Memilih Pemimpin Karena Agama, Masih Pantaskah?

26
2133

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Diantara kaidah penting dalam ajaran Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan yang berhubungan dengan kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan kemasyarakatan, kepada para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang agama. Adapun orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara. Jika mereka berani berbicara dan berkomentar maka akan muncul kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati, dan berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakah Ruwaibidhoh itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.” [HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 3650]

Demikianlah yang terjadi beberapa pekan terakhir ini dalam menyikapi pemilihan pemimpin kafir untuk salah satu propinsi. Sampai seorang oknum MUI angkat bicara,

“Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim.”

Seorang mantan ketua umum Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan pemimpin, dengan alasan si pemimpin tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,

“Pemimpin di negeri ini baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi hingga presiden tidak akan berani melakukan diskriminasi.”

Tak ketinggalan, pemimpin sebuah partai “Islam” pun berkomentar,

“Isu SARA jelas tidak berproduktif.”

Dan partai tersebut bahkan telah membuktikan beberapa tahun lalu mendukung calon walikota nonmuslim, walaupun tidak berhasil memenangkan pemilihan.

Sebagian orang pun beralasan asal tidak korupsi dan alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan masalah “perut” masyarakat yang harus dipenuhi maka tak masalah meskipun pemimpinnya nonmuslim. Alasan lain kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, maka yang mereka inginkan adalah tidak perlu membedakan pemimpin muslim maupun nonmuslim.

Jadi, masih pantaskah memilih pemimpin karena agamanya?

Jawabannya tergantung dari sisi mana kita melihat, yaitu dari dua sisi:

Pertama: Dari sisi demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan pemimpin nonmuslim, asal dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok, pembunuh, pezina dan orang kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin. Demokrasi itu sendiri adalah ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di negeri mereka sendiri pemimpin muslim hampir mustahil terpilih. Dan membawa-bawa Islam dalam dunia demokrasi dianggap tidak produktif, tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, kecuali dengan memaksakan Islam harus tunduk di bawah demokrasi.

Kedua: Dari sisi ajaran Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk mereka, maka hukum memilih pemimpin nonmuslim (baca: kafir) adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta KESEPAKATAN seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah: 51]

Ulama besar Syafi’iyah, Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan makna ayat ini,

ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }

“Allah ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Kemudian Allah ta’ala mengingatkan dengan keras dan mengancam siapa yang loyal kepada mereka dengan firman-Nya, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim’.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]

Juga firman Allah ta’ala,

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” [An-Nisa: 141]

Ulama besar Syafi’iyah yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل

“Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, Ulama telah SEPAKAT (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang kafir, dan jika seorang pemimpin muslim menjadi kafir maka harus diselengserkan.” [Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

وأن يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا

“Syarat pemimpin haruslah seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.’ [An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum muslimin bagi orang kafir tidak boleh) karena Allah ta’ala memerintahkan untuk menghinakan Ahlul Kitab, memerintahkan mereka membayar jizyah dan memerangi orang kafir selain Ahlul Kitab sampai mereka masuk Islam.” [Al-Fishol fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]

Demikianlah perbedaan dua sisi pandang dalam menyikapi pemilihan pemimpin nonmuslim, yang pertama adalah produk manusia yang hanya berdasarkan hawa nafsu dan kemampuan akal yang sangat terbatas, sedang yang kedua berasal dari sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Orang yang berakal tentu mengerti dari sisi mana sebaiknya dia memandang.

Dan sang Pencipta, Allah jalla wa ‘ala menegaskan,

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [Al-Baqorah: 147]

Allah ta’ala juga mengingatkan,

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ

“Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.” [Al-Mu’minun: 71]

Artikel terkait:

MEMBERIKAN PENGHARGAAN KEPADA MUSUH ISLAM, GAMBARAN RAPUHNYA KEIMANAN

Link: http://nasihatonline.wordpress.com/2012/05/30/memberikan-penghargaan-kepada-musuh-islam-gambaran-rapuhnya-keimanan/

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

26 KOMENTAR

  1. Bismillah.
    Ustadz, bagaimana jika yang non muslim hanya sebagai wakil, sedangkan pemimpin tertingginya Muslim,? Kemudian bagaimana jika calon pemimpin yang muslim semua (pemimpin dan wakilnya) terlihat sangat abisius dan terkesan menggunakan segala cara untuk mendapatkan tampuk kekuasaan, padahal dalam Islam terdapat larangan berambisi terhadap kekuasaan? Sementara pihak yang wakilnya non muslim tidak terlihat berambisi terhadap kekuasaan. Mana yang lebih Baik? Jazakalloohu Khoir

    • Bismillah.

      Memilih wakil nonmuslim sama saja, sebab masuk dalam makna pemimpin. Dan jika pemimpin tertinggi berhalangan, apakah keluar daerah, sakit atau meninggal dunia maka wakilnya yang menggantikannya menjadi pemimpin.

      Dan tidak boleh memilih pemimpin yang berambisi atau meminta jabatan, tetapi dipilih dari kalangan ahlul ilmi. Meski demikian, pemimpin muslim tetap saja masih lebih baik daripada seorang kafir. Wallahu A’lam.

    • Bismillah,

      Tidak diragukan lagi bahwa Pemilu Demokrasi adalah batil, tidak boleh seorang muslim mengikutinya. Akan tetapi terkadang dalam keadaan tertentu sebagian ulama membolehkan Pemilu untuk memperkecil kemudaratan, bukan karena membolehkan Pemilu Demokrasi.

      Oleh karena itu, boleh atau tidaknya ikut Pemilu dalam keadaan tertentu HARUS DITANYAKAN KEPADA PARA ULAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH. Adapun tulisan ini bukan anjuran mengikuti Pemilu, tetapi meluruskan aqidah sesat yang membolehkan memilih calon pemimpin kafir.

  2. Reblogged this on Al Faqir Ilallah and commented:
    Ya Allah sungguh aku telah berlepas diri dari Partai “Islam” dan memilih pemimpin dengan cara demokrasi. Terimalah taubatku dan jadikanlah aku istiqamah dalam manhaj yang Engkau ridhoi. Aamiin.

  3. Bismillahirrahmanirrahim,
    Ustadz,mohon maaf sebelumnya,mohon ditinjau ulang artikel di atas karena kesan yg muncul dari logika saya (mohon koreksi bila salah) yaitu berarti pilkada di propinsi tersebut mendatang, masyarakat sebaiknya ‘memilih’ cagub muslim (F…-N…) dong. Padahal di keterangan di bawah ilustrasi gambar/di bawah judul disebutkan pemilu/’memilih’ adalah bertentangan dengan Islam, logikanya masyarakat sebaiknya ‘memilih’/melakukan sesuatu yg bertentangan dengan Islam, bagaimana hal ini? Jazakallahu khaira

    • Bismillah walhamdulillah,

      Pertama, Tulisan ini membahas hukum memilih pemimpin kafir dalam Islam adalah haram, bukan hukum ikut Pemilu Demokrasi.

      Kedua, Kami meyakini Pemilu Demokrasi adalah haram.

      Ketiga, Terkadang sesuatu yang haram pada kondisi tertentu dibolehkan dalam syari’at. Misalkan ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama haram maka hendaklah dia pilih yang paling kecil keharamannya. Dan untuk itu harus ditanyakan kepada Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dapat menimbang apakah benar kita sudah dihadapkan pada dua pilihan itu atau tidak?

      Wallahu A’lam.

      • Jazakallahu khaira,Ustadz,atas balasan/keterangannya. Ana jadi ingat satu kaidah yg disampaikan ust.Imam waktu ta’lim kitab Ghayah wa Taqrib di UNJ-Jakarta Ahad lalu yaitu hukum (tentang sesuatu) itu satu/sudah pasti,tapi fatwa (tentangnya) bisa berbilang/bermacam-macam,maksudnya disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat/mad’u. Kemudian beliau memberikan contoh yg serupa pada hal ini,tentang pemilu/demokrasi.

  4. Ustadz, saya langsung frontal aja ya..di sini saya akan cantumkan identitas asli saya supaya tidak dibilang pengecut dan cari rusuh saja. Intinya, saya ingin tanya..

    kalo Anda orang Jakarta, pasti tahu kalo ….. Nggak tanggung-tanggung. Sementara di satu sisi ada harapan baru dari … yang prestasinya bagus.

    “Tidak usah muluk-muluk berprestasi. Cukup buat perubahan saja di Jakarta”, itu suara hati rakyat Jakarta. Kami tahu wakilnya non-muslim. Tapi oh coba lihat, ya Allah…saya dan orang-orang Jakarta sudah frustasi dengan … Jahat dan korup.

    Saya pikir golput bukan solusi. Mengapa? karena realitanya kita hidup dengan sistem demokrasi. Golput berrti tidak melakukan apa-apa untuk perubahan. RIngkasnya, Ini seperti makan buah simalakama. Saya pikir kok nggak bijak ya kalo menutup mata dari realita yang ada seperti yang saya uraikan di atas. saya tentu saja tetap hormat dan salut pada ustadz yang telah menulis artikel ini. Namun, pada akhirnya saya pilih …

    Bagaimana pendapat ustadz?

    Wahyu Awaludin
    UI Depok

    • Bismillah walhamdulillah. Terima kasih atas komentar Anda, tanggapan kami:

      1. Tulisan kami ini tidak ada hubungannya dengan Pilkada manapun, sebab kami di sini berbicara selaku guru agama bukan politikus, sehingga jika ada yang memahami bahwa tulisan ini untuk mendukung salah satu calon maka dia telah salah.

      2. Solusi yang terbaik adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, apakah kita mau golput atau memilih maka kita tanyakan kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun kita orang-orang bodoh sebaiknya diam, jangan berbicara tanpa dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan ulama. Jika kita berbicara, maka sadar atau tidak sadar, kita akan lebih memperkeruh masalah yang sudah ada, sebagaimana telah saya jelaskan di awal tulisan ini.

      3. Tidak perlu frustasi dengan keadaan ini, yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita sebagai masyarakat memperbaiki keadaan diri kita sendiri, apakah sudah sesuai dengan tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam atau belum? Karena sesungguhnya pemimpin yang jelek lahir dari masyarakat yang jelak, demikian sebaliknya, pemimpin yang baik lahir dari masyarakat yang baik.

      Sehingga ulama menjelaskan bahwa pemimpin yang jelek adalah adzab yang Allah ta’ala timpakan kepada satu masyarakat. Maka pertama sekali yang harus kita lakukan adalah memperbaiki diri kita dengan kembali mempelajari agama ini dari sumbernya yang benar, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Inilah sebaik-baiknya solusi. Allah ta’ala berfirman,

      وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

      “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [Al-A’raf: 96]

      4. Telah kami singgung di atas bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang bertentangan dengan Islam, maka sungguh aneh apabila seorang muslim menganggap demokrasi adalah solusi. Bahkan telah terbukti, di dunia ini tidak ada satu pun negara demokrasi yang berhasil mengantarkan masyarakatnya menjadi lebih baik secara hakiki, yaitu beriman kepada Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka bagaimana kita mau menjadikannya sebagai solusi?! Dan sebetulnya, jika mau konsisten dengan demokrasi, golput itupun suatu pilihan yang seharusnya dihormati.

      5. Maaf saya edit komentar Anda yang mengandung celaan kepada pemerintah muslim secara terang-terangan, sebab hal itu dilarang dalam Islam, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel ini: Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)

      Baarokallahu fiyk.

  5. SALUT USTADZ..coba kalo semua orang ngerti agama…mungkin mereka tidak akan banyak ngomong kasar…dan ngomong ngelantur kesana-sini dengan alasan yang dia sendiri belum tau pasti..Air beriak tanda tak dalam alias tong kosong nyaring bunyinya….kalo ingin mendapatkan yang baik tentu harus memberi yang baik pula….sebaiknya sebelum bicara lebih baik kita mengkaji diri kita sendiri…kebanayakan orang di negara kita mengharapkan sesuatu yang instan…tanpa mengedepankan efek dan akibatnya, kalo ingin maju jangan mengaharapkan dari pemimpin…tapi bangunlah dari pribadi diri sendiri.

  6. Ustadz, bila dalam bernegara saja kita memegang teguh ayat2 di atas, berarti kita harus pula memegang teguh ayat2 tersebut dalam kehidupan sehari2. Jadi bagaimana hukumnya bila kita bekerja pada perusahaan2 yg pimpinannya bukan Muslim? Apakah kita harus mengundurkan diri? Sebagai contoh ada ratusan perusahaan2 asing dan lokal yg memiliki ratusan ribu karyawan Muslim tetapi pimpinannya non-Muslim.

    • Alhamdulillah.

      Pernah ditanyakan hal serupa kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, maka fatwa beliau, memang tidak sepatutnya seorang muslim berada di bawah kepemimpinan orang kafir dalam bentuk apapun dan juga tidak boleh bekerja menjadi bawahan orang kafir demi menjaga aqidah al-wala’ wal baro’.

      Wallahu A’lam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini