Pembagian Tauhid Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Tanggapan terhadap Saudara Idahram dan Idrus Ramli) [Bag. 2]

0
6247

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pembagian Tauhid 2

Pembagian Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Shifat adalah Ciptaan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, Benarkah?

Masih dalam usahanya yang rapuh untuk menjatuhkan dan menjelek-jelekan dakwah tauhid yang diserukan oleh Salafi, saudara Idahram berkata,

“Pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah diciptakan oleh Ibnu Taimiyah Al-Harani (w. 728 H)…” (Sejarah Berdarah, hal. 236)

Saudara Idrus Ramli juga berkata,

“Pembagian tauhid menjadi tiga tidak pernah dikatakan oleh seorangpun sebelum masa ulama Ibnu Taimiyyah.”[1]

Dia juga berkata,

“Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab perintis ajaran Wahhabi.”[2]

Saudara Idahram kembali menggiring pembaca kepada sebuah pemahaman bahwa tauhid rububiyyah dan uluhiyyah yang diserukan oleh ulama Salafi adalah sesuatu yang baru saja dimunculkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu diwariskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Saudara Idrus Ramli pun melakukan yang sama.

Sebetulnya, andaikan tuduhan mereka ini benar, maka hal ini bukanlah suatu aib, sebab dalil-dalil yang telah kami paparkan di atas, sangat jelas menunjukkan kewajiban mentauhidkan Allah ta’ala dalam rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wa shifat.

Namun ternyata, pemahaman tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wa shifat bukanlah sebuah pemahaman yang baru, tetapi inilah yang dipahami oleh para ulama Salaf dahulu. Maka untuk meluruskan kesalahpahaman saudara Idahram dan Idrus Ramli serta kelompoknya dalam masalah ini, akan kami nukil insya Allah ta’ala pendapat-pendapat ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masa lampau, jauh sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bahkan sebagiannya sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Dan sebelumnya perlu digarisbawahi, walaupun ulama dahulu pada umumnya tidak menyertakan kata “tauhid” sebelum kata “rububiyyah” dan “uluhiyyah,” namun istilah rububiyyah dan uluhiyyah ini digunakan oleh ulama dahulu untuk menetapkan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya yang berhak menyandang sifat-sifat rububiyyah dan uluhiyyah, sama persis dengan makna tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah yang diyakini dan diserukan oleh ulama Salafi di zaman ini.

Ulama Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah Meyakini Tiga Macam Tauhid; Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat:

1) Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullah (w. 150 H) berkata,

والله تعالى يدعى من أعلى لا من أسفل لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء

“Allah ta’ala diseru sedang Dia berada di atas bukan di bawah, karena posisi bawah bukanlah bagian dari sifat rububiyah dan uluhiyah sedikitpun.”[3]

Ucapan beliau sangat jelas tentang rububiyah dan uluhiyah Allah, sekaligus menegaskan keimanan beliau terhadap sifat ketinggian (al-‘uluw) bagi Allah ta’ala, yaitu ketinggian zat Allah di atas ‘arsy-Nya, di atas langit-Nya. Jadi mengandung tiga macam tauhid sekaligus.

2) Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullah (w. 150 H) dan dua muridnya; Al-Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari rahimahullah (w. 182 H) dan Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani rahimahullah (w. 189 H) meyakini tiga macam tauhid ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (w. 321 H):

نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله: إن الله واحد لا شريك له، ولا شيء مثله، ولا شيء يعجزه، ولا إله غيره

“Dengan taufiq dari Allah ta’ala kami berpendapat bahwa dalam mentauhidkan Allah ta’ala kami meyakini, sesungguhnya Allah ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang bisa melemahkan-Nya, dan tidak ada yang berhak disembah selain-Nya.”[4]

Seorang ulama, pengajar di masjid Nabawi Madinah, Guru Besar Aqidah di Universitas Islam Madinah, Asy-Syaikh Prof. DR. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahumallah menjelaskan makna ucapan Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah di atas,

فقوله: “إن الله واحد لا شريك له” شامل لأقسام التوحيد الثلاثة، فهو سبحانه واحد لا شريك له في ربوبيته، وواحد لا شريك له في ألوهيته، وواحد لا شريك له في أسمائه وصفاته.

وقوله: “ولا شي مثله” هذا من توحيد الأسماء والصفات.

وقوله: “ولا شيء يعجزه” هذا من توحيد الربوبية.

وقوله: “ولا إله غيره” هذا من توحيد الألوهية.

فهذه أقسام التوحيد الثلاثة صريحة واضحة في نصي هذين الإمامين رحمهما الله.

“Maka makna ucapan beliau, ‘Sesungguhnya Allah ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya,’ ini mencakup dalam tiga macam tauhid; Allah subhanahu wa ta’ala esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah dan asma’ was shifat.

Dan ucapan beliau, ‘Tidak ada yang serupa dengan-Nya,’ ini bagian dari tauhid asma’ was shifat.

Dan ucapan beliau, ‘Tidak ada yang bisa melemahkan-Nya,’ ini bagian dari tauhid rububiyah.

Dan makna ucapan beliau, ‘Tidak ada yang berhak disembah selain-Nya,’ ini bagian dari tauhid uluhiyah.

Maka tiga macam tauhid ini tegas dan jelas dalam teks ucapan kedua imam (Abu Hanifah dan Ath-Thahawi) rahimahumallah.”[5]

3) Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) berkata,

قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ : وَإِنِ ادَّعَيْتَ أَنَّكَ تُسْمِعُ النَّاسَ كَلاَمَ اللَّهِ كَمَا أَسْمَعَ اللَّهُ كَلاَمَهُ لِمُوسَى ، قَالَ لَهُ : {إِنِّي أَنَا رَبُّكَ} فهذَا دَعْوى الرُّبوبِيَةِ إِذَا لَمْ تُمَيِّزْ بَيْنَ قِرَاءَتِكَ وَبَيْنَ كَلاَمِ اللَّهِ

“Berkata Abu Abdillah, ‘Apabila engkau mengklaim bahwa engkau mampu memperdengarkan kalam Allah kepada manusia seperti Allah memperdengarkan kalam-Nya kepada Musa, ketika Allah ta’ala berfirman kepada Musa, “Aku adalah Rabbmu” maka klaimmu itu adalah pengakuan rububiyyah (yang semestinya hanya milik Allah ta’ala) apabila engkau tidak membedakan antara bacaanmu dan kalam Allah.”[6]

4) Al-Imam Utsman bin Sa’id Ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H) berkata,

الشك في ربوبية الله عز وجل زائل عن المؤمن والكافر يوم القيامة فكل مؤمن وكافر يومئذ يعلم أنه ربه لا يعتريهم في ذلك شك فيقبل الله ذلك من المؤمنين ولا يقبله من الكافرين ولا يعذرهم يومئذ بمعرفتهم ويقينهم به

“Keraguan terhadap rububiyah Allah ta’ala hilang dari seorang mukmin dan kafir sekaligus pada hari kiamat, maka setiap mukmin dan kafir sama-sama tahu bahwa Allah ta’ala adalah Rabb mereka, mereka sama-sama tidak ragu, namun Allah ta’ala hanya menerima keimanan kaum mukminin dan tidak menerima dari orang-orang kafir, Allah ta’ala tidak lagi memberikan pengampunan terhadap orang-orang kafir walaupun dengan pengenalan dan keyakinan mereka terhadap-Nya pada hari itu.”[7]

5) Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah (w. 310 H) berkata,

نخلص له العبادة، ونوحد له الربوبية، فلا نشرك به شيئا، ولا نتخذ دونه ربا

“Kami memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, dan kami mengesakan bagi-Nya rububiyyah, maka kami tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga (dalam ibadah), dan kami tidak menjadikan selain-Nya sebagai Rabb.”[8]

6) Al-Imam Ibnu Batthoh Al-‘Akbari rahimahullah (w. 387 H) berkata:

أنَّ أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء:

أحدها: أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مبايناً لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعاً.

والثاني: أن يعتقد وحدانيته ليكون مبايناً بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره.

والثالث: أن يعتقده موصوفاً بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفاً بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه.

