Apakah Berbekam, Totok Darah dan Donor Darah Membatalkan Puasa?

Artikel Ramadhan (21)

1
10003

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pendapat Pertama dan Dalilnya

Sebagian ulama berpendapat bekam membatalkan puasa. Ini pendapat Al-Imam Ahmad,[1] Ishaq, Ibnul Mundzir, Muhammad bin Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ‘Atho’, Abdur Rahman bin Mahdi, Al-Hasan, Masruq, dan Ibnu Sirin. Dan beberapa sahabat tidak suka bekam siang hari, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Musa dan Anas bin Malik.[2]
 
Pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin dan Al-Lajnah Ad-Daaimah.[3]
 
Dan sebagian ulama yang berpegang dengan pendapat kedua ini juga berpendapat bahwa fashdhun (totok darah, yaitu pengobatan dengan cara mengeluarkan darah) dan yang semisalnya adalah sama dengan bekam, yaitu membatalkan puasa.[4]

Demikian pula Al-Lajnah Ad-Daaimah berpendapat bahwa donor darah dalam jumlah besar membatalkan puasa.[5]
 
Berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sejumlah sahabat radhiyallahu’anhum, Shahih Abi Daud: 2049, 2051]

Pendapat Kedua dan Dalilnya

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berbekam dan yang semisalnya tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik dan Ats-Tsauri.
 
Beberapa sahabat dan tabi’in membolehkan berbekam bagi orang yang berpuasa, diantaranya Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Al-Husain bin Ali, Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Jubair.[6]
 
Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Hazm, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Al-Bukhari cenderung kepadanya.[7]
 
Berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berihram, beliau juga berbekam dan beliau sedang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma]

Cara Mengkompromikan Dalil Pendapat Pertama dan Kedua

Para ulama menempuh tiga cara untuk memadukan antara dua hadits di atas:

Cara Pertama: Mengunggulkan Salah Satu Hadits dan Melemahkan Salah Satunya dengan Kaidah-kaidah Ilmu Hadits

Sebagaimana dinukil dari Al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau melemahkan hadits dengan tambahan “Beliau sedang berpuasa”, yang shahih hanyalah bagian yang pertama, yaitu “Beliau sedang berihram”.
 
Namun ternyata yang dilemahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah adalah hadits dengan sanad dan lafaz yang berbeda dengan milik Al-Bukhari. Sanadnya adalah:

حبيب بن الشهيد عن ميمون بن مهران عن ابن عباس

“Habib bin Asy-Syahid, dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas.”
 
Adapun lafaznya:

أن النبى صلى الله عليه وسلم احتجم وهو صائم محرم

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berpuasa juga berihram.”
 
Adapun sanad Al-Bukhari, beliau berkata:

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

“Telah menyampaikan kepada kami Mu’alla bin Asad, telah menyampaikan kepada kami Wuhaib, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.”

Dan lafaznya juga berbeda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berihram, beliau juga berbekam dan beliau sedang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari]
 
Dan maksud hadits ini adalah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada dua keadaan yang berbeda, pertama ketika ihram, kedua ketika berpuasa.
 
Demikian pula hadits ini tidak menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sedang melakukan safar sehingga beliau berbekam saat berpuasa.
 
Demikian ringkasan penjelasan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah (dalam Irwaaul Ghalil, 4/77-79).
 
Kemudian Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberi kesimpulan,

وجملة القول: أن حديث ابن عباس من الطريق الأولى صحيح لا مغمز فيه , فقول ابن القيم فى ” زاد المعاد “: ” ولا يصح عنه صلى الله عليه وسلم أنه احتجم وهو صائم , وقد رواه البخارى “! مما لا يلتفت إليه , لأن ما نقله عن أحمد من إعلاله للحديث من طرق تقدم أكثرها ليس فيها طريق البخارى , فهى سالمة من الطعن , وقد أشار إلى رد قول ابن القيم هذا الحافظ فى ” الفتح ” بقوله (4/155): ” والحديث صحيح لا مرية فيه“.

“Kesimpulannya adalah, hadits Ibnu ‘Abbas dari jalan yang pertama (yang diriwayatkan Al-Bukhari) adalah shahih tidak ada keraguan padanya, maka ucapan Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad: ‘Tidak shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau berbekam dan beliau sedang berpuasa, dan telah diriwayatkan Al-Bukhari’, maka ucapan beliau ini termasuk pendapat yang tidak perlu dianggap, karena pelemahan hadits ini yang beliau nukil dari Imam Ahmad adalah dari jalan-jalan yang telah disebutkan, maka kebanyakannya tidak ada jalan periwayatan Al-Bukhari, sehingga jalan Al-Bukhari selamat dari kritikan, dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) telah memberikan isyarat bantahan terhadap Ibnul Qoyyim (dalam Al-Fath, 4/155), dengan ucapannya: Hadits ini shahih tidak ada keraguan padanya.” [Irwaaul Ghalil, 4/79]
 
Kesimpulannya, kedua hadits sama-sama shahih, maka cara pertama ini tidak bisa ditempuh.

Cara Kedua: Metode Nasakh (Menghapus Hukum) Salah Satu Hadits dengan Dalil-dalil yang Menunjukkannya

Para ulama yang berpendapat bekam membatalkan puasa mengatakan bahwa hadits-hadits tentang berbekamnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika puasa andaikan shahih maka telah di-nasakh oleh hadits: “Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.”[8]
 
Sebaliknya, ulama yang berpendapat bekam tidak membatalkan puasa mengatakan bahwa justru hadits tersebut yang telah di-nasakh oleh hadits-hadits tentang berbekamnya Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa, seperti hadits: “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berihram, beliau juga berbekam dan beliau sedang berpuasa.”[9]
 
Akan tetapi syarat dalil yang me-nasakh harus datang lebih akhir dibanding yang di-mansukh (yang dihapus hukumnya), dan dalam masalah ini tidak diketahui pasti mana yang lebih dulu dan mana yang akhir.
Hanya saja ada indikasi kuat bahwa hadits tentang berbekamnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berpuasa lebih akhir, sebab itu adalah rukhsoh (keringanan), dan rukhsokh biasanya datang setelah ‘azimah (penetapannya sebagai hukum yang wajib).
 
