengan lengkap Jilid berapa dan Hadits Nomor berapa?
    Karena apabila hanya ditulis (HR Muslim) atau (HR Bukhari) dan orang ingin mengecek kebenarannya, mereka membuka kitab Hadist yang sangat tebal terdiri dari ratusan halaman dan ribuan hadist, itu sangat menyulitkan, nah kalo ada nomor haditsnya kan orang bisa langsung menuju ke hadits yang dimaksud tanpa harus mencari selembar demi selembar dari ratusan halaman, terima kasih Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

  49. Bismillah
    Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh
    Sebagai ex takfiry (NII/NKA) ana turut merasa sedih melihat masih banyak mantan teman2 ana yg saat ini masih bergabung dg salah satu dari sekian banyak jama’ah pengkafiran kaum muslimin diluar golongan mereka tsb, yg sejak era sebelum reformasi sdh banyak mengalami perpecahan antar faksi (antara faksi yg ingin sgr mengkudeta penguasa dg faksi yg menganjurkan u/bertahan menunggu saat waktu yg tepat u/memberontak, itu yg pernah ana dengar dr mereka) dan kini mereka msh terus eksis mencari mangsa dari kalangan kaum muslimin yg mempunyai ghiroh yg tinggi thdp agamanya namun belum menemukan tempat yg tepat u/mengkaji agama ini dg benar…
    oleh karena itu kpd setiap orangtua yg ingin anaknya tidak mengalami spt apa yg dilakukan sdr.dani (pelaku bom bunuh diri di hotel marriot yg berasal tdk jauh dr kompleks Telaga Kahuripan, Parung-Bogor yg terpengaruh oleh ajakan seorang TAKFIRY yg bernama saifudin, yg dengan idzin Alloh akhirnya tewas ditangan tim DENSUS 88) agar selalu waspada dan mengawasi anak-anaknya kpd siapa saja mereka bergaul, agar dapat meminimalisir jumlah kaum muslimin yg menjadi korban-korban hawa nafsu para pelaku pemberontakan ini…
    Wallohul musta’aan…

  50. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  51. Masya Allah, saya menemukan kutipan dialog (penegakan hujjah) di kolom komentar ini dari blog lain. Rasanya saya dipertemukan. Indah sekali. Jawaban yang elegan, tidak ada kesan emosi sama sekali. Malah dominan akhlaq dan hujjah. Barakallahu fiik, Ustadz. Semoga saudara-saudara kita yang masih terkena syubhat, segera mendapatkan hidayah.

  52. […] Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati? […]

  53. Assalamu’alaykum,
    “Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib”
    contoh kemaksiatannya bagaimana ustadz tolong penjelasannya..
    jazakallahu khair

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini