بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahuLlahu ta’ala
Seorang yang berilmu bisa jadi mengetahui kesalahan saudaranya yang juga berilmu, maka tatkala dia bersegera mengingkari dan menjatuhkan saudaranya, padahal dia mampu menasihatinya dengan baik, dan juga dia mengetahui bahwa saudaranya yang bersalah akan menerima nasihat, maka ini termasuk menyebarkan aib yang tidak bisa diterima.
Cara yang ditempuhnya berupa celaan (jarh) dan penyebaran aib saudaranya adalah bentuk fanatisme terselubung (ta’ashshub khafi) terhadap diri sendiri dan hawa nafsu.
Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya “Ath-Thuruq Al-Hukmiyah” (hal. 58):
“Dan diantara bentuk kecerdasan yang mendalam adalah engkau tidak menyebarkan kesalahan seorang yang ditaati di tengah-tengah manusia, sehingga engkau malah membawanya semakin terjerumus dalam kesalahan, maka itu adalah kesalahan kedua. Akan tetapi hendaklah engkau sampaikan kepadanya dengan penuh kelembutan, sehingga orang lain tidak mengetahui kesalahannya.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitabnya “Adab Ath-Tholab” (hal. 81):
“Dan banyak engkau temui dua orang yang adil dari kalangan ahli ilmu namun berseteru dalam satu permasalahan, keduanya berbeda pendapat dalam satu pembahasan, maka setiap mereka mulai mencari-cari dalil untuk menguatkan pendapatnya, sehingga pada akhirnya masing-masing membawa al-mutaroddiyah (bangkai hewan yang mati karena terjatuh) dan an-nathihah (bangkai hewan yang mati karena dilukai hewan lainnya) (yakni mengada-ngada dalam berdalil, pen) padahal setiap mereka tahu bahwa kebenaran berada pada pihak yang lain dan apa yang dia bawa sama sekali tidak dapat mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan dahaga.
Dan ini adalah bentuk fanatisme (ta’ashshub) yang sangat terselubung, dimana banyak orang yang adil (lagi berilmu) masih terjatuh padanya (apalagi yang jahil lagi zalim, pen), terlebih lagi ketika di hadapan manusia, sulit bagi orang yang menyalahkan (kebenaran yang ada pada saudaranya) untuk kembali kepada kebenaran kecuali dalam kondisi yang sangat jarang sekali. Dan ini kebanyakan terjadi dalam majelis-majelis pelajaran dan forum-forum ahli ilmu.”
Aku (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah) berkata,
“Apabila tujuan menyebarkan celaan adalah untuk menunjukkan kecemburuan terhadap agama dan bahwasannya dia tidak sabar atas kesalahan yang dia ketahui, maka dalam perbuatan itu terdapat bentuk kepercayaan terhadap diri sendiri.
Adapun jika tujuan menampakkan celaan karena anggapan bahwa hal itu lebih bermanfaat dalam menasihati dan lebih kuat pengaruhnya dalam perbaikan maka itu adalah ijtihad yang diterima, akan tetapi yang menjadi ukuran apakah ijtihadnya benar atau tidak adalah pada akibatnya.
Jadi, apabila nampak akibat penyebaran aib tersebut membuka pintu perselisihan dan pertikaian yang bisa jadi semakin memanas, maka wajib atas pelakunya untuk bersegera melakukan perbaikan apa yang telah dirusaknya, sehingga dia menjadi seorang mujtahid yang mendapat satu pahala dalam penyebaran celaan tersebut, dan mendapat dua pahala ketika dia kembali melakukan perbaikan. Adapun jika telah lewat masa yang panjang, dalam keadaan dia tidak peduli dengan perpecahan yang telah dibuatnya, maka ini hanyalah sekedar memenangkan hawa nafsu belaka. Semoga Allah ta’ala melindungi kita dari keburukan jiwa-jiwa kita.
Maka ingatlah Allah, ingatlah Allah dalam memperbaiki kondisi untuk menjaga ukhuwah, saling tolong menolong, saling menguatkan dan saling menjaga persatuan, kasih sayang dan kecintaan.”
[Al-Ibanah ‘an Kaifiati At-Ta’amul ma’al Khilaaf bayna Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Penjelasan tentang Cara Menyikapi Perselisihan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah), hal. 266-267]
[…] : Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray Share this:CetakTwitterFacebookLinkedInSurat elektronikTumblrLintaskan lintas.meBagikan InfogueLike […]
Subhanallah nasihat yg sangat bijak..
baarokallaahufiikum.
Na’am ustadz, jazakallaah khayran, wabarakallaahu fiik..