Dan dikuatkan oleh hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu yang menyatakan bahwa bekam adalah rukhsoh, sebagaimana yang dinukil Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Ibnu Hazm rahimahumallah, beliau berkata,

صَحَّ حَدِيثُ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ بِلَا رَيْبٍ لَكِنْ وَجَدْنَا مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ أَرْخَصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ فَوَجَبَ الْأَخْذُ بِهِ لِأَنَّ الرُّخْصَةَ إِنَّمَا تَكُونُ بَعْدَ الْعَزِيمَةِ فَدَلَّ عَلَى نَسْخِ الْفِطْرِ بِالْحِجَامَةِ سَوَاءٌ كَانَ حَاجِمًا أَوْ مَحْجُومًا

“Telah shahih hadits: ‘Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’, tanpa diragukan lagi, akan tetapi kami dapatkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri,

أَرْخَصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ

‘Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memberi rukhsoh (keringanan) untuk berbekam bagi orang yang berpuasa.’[10]
 
Sanad hadits ini shahih maka wajib mengambilnya sebagai dalil, karena rukhsoh (keringanan) hanyalah datang setelah ‘azimah (penetapannya sebagai hukum yang wajib), maka hadits ini menunjukkan penghapusan hukum batalnya puasa dengan sebab bekam, sama saja apakah yang membekam atau yang dibekam.” [Fathul Baari, 4/178]

Cara Ketiga: Mengkompromikan Makna Kedua Hadits
 
Andai cara yang kedua tidak bisa ditempuh masih tersisa cara yang ketiga, yaitu dengan mengkompromikan makna-makna hadits di atas.
 
Maka sebagian ulama menjelaskan makna hadits: ‘Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’, maksudnya adalah terancam berbuka, karena;
 
– Orang yang membekam di masa dahulu dengan cara menghisap melalui alat bekam sehingga bisa tertelan.
 
– Orang yang dibekam akan melemah tubuhnya sehingga pada akhirnya berbuka puasa.
 
Inilah pendapat yang lebih tepat insya Allah bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, namun terancam batal.
 
Penafsiran ini didukung oleh riwayat Abdur Rahman bin Abi Laila rahimahullah, dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang berbekam dan berpuasa wishol (menyambung puasa tanpa berbuka), namun beliau tidak mengharamkan kedua perkara tersebut, beliau melarang demi menjaga para sahabat beliau.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 2055]
 
Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa berbekam ketika sedang berpuasa hukumnya makruh, kecuali tentunya bagi orang yang sakit maka boleh baginya berbuka dan berbekam, dan hukum makruh ini diperkuat oleh hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu.[11] Dari Tsabit Al-Bunani rahimahullah, beliau berkata,

سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ؟ قَالَ: لاَ، إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Anas bin Malik radhiyallahu’anhu ditanya: Apakah kalian membenci berbekam (di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) untuk orang yang berpuasa? Beliau berkata: Tidak, kecuali apabila melemahkan (sehingga membatalkan puasa).” [HR. Al-Bukhari]
 
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, namun dimakruhkan apabila dapat melemahkan tubuh seseorang yang pada akhirnya orang yang berbekam itu berbuka puasa. Dan tidak makruh bagi orang sakit yang butuh diobati dengan bekam.
 
Inilah pendapat yang kuat insya Allah, yaitu pendapat mayorutas ulama, bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, termasuk fashdhun dan donor darah tidaklah membatalkan puasa.
 
Diperkuat lagi dengan ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma ketika beliau ditanya tentang berbekam bagi orang yang berpuasa, beliau berkata,

الْفِطْرُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ وَالْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ

“Berbuka adalah karena sesuatu yang masuk dalam tubuh, bukan karena sesuatu yang keluar, sedang berwudhu adalah karena sesuatu yang keluar.” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah][12]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Catatan Kaki:

[1] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/492.

[2] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 192.

[3] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 25/250-252, Zaadul Ma’ad, 2/60, Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/271, Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 19/239-251, Asy-Syarhul Mumti’, 6/391-396, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10-261-265, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 196.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 25/256, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 196.

[5] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 9/202.

[6] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/491-492 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 192.

[7] Lihat Fathul Baari, 4/177.

[8] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 192.

[9] Lihat Fathul Baari, 4/178.

[10] Diriwayatkan An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro, sanadnya dishahihkan Ibnu Hazm dan para rawinya dinyatakan tsiqoh oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, hanya saja ulama berbeda pendapat apakah hadits ini mauquf atau marfu’, dan sanadnya juga dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani (lihat Tamaamul Minnah, 4/74).

[11] Lihat Subulus Salaam, 1/570.

[12] Lihat Fathul Baari, 4/175.

═══ ❁✿❁ ═══

Gabung Group WA KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Salah Satu Admin:
wa.me/628111833375
wa.me/628119193411
wa.me/628111377787

TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/kitab_tauhid
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim

Medsos dan Website:
– youtube.com/c/kajiansofyanruray
– instagram.com/sofyanruray.info
– facebook.com/sofyanruray.info
– instagram.com/taawundakwah
– facebook.com/taawundakwah
– twitter.com/sofyanruray
– taawundakwah.com
– sofyanruray.info

#Yuk_share agar menjadi amalan yang terus mengalir insya Allah. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini