بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Jima’, berhubungan badan atau berhubungan suami istri, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan secara sengaja walau tidak keluar air mani, bagi orang yang sedang berpuasa adalah termasuk pembatal puasa dan dosa yang sangat besar, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ الله أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ الله لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (di waktu malam) dan carilah karunia anak yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Sahabat yang Mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ»، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا». قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالعَرَقُ المِكْتَلُ – قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ» فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
“Ketika kami sedang duduk bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bersabda: Ada apa denganmu? Dia berkata: Aku menggauli istriku padahal aku sedang berpuasa Ramadhan. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan seorang budak untuk dibebaskan? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Dia berkata: Tidak. Beliau bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan makanan untuk 60 orang miskin? Dia berkata: Tidak.
Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diam beberapa saat, dalam keadaan demikian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diberikan satu bejana kurma –satu miktal; yang dapat menampung 15 sho’– lalu beliau bersabda: Mana orang yang bertanya? Dia berkata: Aku. Beliau bersabda: Ambillah kurma ini dan sedekahkan. Dia berkata: Apakah diberikan kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada satu keluarga di daerah antara dua batu hitam tersebut yang lebih fakir dari keluargaku. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi beliau, kemudian beliau bersabda: Beri makanlah kurma itu kepada keluargamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
ولم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم: الرَّفث: وهو الجماع، والأكل والشرب
“Ulama tidak berbeda pendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkan atas orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan melakukan ar-rafats, yaitu berjima’, demikian pula Allah mengharamkan makan dan minum.” [Al-Ijma’, hal. 59][1]
BEBERAPA PERMASALAHAN
Pertama: Jauhilah Dosa Besar Ini
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa membatalkan puasa dengan berhubungan suami istri secara sengaja adalah dosa besar yang membinasakan.[2]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
وَالْغِذَاءُ يَبْسُطُ الدَّمَ الَّذِي هُوَ مَجَارِيهِ فَإِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ انْبَسَطَتْ نَفْسُهُ إلَى الشَّهَوَاتِ وَضَعُفَتْ إرَادَتُهَا وَمَحَبَّتُهَا لِلْعِبَادَاتِ فَهَذَا الْمَعْنَى فِي الْجِمَاعِ أَبْلَغُ فَإِنَّهُ يَبْسُطُ إرَادَةَ النَّفْسِ لِلشَّهَوَاتِ وَيُضْعِفُ إرَادَتَهَا عَنْ الْعِبَادَاتِ أَعْظَمَ؛ بَلْ الْجِمَاعُ هُوَ غَايَةُ الشَّهَوَاتِ وَشَهْوَتُهُ أَعْظَمُ مِنْ شَهْوَةِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَلِهَذَا أَوْجَبَ عَلَى الْمُجَامِعِ كَفَّارَةَ الظِّهَارِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْعِتْقُ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ لِأَنَّ هَذَا أَغْلَظُ وَدَاعِيَهُ أَقْوَى وَالْمَفْسَدَةَ بِهِ أَشَدُّ
“Makanan dan minuman dapat meluaskan peredaran jalan darah (bagi setan), maka apabila seseorang makan atau minum menguatlah kecenderungan nafsunya kepada syahwat dan melemah keinginan dan kecintaannya terhadap ibadah, dan makna ini lebih besar pada jima’, sungguh jima’ lebih menguatkan keinginan nafsu kepada syahwat dan melemahkan keinginannya terhadap ibadah.
Bahkan jima’ adalah puncak syahwat, dan syahwat terhadapnya lebih besar daripada syahwat terhadap makanan dan minuman, oleh karena itu diwajibkan atas orang yang berjima’ membayar kaffaroh zhihar, yaitu wajib atasnya membebaskan budak atau yang dapat menggantikan kedudukannya (yaitu hukuman yang setara dengannya) berdasarkan As-Sunnah dan ijma’, karena ia lebih besar dosanya, faktor pendorongnya lebih kuat dan kerusakannya lebih dahsyat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/249]
Kedua: Solusi bagi Orang yang Berbuat Dosa Ini
(1) Bertaubat kepada Allah ta’ala.
(2) Membayar kaffaroh (denda).
Ketiga: Urutan Kaffaroh
(1) Membebaskan seorang budak yang beriman.
(2) Apabila tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh terputus tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, seperti karena sakit, safar atau haid dan nifas bagi wanita.
(3) Apabila tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin, setiap satu orang miskin mendapatkan satu sho’ (kurang lebih senilai 1,5 kg) bahan makanan pokok berdasarkan hadits Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu’anhu.[3]
Dan tidak boleh diuangkan, tidak boleh pula hanya diberikan kepada satu orang miskin atau kurang dari 60 orang, serta tidak boleh dititipkan kepada orang atau lembaga yang tidak terpercaya.[4]
Keempat: Syarat Wajib Kaffaroh
Kewajiban membayar kaffaroh hanyalah bagi orang yang terpenuhi padanya tiga syarat:[5]
(1) Orang yang melakukannya adalah orang yang wajib berpuasa. Apabila yang melakukannya anak kecil yang belum baligh maka tidak wajib atasnya kaffaroh.
(2) Tidak ada yang menghilangkan kewajiban puasanya. Apabila ada yang menghilangkannya seperti safar maka tidak ada kaffaroh baginya, karena musafir boleh membatalkan puasanya, akan tetapi tidak boleh seseorang melakukan hiylah (siasat, tipu daya) terhadap syari’at, yaitu melakukan safar hanya demi berhubungan suami istri. Apabila ia melakukannya maka dosanya lebih besar dan tetap wajib atasnya kaffaroh dan bertaubat.
(3) Berhubungan badan dilakukan di kemaluan, baik depan maupun belakang, baik dengan pasangan yang halal maupun yang haram. Apabila dilakukan di kemaluan belakang maka dosanya lebih besar karena pada asalnya hal itu haram. Apabila dilakukan dengan selain pasangan yang sah maka dosanya lebih besar lagi, karena pada asalnya memang dosanya besar, ketika dilakukan saat sedang puasa dan di bulan mulia Ramadhan maka dosanya menjadi lebih besar lagi.
Kelima: Apakah Wajib Atasnya Qodho’?
Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat wajib, dan terdapat dalam riwayat Abu Daud sebuah tambahan lafaz:
وصم يوماً
“Dan berpuasalah sehari (sebagai gantinya).”
Tapi hadits ini dha’if karena adanya rawi yang bernama Hisyam bin Sa’ad yang jelek hapalannya serta menyelisihi rawi-rawi yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik, Al-Laits dan selainnya.
Pendapat Kedua: Sebagian ulama seperti Asy-Syafi’i, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah berpendapat tidak ada qodho’ atasnya, cukup baginya taubat dan kaffaroh.
Pendapat yang lebih kuat insya Allah adalah pendapat kedua, yaitu tidak ada kewajiban qodho’, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan qodho’ dalam hadits-hadits yang shahih, dan karena puasa adalah kewajiban yang terkait dengan waktu, apabila waktu telah terlewati tanpa udzur maka tidak ada lagi kewajibannya.[6]
Keenam: Apakah Kaffaroh Wajib bagi Istrinya?
Pendapat yang kuat insya Allah juga wajib atas istrinya membayar kaffaroh dan taubat apabila ia melakukannya dengan sengaja, bukan karena lupa atau dipaksa, karena keumuman dalil mencakup laki-laki dan wanita.
Apabila ia melakukannya karena lupa atau dipaksa oleh suami maka puasanya tidak batal dan tidak wajib kaffaroh.[7]
Adapun dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan istrinya untuk membayar kaffaroh, karena di sebagian riwayat orang itu berkata: ‘Aku telah binasa dan membinasakan (istriku).’ Artinya ia memaksa istrinya untuk berhubungan badan.
Ketujuh: Apabila Seseorang Berhubungan Suami Istri Berulang Kali, Berapa Kali Kaffarohnya?
Ada dua gambaran permasalahannya:[8]
(1) Apabila dilakukan di hari yang berbeda maka setiap hari satu kaffaroh tersendiri, sama saja apakah kaffaroh sebelumnya sudah dibayar atau belum, karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang terpisah dengan hari sebelumnya.
2) Apabila dilakukan di hari yang sama, pendapat yang benar insya Allah cukup sekali kaffaroh, karena apabila ia berhubungan suami istri yang kedua kalinya maka ia sudah berada dalam kondisi tidak berpuasa, sama saja apakah kaffaroh sebelumnya sudah dibayar atau belum, dan sama saja apakah ia melakukan lagi dengan istri yang sama atau dengan istri yang lain.[9]
Kedelapan: Apabila Udzur Berbuka Telah Hilang Bolehkah Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Ramadhan?
