Pembagian Tauhid Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Tanggapan terhadap Saudara Idahram dan Idrus Ramli) [Bag. 1]

0
2270

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pembagian Tauhid

Alhamdulillaah, pada buku kami yang berjudul Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan (Jawaban Ilmiah Terhadap Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi) KaryaSyaikh’ Idahram (baca: https://sofyanruray.info/jawaban-ilmiah-terhadap-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/) kami telah menjawab berbagai macam kerancuan ‘syubhat’ yang dilontarkan oleh penulis buku tersebut. Adapun dalam artikel ini, insya Allah ta’ala kami akan menjawab beberapa syubhat yang lain dalam masalah tauhid.

‘Syaikh’ Idahram berkata,

“Demikian pula, dengan pembagian yang mereka lakukan terhadap tauhid menjadi tauhid Rububiyah dan Uluhiyah, mereka meyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah daripada umat Islam. Pernahkah Nabi Saw. (shallallahu’alaihi wa sallam, pen) berkata seperti ini? Bukankah ini adalah akidah yang rapuh dan menyimpang?” (Sejarah Berdarah…, hal. 235-236)

Saudara Idahram juga berkata,

“Pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah diciptakan oleh Ibnu Taimiyah Al-Harani (w. 728 H)…” (Sejarah Berdarah…, hal. 236)

Pembaca yang budiman, inilah pernyataan penulis buku “Sejarah Berdarah…” sebuah buku yang mendapat dukungan penuh dari Ketua PBNU, DR. Said Agil Siraj, yang menunjukkan penulis buku tersebut belum memahami makna tauhid dan pembagiannya, itupun sebagaimana biasa masih dibumbui dengan ucapan yang mengada-ada, “mereka meyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah daripada umat Islam,” dan seperti biasa pula, tidak ada satu penukilan utuh dari kitab para ulama Salafi atas tuduhan tersebut, sehingga terkesan dia ingin mendoktrin pembaca bukunya untuk membenci Salafi dan menggiring opini yang salah terhadap Salafi tanpa mengajak pembaca untuk dapat menilai sendiri ajaran-ajaran ulama Salafi melalui penukilan-penukilan yang utuh dan disertai pencantuman sumber rujukan yang jelas.

Pernyataan yang senada juga dikatakan oleh saudara Idrus Ramli,

“Kaum Wahabi, dengan taklid buta kepada Ibnu Taimiyah al-Harrani, mempropagandakan pembagian Tauhid menjadi tiga; yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid al-Asma was-Shifat. Pembagian tauhid ini tidak memiliki dalil, baik dari al-Qur’an, hadits maupun aqwal ulama salaf yang shaleh. Namanya saja pembagian Tauhid asal-asalan, ya jelas tidak ada dalilnya.”[1]

Dia juga berkata,

“Pembagian tauhid menjadi tiga tidak pernah dikatakan oleh seorangpun sebelum masa ulama Ibnu Taimiyyah.”[2]

Dia juga berkata,

“Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab perintis ajaran Wahhabi.”[3]

Benarkah pembagian tauhid kepada Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ was Shifat adalah aqidah yang rapuh, menyimpang dan tidak ada dalilnya?

Untuk menjawab syubhat ini, sekaligus memberikan pengajaran tauhid kepada kaum muslimin, maka pembahasan berikut insya Allah ta’ala akan mengupas hakikat tauhid berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta keterangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Pengertian Tauhid

Tauhid (التوحيد) secara bahasa berasal dari kata (وَحَّدَهُ تَوْحِيدا) yang bermakna (جَعَلَهُ واحِداً) yaitu, “Membuat sesuatu menjadi satu atau mengesakannya.”[4]

Adapun secara istilah yang dimaksud dengan tauhid adalah,

إفراد الله- تعالى- بما يختص به من الربوبية والألوهية والأسماء والصفات

“Mengesakan Allah ta’ala dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi-Nya, yaitu dalam rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wash shifaat.”[5]

Lawan dari tauhid adalah syirik (الشرك) yaitu menyekutukan Allah ta’ala dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi-Nya; rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wash shifaat.

Pembagian Tauhid

Setelah melakukan penelitian secara menyeluruh terhadap teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah maka Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi tauhid menjadi tiga bagian:

Pertama: Tauhid Rububiyyah

Tauhid rububiyyah (الربوبية) berasal dari kata (الربrobb[6] yang bermakna,

من اجتمع فيه ثلاثة أوصاف: الخلق، والملك، والتدبير؛ فهو الخالق المالك لكل شيء المدبر لجميع الأمور

“Yang terkumpul padanya tiga sifat; penciptaan, penguasaan dan pengaturan. Maka Rabb adalah Pencipta yang menguasai segala sesuatu serta mengatur segala urusan.”[7]

Maka makna tauhid rububiyyah adalah,

إفراد الله -عز وجل- بالخلق، والملك، والتدبير

“Mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam penciptaan, penguasaan dan pengaturan.”[8]

Maknanya adalah kita meyakini bahwa hanya Allah ta’ala yang mencipta, menguasai dan mengatur urusan-urusan makhluk-Nya; yang mencakup urusan kehidupan dan kematian, pengaturan rezeki, memberikan kemanfaatan dan menolak kemudharatan, dan lain-lain.

Kita meyakini hanya Allah ta’ala yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada yang membantu-Nya atau bersekutu bersama-Nya. Sehingga definisi yang lebih singkat dan lebih mencakup makna tauhid rububiyyah adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam dan Khatib Masjid Nabawi Madinah, Asy-Syaikh DR. Abdul Muhsin bin Muhammad bin Abdur Rahman Al-Qosim hafizhahullah bahwa tauhid rububiyyah adalah,

إفراد الله بأفعاله

“Megesakan Allah –ta’ala– dalam perbuatan-perbuatan-Nya.”[9]

Dalil-dalil Tauhid Rububiyyah:

– Allah ta’ala sebagai satu-satunya pencipta dan pengatur, sebagaimana firman-Nya,

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْر

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (Al-A’raf: 54)

– Allah ta’ala satu-satunya pencipta yang memberikan rezeki, sebagaimana firman-Nya,

هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْض

“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?” (Fathir: 3)

Adapun makhluk, tidak ada satu pun yang dapat mencipta, karena hakikat penciptaan adalah mengadakan sesuatu yang tadinya tidak ada sama sekali kemudian menjadi ada. Sedangkan yang mampu dilakukan makhluk hanyalah merubah satu bentuk ke bentuk yang lainnya.

Oleh karena itu, perbuatan syirik dalam beribadah seperti berdoa kepada selain Allah ta’ala sangat tercela, karena dalam perbuatan tersebut terkandung pelecehan terhadap Allah ta’ala sang pencipta.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لاَّ يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.(Al-Hajj: 73-74)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah ta’ala suatu tandingan/sekutu padahal Dia yang menciptakanmu.”

Aku berkata, “Sesungguhnya hal itu benar-benar dosa besar. Kemudian apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.” Aku berkata, “Kemudian apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][10]

– Allah ta’ala satu-satunya penguasa alam ini, sebagaimana firman-Nya,

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran: 189)

Juga firman-Nya,

قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْء

“Katakanlah: Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu.” (Al-Mu’minun: 88)

Adapun penguasaan makhluk hanyalah penguasaan yang terbatas. Penguasa suatu negeri misalkan, hanyalah menguasai negerinya, sedangkan negeri yang lain tidak berada di bawah kekuasaannya. Demikian pula, penguasaan manusia harus tunduk di bawah kekuasaan Allah ta’ala, seorang yang menguasai suatu harta misalkan, dia tidak bebas memperlakukan hartanya semaunya, tetapi harus dia perlakukan sesuai aturan-aturan syari’at. Sedangkan penguasaan Allah ta’ala mencakup seluruh mahkluk dan Allah ta’ala mampu berbuat apa saja terhadap makhluk-Nya sesuai kehendak-Nya.

– Allah ta’ala satu-satunya yang mengatur alam ini, sebagaimana firman-Nya,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُون

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” Maka itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 31-32)

Adapun pengaturan makhluk adalah pengaturan yang terbatas, makhluk hanya dapat mengatur sesuatu yang mampu dia kuasai dan pengaturannya pun terikat dengan aturan-aturan Allah ta’ala, makhluk tidak boleh melanggar aturan-aturan-Nya.

– Allah ta’ala satu-satunya penguasa langit dan bumi, yang menghidupkan, yang mematikan dan yang menolong hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

“Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.“ (At-Taubah: 116)

Juga firman-Nya,

لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير

“Kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Hadid: 2)

– Allah ta’ala satu-satunya yang memberikan rezeki, sebagaimana firman-Nya,

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ قُلِ اللَّهُ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: Allah.” (Saba’: 24)

Juga firman-Nya,

أَمَّنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ بَل لَّجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ

“Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” (Al-Mulk: 21)

– Allah ta’ala satu-satunya yang mampu memberikan kemanfaatan, menimpakan bahaya dan menolak bahaya tersebut dari makhluk. Oleh karena itu, perbuatan syirik dalam ibadah seperti memohon kepada makhluk yang tidak mampu memberikan kemanfaatan, tidak pula menimpakan suatu bahaya atau menolaknya adalah suatu kebodohan yang besar, sehingga Allah ta’ala mencelanya dalam Al-Qur’an,

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ

“Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?” (Al-Anbiya’: 66)

Juga firman-Nya,

قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً

“Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap (sesembahan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra’: 56)

Pembaca yang budiman, inilah hakikat tauhid rububiyyah, dalil-dalilnya jelas dan terang berdasakan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, lebih terang dari sinar matahari di siang hari, sehingga ketidaktahuan saudara Idahram dan saudara Idrus Ramli tentang tauhid rububiyyah sangat mengherankan. Namun yang sangat kami khawatirkan adalah, sebenarnya mereka telah tahu hakikat tauhid rububiyyah yang dimaksudkan para ulama Salafi, lalu dengan sengaja mereka berusaha mengaburkan hakikat tauhid rububiyyah ini demi menjatuhkan dakwah tauhid yang diserukan oleh Salafi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kedua: Tauhid Uluhiyyah

Tauhid uluhiyyah (الألوهية) atau ilahiyyah (الإلهية) berasal dari kata ilah (الإله) yang bermakna (المألوه) yaitu (المعبود) yang artinya, “Sesembahan yang diibadahi.”[11]

Sehingga makna tauhid uluhiyyah adalah,

إفراد الله- عز وجل- بالعبادة

“Mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam ibadah.”[12]

Kita meyakini, hanya Allah saja yang boleh disembah atau diserahkan satu bentuk ibadah. Sedangkan sesembahan selain Allah dan ibadah yang diserahkan kepada selain-Nya adalah salah dan bertentangan dengan tauhid.

Oleh karena itu, tauhid uluhiyyah juga disebut tauhid ibadah (العبادة) atau ubudiyyah (العبودية) yang bermakna,

إفراد الله بأفعال العباد

“Mengesakan Allah –ta’ala- dalam perbuatan-perbuatan (ibadah) hamba.”[13]

Dalil-dalil Tauhid Uluhiyyah:

– Mentauhidkan Allah ta’ala dalam ibadah adalah tujuan penciptaan manusia, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)

– Perintah Allah ta’ala yang pertama dalam Al-Qur’an adalah perintah mentauhidkan-Nya dalam ibadah, sebagaimana firman-Nya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah Rabbmu Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (Al-Baqorah: 21)

– Larangan Allah ta’ala yang pertama dalam Al-Qur’an adalah larangan menyekutukan-Nya, sebagaimana firman-Nya,

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqorah: 22)

– Para Nabi dan Rasul ‘alaihimus sholaatu was salaam diutus untuk mengajak manusia mentauhidkan Allah ta’ala dalam ibadah, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُون

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya’: 25)

– Para Nabi dan Rasul ‘alaihimussholaatu was salaam diutus untuk mengajak manusia mentauhidkan Allah dalam ibadah dan menjauhi penyembahan kepada thogut (segala sesuatu yang disembah selain Allah), sebagaimana firman-Nya,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (An-Nahl: 36)

Inilah yang dimaksud tauhid uluhiyah, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah ta’ala yang satu saja. Inilah dakwah para nabi dan rasul, jadi bukan sesuatu yang baru, sebagaimana dalil-dalilnya yang sangat jelas di atas.

Ketiga: Tauhid Asma’ wash Shifaat

Tauhid Asma’ was Shifat adalah,

إفراد الله – عز وجل – بما له من الأسماء والصفات

“Mengesakan Allah ta’ala dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya.”[14]

Maknanya secara terperinci adalah,

إفراد الله تعالى بما سمى به نفسه ووصف به نفسه في كتابه، أو على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم وذلك بإثبات ما أثبته، ونفي ما نفاه من غير تحريف، ولا تعطيل، ومن غير تكييف، ولا تمثيل

“Mengesakan Allah ta’ala dalam nama yang Dia namakan untuk diri-Nya dan sifat yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dalam kitab-Nya atau melalui lisan (sunnah) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Yaitu dengan menetapkan nama dan sifat yang Dia tetapkan dan menafikan apa yang Dia nafikan, tanpa melakukan tahrif (penyimpangan makna atau lafaz) dan tanpa ta’thil (pengingkaran), dan tanpa melakukan takyif (menggambarkan sifat Allah ta’ala) dan tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah ta’ala dengan makhluk-Nya).”[15]

Maka seorang muslim hendaklah meyakini bahwa Allah ta’ala memiliki nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat yang maha mulia, yang tidak boleh diserupakan dengan sifat-sifat makhluk. Allah ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaulhusna (nama-nama yang maha indah), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)

Juga firman Allah ta’ala,

وَلَهُ الْمَثَلُ الأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم

“Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ar-Rum: 27)

Juga firman Allah ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuro: 11)

Mentauhidkan Allah ta’ala dalam asma’ was shifat mencakup dua perkara:

Pertama: Menetapkan (الإثبات), yaitu menetapkan nama dan sifat yang telah Allah ta’ala tetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka apa yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak boleh kita tetapkan sebagai nama dan sifat Allah ta’ala.

Kedua: Menafikan penyerupaan (نفى المماثلة), yaitu tidak menyerupakan Allah ta’ala dengan makhluk-Nya dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Pembahasan lebih terperinci dalam masalah tauhid asma’ was shifat dan penjelasan tentang penyimpangan-penyimpangan Asy’ariyah dan Maturidiyah insya Allah ta’ala akan kami bahas pada kesempatan lain.

Bersambung insya Allah ta’ala…

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray – www.SofyanRuray.info [www.fb.com/sofyanruray.info]


[1] Dinukil dari website pencela Ahlus Sunnah wal Jama’ah

[2] Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya pada hal. 224 (Dinukil dari website pencela Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

[3] Ibid

[4] Lihat Al-Qamus Al-Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi, hal. 414.

[5] Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 1/8.

[6] Lihat Al-Qamus Al-Muhith, hal. 111, Al-Mu’jamul Washit 1/321 dan Lisanul ‘Arab, 1/399.

[7] Tafsir Juz ‘Amma, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 12

[8] Al-Qoulul Mufid, 1/9.

[9] Taysirul Wushul ila Tsalatsatil Ushul, hal. 48, cet. 1, 1428 H.

[10] HR. Al-Bukhari no. 4477 dan Muslim no. 267 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.

[11] Lihat Al-Qamus Al-Muhith, hal. 1603, Al-Mu’jam Al-Wasith, Ibrahim Mustafa, Ahmad Az-Zayyat, Hamid Abdul Qodir dan Muhammad An-Najjar, 1/25, Darud Da’wah dan Lisanul ‘Arab, Muhammad bin Mukrim bin Manzhur Al-Afriyqi Al-Mishri, 13/467, Dar Shadir Beirut, cet. Ke-1.

[12] Al-Qoulul Mufid, 1/14.

[13] Taysirul Wushul, hal. 43

[14] Al-Qoulul Mufid, 1/16.

[15] Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 40.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini