? USTADZ SUNNAH, KAJIAN SUNNAH
Segala puji hanya bagi Allah ta’ala, dengan pertolongan-Nya, kemudian perjuangan, ilmu dan hikmah para da’i dan ikhwan sunnah dengan berbagai sarana dakwah, maka kajian-kajian sunnah pun semakin marak dan tersebar, di masjid-masjid, kantor-kantor, dari desa hingga perkotaan.
Bersamaan dengan itu pula, kajian-kajian yang tidak berlandaskan sunnah dengan sendirinya berangsur meredup, melemah, tersingkir bahkan tak sedikit yang akhirnya ‘punah’,
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: Telah datang yang benar dan telah lenyap yang batil, sungguh yang batil itu pasti lenyap.” [Al-Isra’: 81]
Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
أي: هذا وصف الباطل، ولكنه قد يكون له صولة وروجان إذا لم يقابله الحق فعند مجيء الحق يضمحل الباطل، فلا يبقى له حراك. ولهذا لا يروج الباطل إلا في الأزمان والأمكنة الخالية من العلم بآيات الله وبيناته.
“Maknanya: Yang pasti lenyap adalah sifat kebatilan, namun terkadang kebatilan itu memiliki kekuatan dan tersebar jika tidak ada kebenaran yang menghadangnya, maka tatkala kebenaran itu datang, kebatilan pun melemah, sampai tidak tersisa gerakannya. Oleh karena itu tidaklah tersebar kebatilan kecuali di masa-masa dan tempat-tempat yang kosong dari ilmu tentang ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dan penjelasan-penjelasannya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 464]
✅ LATAR BELAKANG PENAMAAN “USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”
Penamaan “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” tidaklah datang dengan sendirinya, tapi karena adanya faktor yang sangat kuat, yaitu tidak lain adalah karena kajian-kajian yang dibahas oleh para da’i tersebut selalu merujuk kepada sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dan menjauhi setiap ajaran baru (bid’ah) yang tidak berdasar petunjuk beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
Semua kajian berdasarkan pemahaman sunnah, apakah itu kajian tafsir, hadits, tauhid, fiqh, adab dan lain-lain selalu merujuk kepada sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, karena sunnah yang dimaksudkan di sini adalah semua ajaran yang berasal dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang tertera dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf.
Atau dengan kata lain “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” yang dimaksudkan di sini adalah ustadz atau kajian Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seorang ustadz atau kajian yang selalu merujuk kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, nama lainnya adalah Salafiyyah, sebuah metode beragama yang selalu merujuk kepada generasi Salaf, generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum.
➡ Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah,
من كانوا على مثل ما كان عليه محمد بن عبد الله عليه الصلاة والسلام وأصحابه رضوان الله عليهم أجمعين، فهؤلاء هم أهل السنة والجماعة
“Orang-orang yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah ‘alaihissholaatu was salaam dan para sahabat beliau ridhwaanullaahi ‘alaihim ‘ajma’in, mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [Fatawa Al-Lajnah ad-Daimah, 2/230]
➡ Disebutkan juga dalam fatwa Lajnah Daimah,
والسلفيون: جمع سلفي نسبة إلى السلف، وقد تقدم معناه، وهم الذين ساروا على منهاج السلف من اتباع الكتاب والسنة والدعوة إليهما والعمل بهما، فكانوا بذلك أهل السنة والجماعة
“Salafiyun adalah kata jamak ‘salafiy’ yang merupakan penisbatan kepada generasi salaf yang telah berlalu penjelasan maknanya (yaitu generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat radhiyallahu’anhum), maka salafiyun adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj (metode beragama) kaum salaf, yaitu mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendakwahkannya dan mengamalkannya, sehingga dengan itu merekalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/243]
Maka sunnah yang dimaksudkan di sini adalah yang berlawanan dengan bid’ah, bukan yang berlawanan dengan makruh, bukan pula nama lain dari hadits, tetapi semua petunjuk yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam apakah tertera dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang sesuai dengan Pemahaman Salaf, itulah yang dimaksud sunnah.
Jadi salah kaprah apabila “Ustadz Sunnah” yang dimaksudkan di sini disamakan dengan ahli hadits yang kurang paham fiqh, dan selain “Ustadz Sunnah” adalah ahli fiqh walau kurang menghapal dalil.
Bahkan kenyataannya di kalangan para da’i sunnah terdapat para ustadz yang juga pakar fiqh, ushul fiqh dan ekonomi syari’ah.
Demikian pula kajian-kajian sunnah bukan hanya membahas hadits, dan pada umumnya kajian-kajian tersebut langsung menggunakan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam berbagai bidang:
1. Dalam pembahasan tafsir misalkan menggunakan kitab Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di dan lain-lain.
2. Dalam pembahasan hadits menggunakan Kutubus Sittah, Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Riyadhus Shaalihin, Bulughul Marom, ‘Umdatul Ahkam dan lain-lain.
3. Dalam pembahasan aqidah menggunakan kitab Syarhus Sunnah karya Imam Ahmad, Syarhus Sunnah karya Imam Muzani Asy-Syafi’i, Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari, Aqidah Thahawiyyah, Aqidah Washitiyyah dan lain-lain.
4. Dalam pembahasan tauhid menggunakan Kitab Tauhid, Tsalatsatul Ushul, Al-Qowa’idul Arba’, Nawaqidhul Islam dan lain-lain.
5. Dalam pembahasan fiqh menggunakan kitab Zaadul Mustaqni’ (Manhaj Hanbali), Minhajus Saalikin (Mazhab Hanbali), Minhajut Thalibin (Mazhab Syafi’i), Al-Ghayah wat Taqrib (Mazhab Syafi’i), Al-Fiqhul Muyassar dan lain-lain.
Inilah diantara kitab-kitab yang kami saksikan diajarkan oleh para da’i sunnah untuk masyarakat umum, yaitu kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipenuhi dengan seruan-seruan untuk kembali kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.
Lain halnya dengan umumnya para da’i partai atau ormas, atau selain da’i sunnah, pada umumnya hanya bermain retorika, seringnya hanya memberi motivasi, tapi tidak mengajarkan bagaimana seharusnya aqidah yang benar dan amalan-amalan yang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih, tidak pula atau sangat jarang membahas ayat-ayat dan hadits-hadits terkait fiqh maupun kitab-kitab fiqh, bagaimana bisa dikatakan ahli fiqh…?! Apatah lagi hendak disamakan dengan ulama ahli fiqh…?!
✅ PENTINGNYA PENAMAAN “USTADZ SUNNAH” DAN “KAJIAN SUNNAH”
Sebagaimana penamaan Salafiyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu diperlukan untuk membedakan antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, demikian pula penamaan “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah” diperlukan untuk membedakan mana yang mengajak kepada sunnah dan mana yang mengajak kepada bid’ah, apakah bid’ah dalam aqidah seperti bid’ah khawarij, asy’ariyyah, shufiyyah maupun bid’ah dalam amalan-amalan.
➡ Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah,
فالسلفية: لقب صالح تعني أنهم على طريق السلف الصالح من الصحابة فمن بعدهم– رضي الله عن الجميع– فهو لقب يتميزون به عن أهل البدعة ممن غير وبدل وحرف
“Salafiyyah adalah predikat yang baik, maknanya adalah mereka mengikuti jalan generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi sahabat dan pengikut mereka setelahnya –semoga Allah meridhoi mereka semuanya-. Maka salafiyyah adalah predikat yang membedakan mereka dengan ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang telah merubah, mengganti dan menyimpangkan agama.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/407]
Dalam fatwa para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini kita dapat memetik pelajaran akan pentingnya penamaan untuk tujuan membedakan antara kelompok yang mengikuti sunnah dan kelompok yang berbuat bid’ah dalam agama, dan agar kaum muslimin dengan mudah mengenali yang mana Ahlus Sunnah dan yang mana Ahlul Bid’ah.
✅ Mengapa Perlu Dibedakan?
Karena kaum muslimin diperintah untuk menuntut ilmu dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meninggalkan golongan-golongan yang menyimpang.
➡ Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [Riwayat Muslim]
➡ Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah juga berkata,
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah (kesesatan), maka para ulama berkata: “Sebutkan kepada kami para perawi kalian”. Kemudian dilihat apakah berasal dari Ahlus Sunnah maka hadits mereka diterima, ataukah berasal dari Ahlul Bid’ah maka hadits mereka ditolak.” [Riwayat Muslim]
⛔ LARANGAN MENGHADIRI MAJELIS YANG MENYELISIHI MANHAJ SUNNAH
➡ Allah tabaraka wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’am: 68]
➡ Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata,
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مَوْعِظَةٌ عَظِيمَةٌ لِمَنْ يَتَسَمَّحُ بِمُجَالَسَةِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ يُحَرِّفُونَ كَلَامَ اللَّهِ وَيَتَلَاعَبُونَ بِكِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ، وَيَرُدُّونَ ذَلِكَ إِلَى أَهْوَائِهِمُ الْمُضِلَّةِ وَبِدَعِهِمُ الْفَاسِدَةِ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ وَيُغَيِّرْ مَا هُمْ فِيهِ فَأَقَلُّ الْأَحْوَالِ أَنْ يَتْرُكَ مُجَالَسَتَهُمْ، وَذَلِكَ يَسِيرٌ عَلَيْهِ غَيْرُ عَسِيرٍ
“Dalam ayat yang mulia ini terdapat nasihat yang agung terhadap orang yang mentolerir untuk bermajelis bersama ahlul bid’ah yang menyelewengkan ucapan Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan penafsirannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak, karena yang seharusnya ia lakukan adalah, apabila ia tidak mengingkari mereka dan berusaha merubah kemungkaran mereka, maka paling tidak ia meninggalkan majelis mereka, dan itu mudah baginya tidak sulit.” [Fathul Qodir, 2/146]
➡ Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah juga berkata,
وَقَدْ يَجْعَلُونَ حُضُورَهُ مَعَهُمْ مَعَ تَنَزُّهِهِ عَمَّا يَتَلَبَّسُونَ بِهِ شُبْهَةً يُشَبِّهُونَ بِهَا عَلَى الْعَامَّةِ، فَيَكُونُ فِي حُضُورِهِ مَفْسَدَةٌ زَائِدَةٌ عَلَى مُجَرَّدِ سَمَاعِ الْمُنْكَرِ
“Dan bisa jadi mereka (ahlul bid’ah) memanfaatkan kehadirannya bersama mereka sebagai syubhat untuk menipu orang-orang awam, walau sebenarnya ia bersih dari bid’ah mereka, maka dalam kehadirannya terdapat kerusakan tambahan yang lebih dari sekedar mendengarkan kemungkaran.” [Fathul Qodir, 2/146]
✅ PRAKTEK PARA ULAMA DALAM PENAMAAN “ULAMA SUNNAH” DAN “ULAMA BID’AH”
➡ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَأَمَّا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ ” فَهُوَ أَحَدُ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَهُوَ إمَامُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي مَعْرِفَةِ صِحَّتِهِ وَعِلَلِهِ وَرِجَالِهِ وَضَبْطِهِ حَتَّى قَالَ أَحْمَد: مَا رَأَيْت بِعَيْنِي مِثْلَهُ يَعْنِي فِي ذَلِكَ الْفَنِّ وَعَنْهُ أَخَذَ ذَلِكَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ وَعَنْ عَلِيٍّ أَخَذَ ذَلِكَ الْبُخَارِيُّ صَاحِبُ الصَّحِيحِ وَقَدْ ذَكَرَ التِّرْمِذِيُّ أَنَّهُ لَمْ يَرَ فِي مَعْرِفَةِ عِلَلِ الْحَدِيثِ مِثْلَ مُحَمَّدِ بْنِ إسْمَاعِيلَ الْبُخَارِيِّ
“Adapun Yahya bi Sa’id Al-Qoththon maka beliau adalah salah satu ULAMA SUNNAH dan imam ahli hadits dalam mengenal keshahihan hadits, ‘ilal-nya, rijal-nya dan dhobth-nya, sampai-sampai berkata Imam Ahmad: Saya tidak pernah melihat dengan kedua mataku orang yang seperti beliau dalam bidang tersebut. Dari beliaulah Ali bin Madini meriwayatkan, dan dari Ali kemudian Al-Bukhari sang penulis kitab Ash-Shahih meriwayatkan, padahal At-Tirmidzi berkata bahwa ia tidak pernah melihat dalam mengenal ‘ilal hadits yang seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/327]
➡ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
ثُمَّ ظَهَرَ جَهْمُ مِنْ نَاحِيَةِ الْمَشْرِقِ مِنْ تِرْمِذَ، وَمِنْهَا ظَهَرَ رَأْيُ جَهْمٍ، وَلِهَذَا كَانَ عُلَمَاءُ السُّنَّةِ بِالْمَشْرِقِ أَكْثَرَ كَلَامًا فِي رَدِّ مَذْهَبِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْحِجَازِ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ، مِثْلُ إبْرَاهِيمَ بْنِ طهمان، وَخَارِجَةُ بْنُ مُصْعَبٍ، وَمِثْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، وَأَمْثَالُهُمْ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِي ذَمِّهِمْ مَالِكُ وَابْنُ الماجشون وَغَيْرُهُمَا، وَكَذَلِكَ الأوزاعي، وَحَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ وَغَيْرُهُمْ، وَإِنَّمَا اشْتَهَرَتْ مَقَالَتُهُمْ مِنْ حِينِ مِحْنَةِ الْإِمَامِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ، مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ
“Kemudian muncul Jahm bin Shofwan dari ujung Timur dari wilayah Tirmidz, dari sanalah muncul pemikiran Jahm, oleh karena itu ULAMA SUNNAH di Timur lebih banyak pembicaraan mereka dalam membantah mazhab Jahmiyyah, dibandingkan ulama di Hijaz, Syam dan Irak. Ulama Sunnah di Timur seperti Ibrahim bin Thohman, Kharijah bin Mush’ab, Abdullah bin Mubarak dan yang semisal dengan mereka. Dan juga dalam membantah Jahmiyah telah berbicara Imam Malik, Ibnul Majisyun dan selain mereka berdua. Demikian pula Auza’i, Hammad bin Zaid dan selain mereka. Hanyalah menjadi terkenal pendapat mereka setelah cobaan yang menimpa Imam Ahmad dan selain beliau dari kalangan ULAMA SUNNAH.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/229]
➡ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
وَأَنْكَرَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَد وَغَيْرِهِمْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ مَنْ قَالَ: إنَّ أَصْوَاتَ الْعِبَادِ وَأَفْعَالَهُمْ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ
“Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ahmad maupun selain mereka dari kalangan ULAMA SUNNAH telah mengingkari orang yang berpendapat bahwa suara dan gerakan hamba bukan makhluk.” [Majmu’ Al-Fatawa, 8/407]
➡ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata tatkala membantah pendapat yang menyamakan anatara ucapan Allah dan ucapan makhluk,
وَهِيَ بِدْعَةٌ شَنِيعَةٌ لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَطُّ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِينَ: لَا عُلَمَاءُ السُّنَّةِ وَلَا عُلَمَاءُ الْبِدْعَةِ وَلَا يَقُولُهَا عَاقِلٌ يَفْهَمُ مَا يَقُولُ
“Ucapan tersebut adalah bid’ah yang sangat jelek, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang pernah mengatakan itu, tidak ULAMA SUNNAH dan tidak pula ULAMA BID’AH, bahkan tidak pula dikatakan oleh orang yang berakal, yang masih memahami ucapannya sendiri.” [Majmu’ Al-Fatawa, 12/324]
✅ SEKILAS FAKTA DI LAPANGAN
Salah satu fakta yang kami saksikan di salah satu masjid di Ibu Kota, sebuah masjid yang marak dengan majelis ilmu dan dihadiri dengan antusias oleh jama’ah di sekitarnya dan jama’ah yang dating dari luar.
Pada awalnya yang mengisi ceramah di masjid tersebut berasal dari berbagai kalangan, hingga diundanglah sebagian da’i sunnah untuk mengisi, ada yang mengisi materi tafsir, hadits, tauhid, fiqh, ekonomi syari’ah, adab-adab dan lain-lain.
Sebagaimana ciri khas umumnya da’i sunnah, penyampaian ilmu yang penuh semangat, berusaha datang tepat waktu, lembut dan hikmah namun tegas, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah, dan yang terpenting adalah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf. Setiap pendapat selalu disertai dalil dan mengingatkan untuk tidak mengikuti yang tidak berdasarkan dalil. Selalu menyeru kepada tauhid dan memberantas kesyirikan, mengajak kepada sunnah dan meninggalkan bid’ah.
Sementara di sisi lain, terdapat para da’i dan penceramah yang berbicara hanya berdasarkan logika, akal-akalan, mengajak untuk taklid saja, menjawab pertanyaan tidak tegas, menyisakan kebimbangan, sangat jarang mengutip dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak merujuk kepada Pemahaman Salaf, tidak jarang berbicara politik di depan orang-orang awam sambil menyindir bahkan menjelek-jelekan Pemerintah, ditambah lagi jika sang da’i dikenal aktif di sebuah partai atau ormas, maka tidak jarang mereka cenderung menggiring manusia kepada partai dan ormas mereka.
✅ Apa yang Terjadi?
Selang beberapa waktu, masyarakat sendiri yang akhirnya bisa menilai, mana para da’i yang menyampaikan dengan berdasarkan ilmu dan mana yang sangat sedikit muatan ilmiahnya, bahkan cenderung menyelisihi sunnah. Masyarakat sendiri yang kemudian memberi nama “Ustadz Sunnah” dan “Kajian Sunnah”.
Pada akhirnya yang menghadiri kajian sunnah makin marak, dan yang menghadiri kajian yang tidak berlandaskan sunnah makin berkurang, melemah dan satu persatu tersingkir dengan sendirinya,
فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Adapun buih, akan hilang sebagai suatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” [Ar-Ra’ad: 17]
Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
كذلك الشبهات والشهوات لا يزال القلب يكرهها، ويجاهدها بالبراهين الصادقة، والإرادات الجازمة، حتى تذهب وتضمحل ويبقى القلب خالصا صافيا ليس فيه إلا ما ينفع الناس من العلم بالحق وإيثاره، والرغبة فيه، فالباطل يذهب ويمحقه الحق {إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا} وقال هنا: {كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ} ليتضح الحق من الباطل والهدى والضلال.
“Demikianlah syubhat (pendapat yang seakan benar namun hakikatnya batil karena tidak berdasarkan dalil) dan syahwat, maka hati sebenarnya membencinya, menundukkannya dengan dalil-dalil yang benar dan keinginanan yang kuat untuk mengikuti kebenaran, hingga akhirnya kebatilan itu pergi dan melemah, maka hati tetap dalam keadaan murni dan bersih, tidak ada padanya kecuali apa yang bermanfaat bagi manusia, yaitu ilmu tentang kebenaran, lebih mengutamakannya dan cinta kepadanya. Maka kebatilan pun pergi, dan kebenaran melenyapkannya, sebagaimana firman Allah: “Sungguh yang batil itu pasti lenyap” (Al-Isra’: 81). Dan di sini Allah berfirman: “Demikianlah Allah membuat perumpamaan” (Ar-Ra’ad: 17), agar menjadi jelas antara kebenaran dan kebatilan, hidayah dan kesesatan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 415]
Alhamdulillaah ini fakta umum yang kami saksikan di Ibu Kota, meski pun tidak dinafikan ada sebagian da’i sunnah yang kurang hikmah, atau murid-muridnya yang terlalu bersemangat namun kurang ilmu, sehingga mengakibatkan penolakan yang keras dari sebagian masyarakat. Semoga Allah ta’ala memperbaiki dan memberikan kemudahan.
[…] ? Sumber: https://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/ […]
[…] https://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/ […]
[…] https://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/ […]
[…] Sumber : https://sofyanruray.info/ustadz-sunnah-kajian-sunnah/ […]