Contoh: Orang yang pulang dari safar atau orang sakit yang sembuh di siang hari dalam keadaan tidak berpuasa, dan istrinya baru bersih dari haid, apakah wajib bagi mereka berpuasa dimulai dari saat itu? Dan apabila mereka berhubungan suami istri wajib kaffaroh?
Pendapat yang kuat insya Allah adalah boleh bagi mereka untuk berhubungan suami istri dan tidak ada kaffaroh, karena tidak ada puasa yang dimulai dari siang hari.
Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
من أفطر أول النهار فليفطر آخره
“Barangsiapa boleh berbuka di awal hari, boleh baginya berbuka di akhirnya.” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/54]
Dan wajib atas mereka meng-qodho’ karena meninggalkan puasa dengan sebab yang dibolehkan, yaitu sakit dan safar atau haid bagi wanita.[10]
Kecuali orang yang tadinya tidak wajib puasa sama sekali kemudian menjadi wajib, seperti baru mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari, atau baru masuk Islam atau baru mencapai usia baligh, maka apabila mereka berhubungan suami istri sebelum diwajibkan puasa atas mereka, pendapat yang benar insya Allah tidak wajib kaffaroh, namun apabila mereka melakukannya setelah diwajibkan, walau diwajibkan sejak siang hari, maka wajib atas mereka kaffaroh.[11]
Kesembilan: Apabila Udzur Berbuka Baru Ada Setelah Berhubungan Suami Istri, Apakah Wajib Kaffaroh?
Misalkan seseorang berhubungan suami istri dalam keadaan sehat, berakal dan mukim, kemudian ia jatuh sakit, atau hilang akal, atau melakukan safar maka tetap wajib atasnya kaffaroh, karena ketika ia membatalkan puasanya dengan berhubungan badan, ia masih dalam keadaan diwajibkan berpuasa.[12]
Kesepuluh: Apabila Puasanya Batal karena Makan dan Minum Lalu Berhubungan Suami Istri, Apakah Wajib Kaffaroh?
Apabila seseorang membatalkan puasa dengan makan dan minum tanpa udzur, kemudian ia berhubungan badan maka tetap wajib atasnya kaffaroh, karena ia membatalkan puasa tanpa udzur.
Dan dosanya lebih besar lagi jika ia makan dan minum sebelum berhubungan suami istri untuk melakukan siasat agar tidak wajib kaffaroh.
Adapun yang tidak wajib kaffaroh adalah yang puasanya batal dengan udzur sebagaimana penjelasan poin kedelapan.[13]
Kesebelas: Apakah Wajib Kaffaroh bagi yang Berhubungan Suami Istri saat Sedang Puasa di Luar Ramadhan?
Kaffaroh hanyalah diwajibkan apabila seseorang membatalkan puasa dengan berhubungan badan di siang hari bulan Ramadhan.
Adapun puasa wajib di selain Ramadhan, seperti qodho’, kaffaroh dan nadzar maka tidak ada kaffaroh tapi wajib taubat apabila tanpa udzur. Demikian pula puasa-puasa sunnah, tidak ada kaffaroh.[14]
Keduabelas: Satu Pendapat yang ‘Gharib’
Diantara pendapat sebagian fuqoha –rahimahumullah- yang ‘gharib’ adalah, mencabut kemaluan ketika terdengar adzan termasuk kategori berhubungan badan, padahal orang yang melakukannya justru untuk menghindarinya.
Pendapat yang benar insya Allah tidak termasuk berhubungan badan, dan itulah yang memang harus dilakukan, apabila masuk waktu fajar atau terdengar adzan Shubuh dan yakin telah masuk waktu Shubuh maka hubungan badan harus segera dihentikan dan puasanya sah insya Allah.[15]
Adapun jika mereka tetap melanjutkan hubungan badan padahal yakin sudah masuk waktu Shubuh, maka puasanya batal dan wajib kaffaroh serta taubat.[16]
Kecuali jika mereka tetap melanjutkannya karena masih ragu apakah sudah masuk waktu Shubuh atau belum maka puasanya tidak batal insya Allah, karena hukum asalnya adalah tetapnya malam, tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, namun sudah sepatutnya bagi seorang muslim berhati-hati dan tidak bermudah-mudahan.
Ketigabelas: Hukum Orang yang Tidak Mampu Membayar Kaffaroh
Apabila seseorang tidak mampu membayar kaffaroh sama sekali, maka hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu di atas dan dalil-dalil lain yang umum menunjukkan bahwa kewajiban kaffaroh hilang darinya.
Dan apabila suatu saat ia memiliki kemampuan, apakah wajib atasnya kaffaroh?
Pendapat yang kuat insya Allah tidak wajib atasnya kaffaroh karena kewajibannya telah hilang darinya ketika ia tidak mampu.
Sama seperti orang yang tidak wajib zakat, apabila suatu saat ia mampu berzakat maka tidak diwajibkan atasnya meng-qodho’ zakat yang tidak ia keluarkan semasa ia belum mampu.[17]
Keempatbelas: Hukum Suami Istri Bercumbu saat Puasa
Hukum bercumbu rayu antara suami istri ketika sedang berpuasa adalah boleh bagi yang mampu menahan syahwatnya untuk tidak sampai berhubungan badan.[18]
Adapun yang tidak mampu maka hukumnya makruh bahkan bisa jadi haram apabila ia mengetahui keadaan dirinya bisa dipastikan akan terjerumus sampai berhubungan badan jika bercumbu rayu dengan istrinya.[19]
Berdasarkan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mencium dan mencumbui istri beliau dalam keadaan beliau sedang berpuasa, tetapi beliau adalah orang yang lebih kuat dari kalian dalam menahan syahwatnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kelimabelas: Hukum Mengeluarkan Air Mani dengan Selain Jima’, Seperti Onani atau yang Lainnya
Mengeluarkan air mani dengan selain jima’ seperti bercumbu rayu, mengkhayal, menggauli istri pada selain kemaluan atau melakukan onani, maka tidak ada kewajiban kaffaroh, namun apakah puasanya batal atau tidak?
Ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat puasanya batal, bahkan sebagian ulama menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama).[20]
Tetapi yang benar insya Allah adalah ulama tidak ijma’, karena ada sebagian ulama berpendapat tidak batal, seperti Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Ash-Shon’ani dan Al-Albani rahimahumullah, alasan mereka karena tidak ada dalil yang shahih lagi shorih yang menunjukkan batalnya.[21]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Catatan Kaki:
[1] Lihat juga Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 70,Majmu’ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 25/249 dan Asy-Syarhul Mumti’, 6/399, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 169.
[2] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/518 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 170.
[3] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/301 dan Asy-Syarhul Mumti’, 6/415.
[4] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/321-322 no. 7264.
[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/399-400.
[6] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/400.
[7] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/303,Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/302-304 dan Taudhihul Ahkam, 3/520.
[8] Lihatlah kitab Asy-Syarhul Mumti’, 6/406-408 engkau akan adapati faidah yang menarik insya Allah ta’ala.
[9] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/304.
[10] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/308.
[11] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/408-409.
[12] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409-410.
[13] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409.
[14] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/410-411.
[15] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/412 dan Taudhihul Ahkam, 3/520.
[16] Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 15/301.
[17] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/416-418.
[18] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 9/160 no. 13896.
[19] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/485-486.
[20] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 175.
[21] Lihat Tamaamul Minnah, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, hal. 418-420.
═══ ❁✿❁ ═══
Bimbingan Umroh & Haji Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc dan Asatidzah Ahlus Sunnah hafizhahumullah
Insya Allah Keberangkatan Umroh dan Haji 2024
– Umroh I’tikaf Akhir Ramadhan, Lebaran di Makkah 17 Hari (1 April ’24)
– Umroh Syawwal Libur Lebaran (15 April ’24)
– Haji Tanpa Antri 2024
– Umroh Muharram 1446
– Umroh 17 Agustus 2024
– Umroh Desember (Akhir Tahun 2024)
HUBUNGI wa.me/628118247111
Gabung Grup WA Info dan Konsultasi Fikih Umroh dan Haji Asatidzah Ahlus Sunnah: https://chat.whatsapp.com/IxtiARFN3M2CsV5EJs3Fqo
═══ ❁✿❁ ═══
WA GROUP KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Admin:
wa.me/628111833375
TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/kitab_tauhid
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim
Medsos dan Website:
– youtube.com/c/kajiansofyanruray
– instagram.com/sofyanruray.info
– facebook.com/sofyanruray.info
– instagram.com/taawundakwah
– facebook.com/taawundakwah
– twitter.com/sofyanruray
– sofyanruray.info
#Yuk_share agar menjadi amalan yang terus mengalir insya Allah. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]