Alasan Yang Benar untuk Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam dalam “Perjanjian” yang Terbimbing

0
1808

Keutamaan Ulama Yaman

Oleh: Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Abdul Hadi bin Mahji bin Muhammad Al ‘Umairi Al Hudzali –hafizhahullah-

Bismillahir Rahmanir Rahim

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta ampun dari-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kita dan keburukan amalan-amalan kita.

Barangsiapa yang Allah beri hidayah maka tak akan ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tak akan ada yang bisa memberinya hidayah.

Aku bersaksi bahwa tak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah semata dan tak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.” (Ali Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rob-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An Nisaa: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab:70 -71)

Kemudian daripada itu:

Aku telah melihat surat perdamaian yang telah ditulis antara Asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Abdillah Al Imam dan Abdul Malik Al Hutsi. Disini aku bukan membela As Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam beserta manhajnya. Segala puji bagi Allah, beliau adalah sebuah gunung yang di puncaknya dinyalakan api dalam bab ini (maksudnya, beliau adalah seorang ulama tersohor yang tak perlu diragukan lagi dalam perkara ini, pent.).

Aku bukan sedang menyepakati perkara-perkara yang terlampir padanya dan sudah menjadi prinsip-prinsip perselisihan antara kita dengan mereka (syi’ah). Dan aku yakin bahwa Syaikh Muhammad hafizhahullah juga meyakini perselisihan ini. Akan tetapi yang dipahami oleh sebagian (manusia) yaitu apakah yang mendorong Syaikh untuk melakukan (surat perdamaian) ini? Apakah beliau mempunyai salaf (pendahulu) dalam masalah ini? Dan apa pendapat para ulama mengenai peristiwa ini?

Berarti pembahasannya berada pada 3 tema diskusi sebagai berikut:

1.      Apa sebab yang mendorong Syaikh untuk melakukan (surat perdamaian) ini?

2.      Siapa yang menjadi salaf beliau dalam masalah ini?

3.      Pendapat para ulama mengenai peristiwa ini.

1.      Adapun sebab yang mendorong Syaikh untuk melakukan (surat perdamaian) ini adalah (kaedah) menolak berbagai kerusakan dan meraih sekian kemaslahatan.

Ini merupakan kaedah syar’iyyah yang dikenal dalam syariat. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam “Miftah Daris Sa’adah” (2/22-23): “Bila engkau mencermati syariat-syariat agama-Nya yang telah Allah letakkan diantara para hamba-Nya, niscaya engkau mendapatinya tidak keluar dari pemenuhan kemaslahatan-kemaslahatan yang murni atau yang (lebih) kuat (dari kerusakannya), sesuai dengan kemampuan. Jika kemaslahatan-kemaslahatan itu saling tumpang tindih maka didahulukan yang lebih penting dan lebih mulia meskipun kemaslahatan yang lebih kecil akan lenyap. (Demikian pula syariat-syariat Allah) tidak keluar dari penolakan kerusakan-kerusakan yang murni atau yang (lebih) kuat (dari kemaslahatannya), sesuai dengan kemampuan. Jika kerusakan-kerusakan itu saling tumpang tindih maka dihilangkan yang lebih besar kerusakannya dengan melakukan yang lebih ringan kerusakannya.”

Orang yang menyaksikan apa yang telah terjadi di negeri Yaman, baik berupa gejolak berbagai fitnah, pembunuhan, pemboikotan terhadap saudara-saudara kita Ahli Sunnah, cuci tangan kebanyakan manusia yang dekat maupun yang jauh dari mereka, serta dukungan terhadap orang hutsi (syi’ah) di Yaman, pastilah dia menjadi yakin dengan firman-Nya:

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (An Nahl: 6)

Sesudah keruntuhan Samah (sebuah kampung dekat Ma’bar) yang dinilai sebagai pintu masuk utama ke wilayah Ma’bar, pemboikatan penduduknya, dan juga pengeboman masjid Ahli Sunnah yang berada disana, maka orang-orang hutsi (syi’ah) mengambil posisi di puncak-puncak bukit yang terletak di sekitar wilayah Ma’bar dan di sekitar pondok (Syaikh). Mereka mengulang-ngulang berbagai slogan tentang keruntuhan Ma’bar yang merupakan pusat Ahli Sunnah di Yaman dan para santrinya mencapai jumlah lebih dari 3000 orang.

Apa yang bisa kita harapkan untuk dapat diperbuat oleh Syaikh? Orang yang tangannya berada di dalam api tidak seperti orang yang tangannya berada di dalam air. Tentunya sebuah berita tidak sama dengan melihat langsung dengan mata. Berita tentang Dammaj dan berbagai peristiwa yang menimpanya belum luntur dari ingatan kita.

2.      Adapun salaf beliau dalam masalah ini adalah peristiwa yang terjadi dalam “Perdamaian Hudaibiyah” antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan orang-orang kafir Quraisy.

Al Imam Bukhari telah meriwayatkan di dalam shahihnya dan juga yang selain beliau dari ‘Urwah bin Zubair, Miswar bin Makhramah dan Marwan, masing-masing dari keduanya membenarkan hadits sahabatnya, keduanya berkata:

“Tatkala Suhail bin ‘Amr datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: sungguh urusan kalian telah menjadi mudah buat kalian.”

Ma’mar berkata, bahwa Zuhri berkata di dalam haditsnya:

“Maka Suhail bin ‘Amr pun datang, lalu dia berkata: bawalah kemari, aku tuliskan sebuah tulisan (perdamaian) antara kami dengan kalian. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil si penulis, lalu beliau bersabda: dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Suhail berkata: Adapun Ar Rahman (Maha Pengasih), demi Allah aku tidak mengerti apa itu, namun tulislah: dengan nama-Mu ya Allah. Sebagaimana yang dahulu engkau tulis. Maka kaum muslimin berkata: demi Allah, kami tidak akan menulisnya kecuali dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: tulislah dengan nama-Mu ya Allah. Kemudian beliau bersabda: inilah yang diputuskan oleh Muhammad utusan Allah. Suhail berkata: demi Allah, jika kami mengakui bahwa engkau adalah utusan Allah, niscaya kami tidak akan menolakmu dari rumah Allah (Ka’bah) dan sungguh kami tidak akan memerangimu. Akan tetapi tulislah: Muhammad bin Abdillah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: demi Allah, sungguh aku adalah utusan Allah. Jika kalian mendustakanku maka tulislah: Muhammad bin Abdillah.”

Zuhri berkata:

“Hal itu karena sabda beliau: tidaklah mereka memintaku sebuah keinginan yang di dalamnya mereka memuliakan kesucian-kesucian Allah melainkan aku akan berikan kepada mereka.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: (perdamaian ini) atas kesepakatan kalian membiarkan kami untuk mendatangi Ka’bah sehingga kami bisa thawaf padanya. Suhail menjawab: demi Allah, Jangan sampai bangsa Arab mengatakan bahwa kami melakukannya karena tekanan,  tetapi hal itu (bisa dilaksanakan) pada tahun yang akan datang. Maka si penulis pun menulis(nya). Kemudian Suhail berkata: (perdamaian ini) atas kesepakatan jika seseorang dari kami datang kepadamu sedang dia berada di atas agamamu maka engkau memulangkannya kepada kami. Maka kaum muslimin berkata: Subhanallah, bagaimana dia dipulangkan kepada kaum musyrikin padahal dia telah datang dalam keadaan sebagai seorang muslim.

Ketika mereka dalam suasana seperti itu, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin ‘Amr masuk berjalan dengan belenggunya. Dia telah keluar dari dataran rendah kota Mekah hingga dia dapat meletakkan dirinya diantara kaum muslimin. Maka Suhail pun berkata: orang ini, wahai Muhammad, adalah orang pertama yang aku menuntutmu agar engkau pulangkan kepadaku. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: kami belum mengambil keputusan terhadap tulisan (yang ini). Suhail berkata: demi Allah, kalau begitu selamanya aku tidak bisa membuat perjanjian damai denganmu atas kesepakatan apa pun. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: perbolehkanlah dia untukku. Suhail menjawab: aku tidak akan membolehkannya untukmu. Nabi bersabda: lakukanlah. Suhail menjawab: aku tidak akan melakukannya. Mikraz berkata: sungguh kami telah membolehkannya untukmu. Sementara Abu Jandal berkata: wahai segenap kaum muslimin, apakah aku akan dipulangkan kepada kaum musyrikin padahal aku telah datang dalam keadaan sebagai seorang muslim, apakah kalian tidak melihat apa yang telah aku rasakan? Sebelumnya dia telah disiksa dengan siksaan yang keras di jalan Allah.

Kemudian Umar bin Khaththab berkata: lalu aku mendatangi Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku bertanya: bukankah engkau sebenarnya adalah nabi Allah? Beliau menjawab: iya. Aku kembali bertanya: bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas ke bathilan? Beliau menjawab: iya. Aku bertanya: kalau begitu, kenapa kita memberi kerendahan pada agama kita? Beliau menjawab: sesunguhnya aku ini adalah utusan Allah, aku tidak akan memaksiatinya, sedang Dia akan menolongku. Aku kembali bertanya: bukankah engkau pernah menyampaikan kepada kami bahwa kami akan mendatangi rumah Allah (Ka’bah) dan kami akan thawaf padanya? Beliau menjawab: benar, lalu pernahkah aku memberitakan kepadamu bahwa kita akan mendatanginya pada tahun ini? Aku menjawab: tidak. Beliau pun bersabda: sungguh (suatu saat) engkau akan mendatanginya dan thawaf padanya.

Umar berkata: kemudian aku mendatangi Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya: wahai Abu Bakar, bukankah (nabi) ini sebenarnya adalah nabi Allah? Beliau menjawab: iya. Aku kembali bertanya: bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebathilan? Beliau menjawab: iya. Aku bertanya: kalau begitu, kenapa kita memberi kerendahan pada agama kita? Beliau menjawab: wahai lelaki, sesungguhnya dia adalah utusan Allah, dia tidak akan memaksiati Robnya, sedang Dia akan menolongnya. Aku kembali bertanya: bukankah dia pernah menyampaikan kepada kita bahwa kita akan mendatangi rumah Allah (Ka’bah) dan kita akan thawaf padanya? Beliau menjawab: benar, lalu apakah dia pernah memberitakan kepadamu bahwa engkau akan mendatanginya pada tahun ini? Aku menjawab: tidak. Beliau pun berkata: sungguh (suatu saat) engkau akan mendatanginya dan thawaf padanya.”

Zuhri berkata, bahwa Umar berkata: “Maka aku pun melakukan untuk itu beberapa pekerjaan.”

Asy Syaikh Al ‘Allamah DR. Robi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah pernah berkata di dalam “Majmu’ul Kutub War Rasail” (9/132):

“Bukankah kaum musyrikin sendiri yang pernah mengusulkan beberapa perkara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam supaya (beliau mau) mengalah dari (menegakkan)nya? Untuk memenuhi kemaslahatan-kemaslahatan dan (menghindari) kerusakan-kerusakan yang beliau jaga, beliau pun menyambut permintaan mereka terhadapnya, padahal beberapa perkara itu termasuk prinsip-prinsip yang sangat fundamental.”

Asy Syaikh memberi komentar terhadap ucapan ini di dalam kaset yang ketiga dari penjelasan Kitabul Iman dalam Shahih Bukhari:

“Aku berkata: boleh mengalah dalam perkara-perkara prinsip ketika ada kebutuhan dan di saat darurat. Contoh-contohnya sangatlah jelas, sedang Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma’ tegak di atasnya. Seorang muslim, bila mereka memaksanya, dia boleh mengucapkan kalimat kekafiran yang bila dalam keadaan lain dia bisa kafir dan keluar dari islam. Namun bila dia mengucapkannya dalam keadaan darurat (terpaksa), niscaya Allah mengampuninya. Semoga Allah memberkahimu.

‘Ammar radhiyallahu ‘anhu, mereka telah menyiksanya. Bilal, mereka menjemurnya di tengah terik matahari. Dahulu beliau hanya mengucapkan: ahad (satu), ahad (satu). ‘Ammar, mereka telah membunuh ibunya dan telah membunuh bapaknya. Semoga Allah memberkahimu. Kemudian mereka ingin menyusulkannya dengan kedua orang tuanya tersebut. Maka beliau pun mengucapkan kalimat kekafiran. Beliau mencela Rosul dan memuji para berhala yang demikian dan demikian. Beliau datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang para sahabat meninggalkannya. Beliau berkata: wahai Rasulullah, aku telah binasa, aku telah melakukan demikian dan demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: bagaimana engkau rasakan hatimu? Beliau menjawab: (hatiku) tetap tenang dengan keimanan. Lantas Rasul bersabda: jika mereka mengulangi kembali (tindakannya) maka ulangilah kembali (untuk melakukan itu), ucapkanlah kalimat kekafiran karena engkau terpaksa. Maka Allah menurunkan (firman-Nya):