“Bahwasannya pokok keimanan kepada Allah ta’ala yang diwajibkan atas hamba untuk diyakini dalam penetapan iman kepada-Nya ada tiga macam:

Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyah Allah ta’ala, agar dengan itu keyakinan seorang mukmin berbeda dengan para pengingkar yang tidak meyakini adanya pencipta.

Kedua: Hendaklah seorang hamba meyakini wahdaniyah Allah ta’ala, agar dengan itu keyakinannya berbeda dengan ajaran-ajaran para pelaku syirik yang mengimani adanya pencipta namun menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya.

Ketiga: Hendaklah seorang hamba meyakini bahwa Allah ta’ala disifati dengan sifat-sifat yang tidak boleh disifatkan kecuali hanya bagi-Nya, diantaranya sifat ilmu, qudroh, hikmah dan semua sifat yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dalam kitab-Nya.”[9]

Pembaca yang budiman, lihat kembali makna tiga macam tauhid pada artikel sebelumnya, dan bandingkan dengan ucapan Al-Imam Ibnu Batthoh rahimahullah yang hidup pada abad ke-3 H, di abad-abad generasi terbaik umat ini. Jelas sekali beliau membagi keimanan kepada Allah ta’ala menjadi tiga bagian:

Pertama: Hendaklah menyelisihi orang-orang yang tidak mengimani adanya pencipta, ini merupakan bagian dari tauhid rububiyah.

Kedua: Hendaklah menyelisihi orang-orang yang menyekutukan Allah ta’ala dalam ibadah, ini adalah hakikat tauhid uluhiyah.

Ketiga: Hendaklah tidak menyamakan sifat Allah ta’ala dengan sifat makhluk, ini adalah hakikat tauhid asma’ was shifat.

7) Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah (w. 671 H) berkata,

فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية ، المنعوت بنعوت الربوبية ، المنفرد بالوجود الحقيقي ، لا إله إلا هو سبحانه

“Maka Allah adalah suatu nama bagi zat yang berwujud lagi benar, serta mengumpulkan semua sifat ilahiyah, yang disifati dengan sifat-sifat rububiyah, yang esa dalam wujud yang hakiki, tidak ada yang berhak disembah selain Dia.”[10]

8) Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 676 H) berkata,

الربوبية انما حقيقتها لله تعالى لأن الرب هو المالك أو القائم بالشئ ولا يوجد حقيقة هذا إلا في الله تعالى

Rububiyah hakikatnya hanyalah milik Allah ta’ala, karena Rabb adalah Pemilik atau Pengatur sesuatu, sedang tidak ada hakikat ini kecuali pada Allah ta’ala.”[11]

Beliau rahimahullah juga berkata,

حقيقة العبودية انما يستحقها الله تعالى

“Hakikat ubudiyyah hanyalah hak Allah ta’ala.”[12]

9) Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah (w. 792 H) berkata,

فإن التوحيد يتضمن ثلاثة أنواع: أحدها: الكلام في الصفات. والثاني: توحيد الربوبية، وبيان أن الله وحده خالق كل شيء. والثالث: توحيد الإلهية، وهو استحقاقه سبحانه وتعالى أن يعبد وحده لا شريك له

“Sesungguhnya tauhid mencakup tiga bentuk, pertama: Pembicaraan dalam sifat. Kedua: Tauhid rububiyah dan penjelasan bahwa Allah saja pencipta segala sesuatu. Ketiga: Tauhid ilahiyah, yaitu hanya Allah subhanahu wa ta’ala saja yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya.”[13]

10) Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 852 H) berkata,

حقيقة الربوبية لله تعالى لأن الرب هو المالك والقائم بالشيء فلا توجد حقيقة ذلك إلا لله تعالى

Rububiyah hakikatnya hanyalah milik Allah ta’ala, karena Rabb adalah Pemilik atau Pengatur sesuatu, sedang tidak ada hakikat ini kecuali hanya milik Allah ta’ala”[14]

Beliau rahimahullah juga berkata,

قوله من مات يشرك بالله دخل النار وقال القرطبي معنى نفي الشرك أن لا يتخذ مع الله شريكا في الإلهية

“Ucapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa mati dalam keadaan menyekutukan Allah maka dia masuk neraka,’ berkata Al-Qurtubi, ‘Makna menafikan syirik adalah seorang tidak menjadikan bagi Allah ta’ala sekutu dalam ilahiyah’.”[15]

Beliau rahimahullah juga berkata,

وفي الإتيان بالفرائض على الوجه المأمور به امتثال الأمر واحترام الآمر وتعظيمه بالانقياد إليه وإظهار عظمة الربوبية وذل العبودية

“Dalam pengamalan kewajiban-kewajiban sesuai dengan cara yang diperintahkan (oleh syari’at) terdapat pengamalan terhadap perintah (Allah ta’ala) pemuliaan dan pengagungan terhadap-Nya, dengan ketundukan kepada-Nya dan penampakan kemuliaan rububiyah dan kehinaan ubudiyah (seorang hamba).”[16]

Alhamdulillah, nukilan-nukilan dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah di atas menambah kejelasan bahwa tauhid yang diserukan oleh Salafi yang terdiri dari tiga macam tauhid bukanlah sesuatu yang baru, tapi hakikatnya itulah aqidah para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa. Hanya saja, ketika umat semakin jauh dari bimbingan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang hakiki maka ajaran yang benar ini dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan sesat. Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepada kaum muslimin dan menyelamatkan mereka dari para penyesat berkedok Kiai, Ustadz, Da’i maupun Tokoh Agama.

Faidah Penting: Pembagian Tauhid Menjadi Tiga Bagian Berdasarkan Penelitian Secara Menyeluruh Terhadap Seluruh Teks Al-Qur’an dan As-Sunnah

Pembaca yang budiman, sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga bagian; rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat adalah berdasarkan penelitian secara menyeluruh terhadap teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berbicara tentang tauhid. Bahwa seluruh ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang berbicara tentang tauhid tidak keluar dari tiga macam tauhid ini.

Al-Imam Al-Mufassir Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsir beliau Adhwaul Bayan fii Idhahil Qur’an bil Qur’an,

وقد دل استقراء القرآن العظيم على أن توحيد الله ينقسم إلى ثلاثة أقسام

“Dan sungguh, penelitian menyeluruh terhadap Al-Qur’an yang mulia menunjukkan bahwa mentauhidkan Allah ta’ala terbagi kepada tiga bentuk (yakni rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat).”[17]

Asy-Syaikh Prof. DR. Abdur Rozzaaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahumallah, Pengajar di Masjid Nabawi Madinah, mengomentari dalam kitab beliau Al-Qoulus Sadid ‘ala man Ankaro Taqsim At-Tauhid,

وقد نبَّه فيه رحمه الله إلى أنَّ أقسام التوحيد الثلاثة مأخوذة بالاستقراء لنصوص القرآن الكريم، وبهذا يعلم أن هذا التقسيم من الحقائق الشرعية المستمدة من كتاب الله تعالى، وليس أمراً اصطلاحياً أنشأه بعض العلماء

“Dan sungguh dalam ucapannya tersebut, beliau (Asy-Syaikh Asy-Syinqhiti) rahimahullah telah memperingatkan bahwa tiga macam tauhid diambil dari penelitian secara menyeluruh terhadap (semua) teks-teks Al-Qur’an Al-Karim, maka dengan ini diketahui bahwa pembagian tauhid merupakan hakikat syari’ah yang bersumber dari kitab Allah ta’ala, dan bukan sekedar perkara istilah yang dibuat oleh sebagian ulama.”

Penjelasan di atas sekaligus koreksi dari Asy-Syaikh Abdur Rozzaq terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pembagian tauhid hanyalah sekedar untuk memudahkan dalam mempelajari tauhid atau hanyalah pembaharuan dalam istilah atau metode penjelasan dan pemahaman.

Perhatikanlah, dalam catatan kakinya beliau membantah pendapat yang mengatakan bahwa pembagian tauhid hanyalah masalah istilah bukan hakikat syari’ah. Beliau berkata,

وبهذا يعلم فساد ما قرره مؤلف كتاب “الثوابت والمتغيرات في مسيرة العمل الإسلامي المعاصر” د. صلاح الصاوي حيث يقول (ص: (1) 54): “فإنَّ هذا التقسيم اصطلاحي، الهدف منه تقريب القضية وتنظيم دراستها، كما اصطلح أهل العلم على أسماء اصطلاحية للعلوم … وعلى هذا فلا مشاحة في الاصطلاح، وليست هناك حدود فاصلة بين ما يدخل في توحيد الربوبية، وبين ما يدخل في توحيد الألوهية، وبين ما يدخل في توحيد الأسماء والصفات، بل إنَّ هذا التقسيم ابتداءً على هذا النحو لم يرد به فيما نعلم آية محكمة أو سنَّة متبعة، والعبرة كما يقولون بالمقاصد والمعاني، وليس بالألفاظ والمباني، هذا وإن كان تتابع أهل العلم على استخدام هذا التقسيم واستقراره عبر قرون طويلة يجعله جزءاً من التراث السلفي، فينبغي قبوله على أن لا يكون في ذاته معقد ولاء وبراء”.

فجعل أصلحه الله هذا التقسيم تقسيماً اصطلاحياً، وليس حقيقة شرعية مأخوذة بالتتبع والاستقراء لنصوص الكتاب والسنة، بل تمادى في الباطل عند ما قال: “وليست هناك حدود فاصلة بين ما يدخل في توحيد الربوبية، وبين ما يدخل في توحيد الألوهية، وبين ما يدخل في توحيد الأسماء والصفات”.

وإني لأعجب غاية العجب كيف يقول هذا من يتصدى لتوجيه مسيرة العمل الإسلامي المعاصر، مع أنَّه في نفسه كما يصرح هنا لا يعرف حدوداً فاصلة بين أنواع التوحيد الثلاثة. وأيّ جناية على مسيرة العمل الإسلامي أشدّ من أن ينشر بين أهل الإسلام أنَّ أقسام التوحيد ليست من الثوابت، وليست من الأمور التي يعقد عليها الولاء والبراء، وأنَّها لم يرد بها آية محكمة أو سنَّة متبعة، وأنَّه ليس هناك حدود فاصلة بين هذه الأقسام، وأنَّها أمور اصطلح عليها بعض أهل العلم ولا مشاحة في الاصطلاح. أليس في هذا خلخلة للصف وتوهين للاعتقاد وتقليل من شأن التوحيد فالله المستعان وهو حسبنا ونعم الوكيل، وفي الكتاب المذكور أخطاء عديدة من هذا الجنس ليس هذا موطن بيانها

“Dengan ini maka jelaslah rusaknya pendapat yang ditetapkan oleh penulis kitab Ats-Tsawabit wal Mutaghayyiraat fi Masiiroh Al-‘Amal Al-Islami Al-Mu’ashir, DR. Sholah Ash-Showi, ketika dia mengatakan (hal: (1) 54), “Sesungguhnya pembagian tauhid hanyalah pembagian menurut istilah, tujuannya adalah mendekatkan permasalahan dan membuat sistematika pembelajarannya, sebagaimana para ulama telah membuat istilah-istilah untuk ilmu-ilmu lainnya. Berdasarkan hal ini maka tidak perlu ada perdebatan dalam istilah.

Dan dalam masalah ini tidaklah ada batas-batas yang memisahkan antara bagian tauhid yang masuk dalam kategori tauhid rububiyah, uluhiyah maupun asma’ was shifat, bahkan pembagian seperti ini sepanjang yang kami ketahui memang tidak berdasar pada suatu ayat yang muhkam ataupun sunnah yang diikuti, maka yang menjadi patokan sebagaimana yang mereka katakan adalah, sebuah istilah dipahami sesuai dengan maksud-maksudnya dan makna-maknanya, dan bukan lafaz-lafaz maupun cara-cara pengungkapannya.

Demikianlah, meskipun para ulama senantiasa menggunakan dan menetapkan pembagian ini sejak kurun waktu yang panjang sehingga menjadikan pembagian ini sebagai warisan salafi, maka sepatutnya diterima namun tanpa menjadikannya pijakan dalam wala’ dan bara’.” (Sekian pendapat yang menyimpang dari DR. Sholah Ash-Showi hadaahullah, pen)

(Komentar Asy-Syaikh Prof. DR. AbdurRazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahumallah): Maka dia (DR. Sholah Ash-Showi) semoga Allah ta’ala memperbaikinya, menganggap pembagian tauhid hanyalah istilah, dan bukan hakikat syari’ah yang diambil dari pengumpulan dan penelitian secara menyeluruh terhadap teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan dia masih terus dalam kebatilan ketika dia mengatakan, “Dan dalam masalah ini tidaklah ada batas-batas yang memisahkan antara bagian tauhid yang masuk dalam kategori tauhid rububiyah, uluhiyah maupun asma’ was shifat.”

Sunngguh aku sangat heran, bagaimana hal ini bisa dikatakan oleh orang yang mau membimbing jalannya perjuangan Islam di zaman ini, padahal sebagaimana dia tegaskan di sini bahwa dia sendiri tidak tahu batas-batas yang membedakan antara tiga macam tauhid ini. Dan kejahatan apa yang lebih besar terhadap perjuangan Islam dibanding orang yang menyebarkan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa:

1). Pembagian tauhid bukan termasuk hal-hal yang telah tetap (tsawabit),

2). Bukan pula termasuk perkara yang bisa dijadikan pijakan al-wala’ wal bara’,

3). Tidak terdapat suatu ayat yang muhkam atau sunnah yang diikuti dalam pembagian tauhid,

4). Tidak pula terdapat batas-batas yang membedakan antara tiga macam tauhid ini,

5). Perkara ini hanyalah istilah yang dibuat oleh sebagian ulama sehingga tidak perlu ada perdebatan dalam istilah.

Bukankah hal ini justru menyebabkan renggangnya barisan kaum muslimin, perendahan terhadap aqidah dan pengurangan terhadap urusan tauhid?!

Hanya Allah tempat kita mohon pertolongan, Dia akan mencukupi kita dan Dialah sebaik-baik penolong. Dan dalam kitabnya tersebut juga masih banyak kesalahan-kesalahan yang semisal, namun bukan di sini tempat yang tepat untuk menjelaskannya.”[18] (Sekian dari Asy-Syaikh Abdur Rozzaq hafizhahullah, penomoran dari kami, pen)

Bersambung insya Allah ta’ala…

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray – www.SofyanRuray.info [www.fb.com/sofyanruray.info]

 


[1] Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya pada hal. 224 (Dinukil dari website pencela Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

[2] Ibid

[3] Al-Fiqhul Abshath, hal. 51, sebagaimana dalam ‘Aqooidul Aimmah Al-Arba’ah fit Tauhid, DR. Muhammad bin AbdurRahman Al-Khumais hafizhahullah, hal. 5.

[4] Lihat At-Ta’liqot Al-Mukhtasoroh ‘alal Aqidah Ath-Thawiyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 28-34, Darul Ashimah, cet. ke-1, 1422 H/2001 M.

[5] Al-Qoulus Sadid ‘ala Man Ankara Taqsima At-Tauhid, hal. 42-43.

[6] Riwayat Al-Bukhari dalam Khalqu Af’alil ‘Ibad, no. 542, tahqiq: DR. Abdur Rahman ‘Umairoh, Darul Ma’arif As-Su’udiyyah Riyadh.

[7] Naqdul Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi ‘ala Al-Marisi Al-Jahmi Al-‘Anid, 1/361, Abu Sa’id ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, tahqiq: Rasyid bin Hasan Al-Alma’i, Maktabah Ar-Rusyd, 1418 H.

[8] Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 3/99, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasah Ar-Risalah, cet. ke-1, 1420 H.

[9] Al-Ibanah ‘an Syari’ati Al-Firqoh An-Najiyah wa Mujanabah Al-Firoq Al-Madzmumah, hal. 693-694, dari manuskripnya, dan dalam Mukhtashor-nya, Qof 150, sebagaimana dalam Al-Qoulus Sadid, hal. 32.

[10] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/102, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, tahqiq: Samir Al-Bukhari, Dar ‘Alam Al-Kutub Riyadh, 1423 H.

[11] Syarah Muslim, 15/6, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi Beirut, cet. ke-2, 1392 H.

[12] Ibid, 15/7.

[13] Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1/125.

[14] Fathul Baari, 5/179, Darul Ma’rifah Beirut 1379 H.

[15] Ibid, 3/111

[16] Ibid, 11/343

[17] Adhwaul Bayan, 3/17.

[18] Al-Qoulus Sadid, hal. 28.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini