بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MAKNA SYAHADAT MENURUT BAHASA
أن يخبر بما رأى وأن يقر بما علم
“Seorang yang mengabarkan apa yang dia lihat dan menetapkan (meyakini) apa yang dia ketahui.” [Al-Mu’jamul Washit, 1/497]
MAKNA SYAHADAT MENURUT SYARI’AT
Asy-Syaikh AbdurRahman bin Hasan rahimahumallah menerangkan,
من شهد أن لا إله إلا الله أى من تكلم بها عارفا لمعناها عاملا بمقتضاها باطنا وظاهرا فلابد فى الشهادتين من العلم واليقين والعمل بمدلولها
“Seorang yang bersyahadat Laa ilaaha illallaah adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengan mengetahui maknanya, mengamalkan konsekuensinya secara batin dan lahir. Maka harus ada dalam dua kalimat syahadat; ilmu, yakin dan mengamalkan kandungannya.” [Fathul Majid, hal. 65-66]
SYARAT-SYARAT SYAHADAT
1. Ilmu.
2. Meyakini kebenarannya.
3. Mengucapkannya.
4. Mengamalkannya.
Adapun sekedar mengucapkan tanpa memahami maknanya, atau tanpa meyakini dan mengamalkannya maka ulama seluruhnya sepakat (ijma’) bahwa syahadat tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali.
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا يقين ولا عمل بما تقتضيه : من البراءة من الشرك وإخلاص القول والعمل قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح فغير نافع بالإجماع
“Adapun sekedar mengucapkan syahadat tanpa memahami maknanya, tidak pula meyakini dan mengamalkan konsekuensinya, yaitu berlepas diri dari perbuatan syirik dan mengikhlaskan ucapan dan perbuatan, baik ucapan hati dan lisan, maupun amalan hati dan lisan (jika tidak dipersembahkan hanya bagi Allah) maka ucapan tersebut tidak bermanfaat berdasarkan kesepakatan ulama.” [Fathul Majid, hal. 66]
MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAAH MENURUT BAHASA
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rojihi hafizhahullah berkata,
لا: نافية للجنس من أخوات (إن) تنصب الاسم وترفع الخبر، (إله): اسم (إن) منصوب، والخبر محذوف تقديره: لا إله حقٌّ، لا معبود حقٌ إلا الله
“Laa (لا) adalah naafiyah lil jins (yang menafikan jenis), termasuk ‘saudara-saudara’nya Inna (إن) yang me-nashob isim dan me-rofa’ khobar.
Ilah (إله) adalah isim inna (إن) yang hukumnya manshub, dan khobarnya mahdzuf (dibuang) yang ‘taqdir’-nya adalah: Tidak ada ilah (إله) yang benar (حقٌ), yakni tidak ada sesembahan (معبود) yang benar (حقٌ) kecuali Allah.” [Syarhu Nawaqidil Islam, hal. 32]
Adapun dibuangnya khobar yaitu kata “yang benar” (حقٌ) adalah sesuatu yang sudah biasa dalam bahasa Arab dan dimaklumi oleh orang-orang yang memahami bahasa Arab.
Sedangkan sebabnya adalah karena memang lafaz yang dibuang itu telah dipahami oleh orang-orang Arab bahwa yang dimaksud dengan kalimat laa ilaaha illalaah adalah laa ma’buda haqqun illallaah (tidak ada yang berhak disembah selain Allah).
Oleh karena itu kaum musyrikin dahulu menolak untuk mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah, karena mereka memahami maknanya.
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalusy Syaikh hafizhahullah berkata,
وخبر (لا) النافية للجنس يحذف كثيرا وبشيوعٍ إذا كان معلوما لدى السامع، كما قال ابن مالك في الألفية في البيت المشهور: وشاع في ذا الباب -يعني باب لا النافية للجنس: وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ ** الخَبَر إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوطِهِ ظَهَر
فإذا ظهر المراد مع السقوط جاز الإسقاط. وسبب الإسقاط؛ إسقاط كلمة (حق)، (لا إله حق إلا الله) أنّ المشركين لم ينازعوا في وجود إله مع الله – عز وجل -، وإنما نازعوا في أحقِّيةِ الله – عز وجل – بالعبادة دون غيره، وأنّ غيره لا يستحق العبادة.
“Dan khobarnya laa (لا) yang menafikan jenis (النافية للجنس) kebanyakan (khobarnya) dibuang. Dan hal ini sudah terkenal (dalam penggunaan bahasa) apabila khobar tersebut telah dimaklumi oleh pendengar, sebagaimana kata Ibnu Malik dalam Al-Alfiyyah pada bait syairnya yang masyhur:
Telah terkenal dalam bab ini –yakni bab laa yang menafikan jenis (باب لا النافية للجنس):
وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ ** الخَبَر إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوطِهِ ظَهَر
“Dan telah terkenal dalam bab ini adanya penghilangan khobar apabila yang dimaksudkan bersama penghilangannya telah nampak (jelas maknanya).”
Sehingga apabila telah nampak jelas makna yang diinginkan walau dihilangkan; maka boleh dihilangkan. Adapun sebab penghilangan kata “yang benar” (حق) dari kalimat: Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (لا إله حق إلا الله) adalah karena kaum musyrikin tidak menolak keberadaan sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, hanya saja yang mereka tolak adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah, dan selain-Nya tidak berhak disembah.” [Syarhul Aqidah Ath-Thohawiyah, hal. 27]
MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAAH MENURUT SYARI’AT
Seluruh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa makna laa ilaaha illallaah adalah,
لا معبودَ حقٌّ إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.”
Artinya, segala sesuatu yang disembah oleh manusia selain Allah ta’ala adalah sesembahan yang salah (batil), karena tidak ada sesembahan yang benar (haq) kecuali Allah tabaraka wa ta’ala.
DALIL MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAAH
Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah adalah salah, dan bahwa Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Luqman: 30 dan Al-Hajj: 62]
RUKUN LAA ILAAHA ILLALLAAH
1. An-Nafyu (penafikan) yang terdapat dalam kalimat laa ilaaha, yaitu pengingkaran terhadap semua yang disembah selain Allah ‘azza wa jalla.
2. Al-Itsbat (penetapan) yang terdapat dalam kalimat illallaah, yaitu penetapan keimanan bahwa hanya Allah yang berhak disembah.
Seorang hamba belum menjadi muslim sampai dia mengamalkan dua rukun ini. Andaikan ada seorang hamba yang beribadah kepada Allah ta’ala; melakukan sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya, namun dia tidak meyakini bahwa Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah sesembahan yang salah, maka dia bukan muslim atau menjadi murtad karena tidak mengamalkan kalimat laa ilaaha illallah.
Demikian pula sebaliknya, apabila seorang hamba telah mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dan semua sesembahan selain-Nya adalah salah, namun pada kenyataannya dia masih menyembah kepada selain-Nya, seperti berdoa kepada selain-Nya, menyembelih untuk selain-Nya dan berbagai kesyirikan lainnya, maka berarti dia telah melakukan kesyirikan dan kekafiran kepada Allah ‘azza wa jalla, yang menyebabkannya murtad, keluar dari Islam, karena tidak mengamalkan laa ilaaha illallaah.
DALIL RUKUN LAA ILAAHA ILLALLAAH
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallaah).” [Al-Baqarah: 256]
Firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah)” adalah penafikan seluruh sesembahan selain Allah ta’ala.
Adapun firman-Nya, “Dan hanya beriman kepada Allah” adalah penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar.
SYARAT-SYARAT LAA ILAAHA ILLALLAAH
1. Ilmu, yaitu memahami makna dan rukun laa ilaaha illallaah secara benar.
Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ اللَّه
“Maka berilmulah bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” [Muhammad: 19]
Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّة
“Barangsiapa mati dalam keadaan berilmu bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu]
Jika seseorang tidak memahami makna kalimat laa ilaaha illallaah maka tidak bermanfaat syahadat yang diucapkannya.
2. Yakin, yakni meyakini kebenaran makna dan rukun kalimat laa ilaaha illallaah tanpa meragukannya sedikit pun.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” [Al-Hujurat: 15]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
3. Menerima (Al-Qobul), yaitu menerima dengan sepenuh hati akan konsekuensi kalimat laa ilaaha illallaah berupa penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah, tidak boleh menolak sedikit pun, baik dengan hati, lisan maupun perbuatan.
Menolak kalimat Laa ilaaha illallaah adalah sifat kaum musyrikin. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya kaum musyrikin itu apabila dikatakan kepada mereka: (Ucapkanlah) Laa ilaaha illallaah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” [As-Shaffat: 35-36]
6. Tunduk dan Patuh (Al-Inqiyad), tanpa menolak atau membangkang sedikit pun terhadap konsekuensi laa Ilaaha Illallaah.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya (tunduk) kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallaah).” [Luqman: 22]
5. Jujur dan benar (Ash-Shidqu), yaitu jujur dan benar dalam beriman terhadap laa ilaaha illallaah, tanpa mengandung kedustaan sedikit pun dalam hati.
Kedustaan dalam keimanan adalah sifat orang-orang munafik. Allah ta’ala berfirman,
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” [Al-Munafiqun: 1]
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” [HR. Al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu]
6. Ikhlas, yaitu niat semata-mata karena Allah ta’ala, bukan karena kepentingan dunia semata atau riya’, ingin dipuji orang.
Allah ta’ala berfirman,
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang ikhlas (bersih dari syirik).” [Az-Zumar: 2-3]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّه
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu]
7. Mencintai (Al-Mahabbah), yaitu mencintai kalimat tauhid dan konsekuensinya berupa pemurnian ibadah kepada Allah ta’ala dan pengingkaran terhadap semua yang disembah selain-Nya.
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan diantara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang mereka cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, lebih mencintai Allah.” [Al-Baqarah: 165]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
═══ ❁✿❁ ═══
Gabung Group WA KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Salah Satu Admin:
wa.me/628111833375
wa.me/628119193411
wa.me/628111377787
TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/kitab_tauhid
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim
Medsos dan Website:
– youtube.com/c/kajiansofyanruray
– instagram.com/sofyanruray.info
– facebook.com/sofyanruray.info
– instagram.com/taawundakwah
– facebook.com/taawundakwah
– twitter.com/sofyanruray
– taawundakwah.com
– sofyanruray.info
#Yuk_share agar menjadi amalan yang terus mengalir insya Allah. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]