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (An Nahl: 6)

Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi udzur kepada orang yang menampakkan kekafiran dalam keadaan terpaksa. (‘Ammar) ini mengalah dalam perkara yang paling fundamental dari prinsip-prinsip agama. Sekarang aku bertanya kepada kalian semua: bukankah perkara ini merupakan pondasi dari setiap prinsip agama?

Salah seorang hadirin menjawab: Iya benar.

Syaikh kembali melanjutkan: bagaimana itu? Mereka menjawab: engkau mengatakan: dia mengalah dalam perkara-perkara prinsip. Baiklah, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

“Kecuali (bila) kamu menjaga diri dari mereka dengan sebuah perlindungan.” (Ali Imran: 28)

Allah telah mengharamkan loyalitas kepada orang-orang yang kafir. Allah menjadikan diantara loyalitas itu ada yang merupakan kekafiran. Diantara loyalitas itu ada yang merupakan kekafiran secara ijma’. Yaitu bila dia berloyalitas kepada mereka karena mencintai mereka dan agama mereka. (Dia) menjadi kafir, kafir, kafir. Akan tetapi bila dia menampakkan kepada mereka suatu loyalitas, dalam kondisi dia takut mereka akan memenjarakannya, memukulnya, mengambil hartanya, atau demikian, dia boleh menampakkan kepada mereka suatu loyalitas dan kesepakatan, dan gugur darinya (kewajiban) dakwah kepada jalan Allah, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta (kewajiban) menampakkan syiar-syiar agama (Allah). Semuanya gugur darinya padahal perkara-perkara itu merupakan prinsip.

An Najasyi hidup di tengah-tengah kaumnya sebagai raja. Dia tidak mampu menampakkan islam, dia tidak mampu berjihad, dia tidak mampu melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dia tidak mampu shalat di hadapan manusia, (semuanya) adalah perkara-perkara prinsip, namun dia tidak mampu. Allah telah menampakkan udzurnya, tatkala dia meninggal, Rasulullah bersabda: sesungguhnya kalian mempunyai seorang saudara di negeri Habasyah telah meninggal dunia. Maka beliau menyerukan untuk shalat (jenazah) dan beliau pun menshalatinya. Allah memberinya udzur atau tidak memberinya udzur?

Ibnul Wazir rahimahullah berkata: para ulama telah sepakat atas (bolehnya) mengambil keringanan-keringanan yang sudah ditunjukkan oleh Al Kitab dan As Sunnah dalam kondisi terpaksa, dalam keadaan lupa, atau dalam keadaan tersalah (tanpa sengaja). Terlebih lagi bila tersalah (tanpa sengaja), karena itu adalah sebuah kondisi yang manusia sering terjatuh ke dalamnya. Semoga Allah memberkahimu. Banyak sekali bentuknya, dalam perkara jihad, dalam kondisi takut ketika jihad, semoga Allah memberkahimu, mereka (boleh) shalat dalam keadaan berkendaraan maupun berjalan, menghadap kiblat maupun membelakanginya. Bila shalat (fardhu) itu empat rakaat, mereka melaksanakannya dua rakaat, sebagian mereka melaksanakannya satu rakaat, sebagian mereka berpendapat boleh bertakbir (hanya) satu takbir. (Ini) adalah perkara-perkara prinsip dan kewajiban-kewajiban yang mereka mengalah dari (menegakkan)nya.

Rasul dalam perdamaian Hudaibiyah rela untuk mengalah dari menulis persaksian Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadan rosulullah (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Beliau mengalah dari (menulis)nya. Aku tidak mengatakan beliau mengalah, aku mengatakan beliau bertoleransi, beliau bertoleransi untuk tidak menulisnya. Beliau bertoleransi untuk tidak menulis “dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Mereka mengatakan: kami tidak mengetahui melainkan (hanya) “dengan nama-Mu ya Allah”, kami tidak mengetahui Ar Rahman (Maha Pengasih) dan Ar Rahim (Maha Penyayang). Maka beliau pun bersabda: tulislah “dengan nama-Mu ya Allah”.  Beliau bersabda: Muhammad utusan Allah. (Suhail) menjawab: tidak, kalau kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah, niscaya kami tidak akan memerangimu, tulislah Muhammad bin Abdillah sebagaimana yang kami kenal. Beliau bersabda: demi Allah, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, tulislah Muhammad bin  Abdillah.

Aku berkata: beliau telah mengalah dari menulis “dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” dan beliau juga mengalah dari menulis “Muhammad rosulullah”. Padahal itu termasuk perkara-perkara prinsip. Ada yang mengatakan: itu tidak termasuk perkara-perkara prinsip. Aku katakan sekarang bahwa itu termasuk perkara-perkara prinsip. Aku katakan: sekarang Rasul wajib untuk menyampaikan kepada seluruh umat. “Kami tidaklah menggutusmu melainkan sebagai rahmat buat segenap alam”. Tatkala beliau menulis surat untuk raja persia dan romawi, apakah beliau menulis kepada mereka “dari Muhammad bin Abdillah dan hendaklah kalian beriman kepada Muhammad bin Abdillah”? atau beliau mengatakan kepada mereka: “Muhamammad rosulullah”, “aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan Muhammad adalah rosulullah”, maka ucapkanlah “aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan Muhammad rosulullah” atau beliau mengatakan: “Muhammad bin Abdillah”? Kalau ada seseorang yang mengatakan jutaan kali “aku bersaksi bahwa tidak sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan Muhammad bin Abdillah” apakah dia masuk islam? Dia tidak masuk islam. Rasul wajib menuliskan kepada manusia, bahwa aku adalah rosulullah, kepada mereka yang jauh dari beliau. Semoga Allah memberkahimu.

Aku mengangapnya sebagai perkara prinsip, ada kemungkinan bahwa itu bukan perkara prinsip, tetapi ini adalah ijtihadku. Ijtihadku adalah aku menganggapnya sebagai perkara prinsip. Semoga Allah memberkahimu.

Ada yang mengatakan: tidak, ini bukan perkara prinsip. Rasul tidak mengalah dari risalah(nya). Lantas mereka pergi untuk menyebarluaskan bahwa aku mengatakan Rasul mengalah dari risalahnya. Mengalah dari rislah (kerasulan), apa maknanya? Maknanya banwa Rasul telah kafir dan demikian pula para sahabatnya. Apakah aku mengatakan ucapan ini? Aku mengatakan Rasul mengalah dari menulis, beliau tidak mengalah, tetapi beliau bertoleransi. Demi Allah, aku merasa berat terhadap kalimat “beliau mengalah”, yang aku tulis “beliau bertoleransi untuk tidak menulis Muhammad rosulullah”, dan itu termasuk dari perkara-perkara prinsip. Baiklah, katakanlah aku salah dalam menamakannya sebagai perkara prinsip, tetapi dia juga mengatakan bahwa perkara-perkara ini termasuk prinsip? Namun apakah aku pernah mengatakan bahwa beliau mengalah dari risalah(nya)? Apa pengertian beliau mengalah dari risalah(nya)?

Apa dosa kedustaan yang sudah mereka perbuat ini dan mereka sampaikan kepada manusia. Sebagian manusia tertipu dan membenarkan orang-orang yang yahudi sekalipun merasa malu berbuat kedustaan seperti kedustaan mereka.

Aku mengatakan bahwa Rasul mengalah dari risalah(nya)? Yang aku katakan bahwa Rasul mengalah dari menulis. Demi Allah yang tidak ada sesembahan berhak diibadahi melainkan Dia, yang benar-benar aku maksudkan adalah beliau bertoleransi untuk tidak menulis bahwa Muhammad rosulullah. Apakah Rasulullah tidak bertoleransi untuk tidak menulis? Beliau bertoleransi dan beliau tidak menulisnya. Namun mereka (tetap) mengatakan: tidak demikian.

Mengalah dari menulis bukan mengalah dari risalah (kerasulannya). Laa Ilaaha Illallah. Perbedaan antara kedua ucapan ini laksana perbedaan antara keimanan dan kekafiran. Perbedaan antara dua ungkapan ini sebagaimana jarak antara ‘Arsy dan permukaan bumi. Tidak ada yang mengatakan hal ini melainkan seorang yang dungu atau seorang pendosa, karena dia menampakkan beliau mengalah dari risalah(nya) bahwa beliau kafir terhadap risalah(nya).

Kemudian aku mengatakan segala sesuatunya ini dalam lingkup ucapan Ibnu Qayyim rahimahullah…

Aku menjelaskan mengenai kemaslahatan-kemaslahatan, kerusakan-kerusakan, tujuan-tujuan, dan seterusnya, (semua itu) terkait dengan berbagai kaitannya, dengan berbagai kaitannya, dengan berbagai kaitannya. Aku sangat menekankan kaitan-kaitannya ini. Namun sampai sekarang dia (tetap) mengatakan: dia mengucapkan beliau telah mengalah dari risalah(nya). Ini berarti menuduhku dengan kekafiran, bahwa aku telah mengkafirkan Rasul. Kalau Rasulullah mengalah dari risalah (kerasulan)nya lalu para sahabat mengikuti beliau, apa maknanya ini? (maknanya) bahwa Rasul dan para sahabatnya keluar dari islam. Mereka itu memang berupaya mengesankan hal ini kepada manusia.”

3.      Pendapat sebagian ulama mengenai kejadian ini.

Sesungguhnya para ulama sudah mencermati kejadian ini dan mereka memberi udzur kepada Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam terkait apa yang telah beliau tanda tangani. Dan hal itu bukan sebagai bentuk persetujuan mereka terhadap isi kandungannya.  Demikian pula Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam, menurut keyakinan kami pada beliau, tetapi ibarat pepatah “saudaramu adalah seorang yang terpaksa bukan (karena) jagoan”.

Para ulama itu adalah:

1.      Guru kami, Al ‘Allamah Al Muhaddits DR. Washiyullah bin Muhammad ‘Abbas.

2.      Asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushabi.

3.      Asy Syaikh Abdullah bin Utsman Adz Dzammari.

4.      Asy Syaikh Abdul Aziz Al Bura’i.

5.      Asy Syaikh Abdur Rahman Al ‘Adani.

6.      Asy Syaikh Muhammad Ash Shumali.

Mereka ini sebagaimana yang diberitakan Syaikh Ahmad Syamlan kepadaku dari Syaikh Abdul Aziz Al Bura’i.

7.      Asy Syaikh Utsman As Salimi.

Aku berharap kepada para masyaikh yang telah berbicara (tidak baik) terhadap Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam agar melihat kondisi beliau. Sesuatu yang aneh, ketika isi perjanjian damai Hudaibiyah disertai penjelasan Al ‘Allamah Asy Syaikh DR. Robi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah sepenuhnya sesuai dengan kondisi Ahli Sunnah di Yaman, kenapa mereka tidak memberi udzur kepada Ahli Sunnah di sana? Apakah mereka sudah benar-benar yakin terhadap apa yang mereka ucapkan itu? Atau memang mereka mengatakannya dengan ketergesa-gesaan? Aku berharap dari mereka, bila mereka melihat bahwa ucapanku ini menyelisihi apa yang dikatakan Al ‘Allamah Asy Syaikh DR. Robi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah, hendaklah mereka menjelaskannya kepadaku.

Aku mengingatkan setiap orang yang berbicara mengenai orang lain tanpa pertimbangan yang matang dan meneliti masalah dengan benar untuk takut kepada Allah. Dampak lisan yang cukup besar sudah diketahui di kalangan para ulama.

Sedangkan para penuntut ilmu, aku nasehati mereka agar memberi udzur kepada Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Imam. Janganlah mereka menghalangi diri mereka sendiri dari kebaikan yang sedang berlangsung di Ma’bar. Hendaklah mereka tetap berjalan untuk menuntut dan menggali ilmu, dan janganlah mereka masuk ke dalam masalah ini karena ucapan sebagian ulama. Semoga perjanjian damai ini bisa menjadi pelindung dengan seizin Allah dari keburukan perihal yang ditakutkan.

Ditulis oleh:

Abu Abdirrahman Abdul Hadi bin Mahji Al ‘Umairi Al Hudzali

(Pengajar di Ma’had Masjidil Haram kota Mekah yang mulia)

Tanggal 20/10/ 1435 H.

Penerjemah: Al-Ustadz Abdul Mu’thi hafizhahullah (dari WA An-Nashihah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini