Untukmu Saudaraku Mualaf Pengikut Hizbut Tahrir (Menyibak Hakikat Hizbut Tahrir) [Bag. 2]

2
11933

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Untukmu Saudaraku Mualaf Pengikut Hizbut Tahrir (Menyibak Hakikat Hizbut Tahrir) [Bag. 2]

Tulisan berikut ini masih dalam rangkaian pembahasan 20 poin kesesatan Hizbut Tahrir yang kami ringkas dari kitab “Ar-Roddu ‘ala Hizbit Tahrir” karya Asy-Syaikh DR. Abdur Rahman Dimasyqiyyah hafizhahullah sebagaimana dalam artikel “Mengapa Hizbut Tahrir Membenci Arab Saudi…?! (https://sofyanruray.info/mengapa-hizbut-tahrir-membenci-arab-saudi/).

Pada bagian pertama kami telah menjelaskan tentang beberapa penyimpangan aqidah Hizbut Tahrir dalam tulisan yang berjudul Menyibak Hakikat Hizbut Tahrir (Bantahan terhadap Kesesatan Hizbut Tahrir) [Bag. 1] (https://sofyanruray.info/menyibak-hakikat-hizbut-tahrir-bantahan-terhadap-kesesatan-hizbut-tahrir-bag-1/), dan ini adalah bagian keduanya, yang seharusnya membahas permasalahan hijrah, namun karena ada masalah yang lebih penting untuk dibahas, yaitu terkait dengan aqidah dalam permasalahan takdir yang merupakan rukun iman keenam, maka insya Allah ta’ala permasalahan takdir ini yang akan kami bahas terlebih dahulu, adapun permasalahan hijrah insya Allah pada artikel-artikel yang akan datang.

Sebelum kami masuk pada pembahasan inti, perlu kami sampaikan bahwa artikel ini sekaligus menjawab sebagian ucapan saudaraku seorang Mualaf Pengikut Hizbut Tahrir –semoga Allah menambahkan hidayah kepadanya-, berikut diantara ucapan beliau:

“Saya dibina langsung oleh Hizbut Tahrir, dari kitab-kitab asli berbahasa arabnya, membaca sendiri baris demi baris setiap paragrafnya, dan menerjemahkan sendiri, serta memahami satu-persatu maksud penulisnya, memeriksa kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.”

Tanggapan:

Pertama: Saudaraku rahimakallaah –semoga Allah merahmatimu-, kami sangat bersyukur atas nikmat hidayah dari Allah ta’ala kepadamu untuk memeluk Islam dan kami mendoakan semoga Allah ta’ala menambahkan hidayah kepadaku dan kepadamu, dan kami meyakini bahwa keislamanmu adalah jauh lebih baik daripada kekafiran, sebab seorang muslim bagaimana pun insya Allah tetap akan masuk ke surga, berapa banyak pun dosa yang ia lakukan selama tidak menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala, maka semoga Allah memberikan keistiqomahan kepadaku dan kepadamu di atas Islam. Adapun orang yang kafir dan musyrik, maka tidak mungkin untuk masuk surga. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maidah: 72]

Allah ta’ala juga berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” [Al-Bayyinah: 6]

Kedua: Izinkanlah kami mengajak Anda untuk membaca ulang baris demi baris salah satu nukilan dari kitab Hizbut Tahrir berbahasa Arab yang berjudul Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah karya pendiri Hizbut Tahrir; An-Nabhani dalam permasalahan yang sangat penting, yaitu rukun iman yang keenam, beriman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala, dan mari kita bandingkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta keterangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, apakah memang ucapan penulis sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits?

Apabila sudah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits apakah sudah dipahami dengan pemahaman yang benar? Yaitu pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagaimana telah kami jelaskan pada artikel sebelumnya tentang kewajiban mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jalan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

و تفترق أمتي على ثلاث و سبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ما أنا عليه و أصحابي

“Dan akan berpecah umatku menjadi 73 millah, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu yang mengikuti aku dan para sahabatku.” [HR. Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu’anhuma, Shohihul Jami’: 9474]

Ketiga: Saudaraku, coba renungkanlah, hadits tentang perpecahan umat ini juga sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa hidayah itu ada dua bentuk, yaitu hidayah kepada Islam dan hidayah di dalam Islam.

• Hidayah kepada Islam adalah hidayah kepada tauhid dan selamat dari kesyirikan dan kekufuran,

• Adapun hidayah di dalam Islam adalah hidayah kepada sunnah dan selamat dari bid’ah-bid’ah dan kelompok-kelompok sesat.

Bisa jadi seseorang telah mendapatkan hidayah kepada Islam, namun belum mendapatkan hidayah di dalam Islam.

Dahulu, generasi panutan kita menganggap kedua nikmat hidayah ini sangat penting sekali, perhatikanlah ucapan dari generasi panutan kita berkut ini;

Tabi’in yang Mulia Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata,

مَا أَدْرِي أَيُّ النِّعْمَتَيْنِ أَعَظْمُ أَنْ هَدَانِي لِلْإِسْلَامِ أَوْ عَافَانِي مِنْ هَذِهِ الْأَهْوَاء

“Aku tidak tahu nikmat manakah yang lebih besar, Allah berikan hidayah Islam kepadaku, ataukah Allah menjagaku dari bid’ah-bid’ah ini.” [Dzammul Kalaam lil Harowi: 772]

Tabi’in yang Mulia Al-Imam Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata,

قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ نِعْمَتَيْنِ فَلَا أَدْرِي أَيَّتُهُمَا أَعْظَمُ أَن هَدَانِي لِلْإِسْلَامِ ثُمَّ لَمْ يَجْعَلْنِي حَرُورِيًّا

“Sungguh Allah telah menganugerahkan kepadaku dua kenikmatan, maka aku tidak tahu mana yang lebih besar, apakah Allah memberikan hidayah Islam kepadaku, ataukah kemudian Allah tidak menjadikan aku sebagai Haruri (Pengikut Ahlul Bid’ah Khawarij).” [Dzammul Kalaam lil Harowi: 792]

• Saudaraku Mualaf Pengikut HT –semoga Allah menambahkan hidayah kepadanya- juga berkata,

“Karena mereka mengangkat fakta yang sama sekali salah, karenanya pembahasannya pun jadi salah, sedang apa yang saya pelajari, jauh daripada itu, sama sekali tidak ada fakta sebagaimana yang dituduhkan.”

• Beliau juga berkata,

“Sayangnya penyakit masa kini, menuduh tanpa bukti, atau menuduh dengan merangkai bukti sendiri, atau bahkan tanpa cek-ricek.

Memang betul, orang yang nggak kenal maka nggak sayang, belum kenal udah nuduh, belum pernah jumpa udah nulis tentang dia, belum pernah ngobrol bareng udah bilang ini-itu, padahal ya cuma tau dari “kata orang”, sayang ajaran Islam tentang tabayyun justru kita nggak budayakan.. sayang.. hehehe..

Memang tabayyun itu penting.”

Tanggapan:

Pertama: Entahlah, apakah saudaraku ini juga sudah selamat dari penyakit masa ini, yaitu menuduh tanpa bukti dan tabayun terhadap orang-orang yang mengkritik HT, semoga saja.

Kedua: Insya Allah ta’ala sebentar lagi, Anda akan melihat bukti-buktinya, sebagaimana di artikel yang sebelumnya juga kami telah menyebutkan bukti-bukti dari kitab HT, dan insya Allah pada artikel-artikel tentang HT yang akan datang juga akan kami sebutkan bukti-bukti tersebut, sekarang kita masuk dalam pembahasan takdir menurut HT.

Dalam kitab panduan HT yang berjudul Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz 1 halaman 96-97, terbitan Darul Ummah Beirut yang disebarkan Hizbut Tahrir, cetakan keenam tahun 1424 H, berikut screen shot nukilan format PDF dari website HT (lihat bukti alamat web dan halamannya, silakan dibuktikan sendiri ke alamat dan halaman tersebut):

Penyimpangan HT dalam Rukun Iman Keenam (Beriman kepada Takdir) 1

Penyimpangan HT dalam Rukun Iman Keenam (Beriman kepada Takdir) 2

Terjemahan:

“Dan makna beriman terhadap qodho’ dan qodor baiknya dan buruknya dari Allah ta’ala adalah mengimani bahwa perbuatan-perbuatan yang terjadi dari atau atas manusia sebagai jabr (ketentuan yang telah ditetapkan atasnya tanpa pilihannya) dan tidak ada kemampuan baginya untuk menolaknya, serta kekhususan-kekhususan yang ia lakukan dalam perkara-perkara tersebut, maka itu dari Allah ta’ala, bukanlah dari hamba, dan tidak ada campur tangan hamba padanya.

Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang merupakan pilihan hamba keluar dari pembahasan qodho’ dan qodar, sebab perbuatan-perbuatan ini terjadi dari atau atas manusia dengan pilihannya, dan karena Allah ketika menciptakan manusia dan menciptakan kekhususan-kekhususan dalam perkara-perkara, tabiat-tabiat dan kebutuhan-kebutuhan anggota tubuh, dan Allah menciptakan akal yang dapat membedakan; maka Dia memberikan kepadanya pilihan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya, dan tidak mengharuskannya untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya.

Jadi, Allah tidak menjadikan dalam kekhususan-kekhususan perkara-perkara, tabiat-tabiat dan kebutuhan-kebutuhan anggota tubuh; yang mengharuskannya untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya.

Oleh karena itu, manusia memilih sendiri untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan apa yang Allah berikan berupa akal yang dapat membedakan, dan Allah menjadikannya sebagai tempat pembebanan syari’at, karena itulah Allah memberikan pahala atas perbuatan baik, sebab akalnya memilih untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta memberikan hukuman atas perbuatan buruk, sebab akalnya memilih untuk menyelisihi perintah Allah dan melakukan apa yang Dia larang.

Dan balasan baginya terhadap perbuatan ini adalah benar dan adil, karena ia memilih untuk melakukannya dan tidak dipaksa melakukannya, dan tidak ada urusan bagi qodho’ dan qodor dalam permasalahan ini, bahkan masalahnya adalah perbuatan hamba sendiri untuk melakukannya dengan memilih sendiri, karena itulah seorang hamba akan mempertanggungjawabkan usahanya sendiri (sebagaimana firman Allah): “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Al-Muddatstsir: 38).” [Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 1/96-97, karya An-Nabhani, terbitan Darul Ummah Beirut, cetakan keenam tahun 1424 H]

Pembaca yang budiman, agar tidak dikatakan merangkai kesimpulan sendiri, mari kita lihat kesimpulan seorang Pengikut HT soal takdir:

Seorang Pengikut HT berkata,

“Sebenarnya, kalau penuduh mencermati dengan teliti penjelasan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pasti tidak berkesimpulan demikian. Karena beliau menjelaskan dua kategori perbuatan manusia:

Pertama, Perbuatan yang menguasai manusia, baik yang menimpa dirinya maupun dari dirinya.

Kedua, Perbuatan yang dikuasai oleh manusia.

Kategori yang pertama inilah yang masuk dalam wilayah Qadha’, sedangkan kategori yang kedua tidak.”

Pengikut HT tersebut juga memberi kesimpulan,

“Manusia beriman atau kafir, misalnya; duduk atau berdiri; makan-minum yang halal atau yang haram; menikah atau berzina; menerapkan hukum Allah atau hukum manusia; dan sebagainya; semua itu berada dalam ikhtiar (pilihan) manusia sepenuhnya. Karena itu, pilihan manusia dalam wilayah ini akan dihisab di hadapan Allah kelak pada Hari Akhir.”

[Selesai Nukilan]

Inilah kesimpulannya, bahwa perbuatan-perbuatan hamba yang merupakan pilihannya tidak termasuk dalam qodho’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi “sepenuhnya” pilihan manusia.

Tanggapan:

Pertama: Ini adalah aqidah yang sesat dan kekafiran kepada Allah ta’ala, bagaimana mungkin sesuatu terjadi di luar wilayah qodho’ dan qodar Allah ta’ala padahal Allah yang menciptakan, mengatur dan menguasai segala sesuatu yang terjadi di alam ini, maka keyakinan tersebut bertentangan dengan firman Alllah ta’ala,

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Al-Furqon: 2]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أَيْ: كُلُّ شَيْءٍ مِمَّا سِوَاهُ مَخْلُوقٌ مَرْبُوبٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَرَبُّهُ وَمَلِيكُهُ وَإِلَهُهُ، وَكُلُّ شَيْءٍ تَحْتَ قَهْرِهِ وتسخيره وتدبيره وتقديره.

“Maknanya: Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang dipelihara oleh Allah, dan Dia adalah Pencipta, Rabb, Pemilik dan Sesembahan seluruh makhluk, dan segala sesuatu terjadi di bawah kekuasaan-Nya, perbuatan-Nya, pengaturan-Nya dan takdir-Nya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/93]

Kedua: Allah ta’ala telah menegaskan bahwa hamba adalah ciptaan Allah, perbuatan hamba pun ciptaan Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” [Ash-Shaffaat: 96]

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah sampai menyusun kitab yang berjudul “Khalqu Af’alil ‘Ibad” (Penciptaan Perbuatan-perbuatan Hamba), menunjukkan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa hamba dan perbuatan yang ia pilih adalah takdir Allah ta’ala. Diantara hadits yang beliau sebutkan adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ يَصْنَعُ كُلَّ صَانِعٍ وَصَنْعَتَهُ

“Sesungguhnya Allah yang membuat semua makhluk yang berbuat dan perbuatannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Khalqu Af’alil ‘Ibad dari Hudzaifah radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1637]

Ketiga: Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah yang menciptakan dan menakdirkan segala sesuatu, termasuk perbuatan-perbuatan ikhtiar semua hamba, sama sekali tidak menafikkan bahwa hamba diberi kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, dan kemampuan memilih perbuatan baik dan buruk.

Oleh karena manusia memilih sendiri untuk melakukan perbuatan baik dan buruknya, maka Allah ta’ala membalas mereka, tapi itu bukan bermakna bahwa pilihan mereka keluar dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala, lalu menjadi “sepenuhnya” pilihan manusia seperti yang dipahami Hizbut Tahrir.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan Pemahaman Salaf meyakini bahwa hamba diberikan kemampuan untuk memilih, namun pilihannya tidak keluar sedikit pun dari takdir Allah tabaraka wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 28-29]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أَيْ: لَيْسَتِ الْمَشِيئَةُ مَوْكُولَةً إِلَيْكُمْ، فَمَنْ شَاءَ اهْتَدَى وَمَنْ شَاءَ ضَلَّ، بَلْ ذَلِكَ كُلُّهُ تَابِعٌ لِمَشِيئَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

“Maknanya: Tidaklah kehendak itu diserahkan kepada kalian, hingga siapa yang telah berkehendak hidayah maka mendapat hidayah dan siapa yang berkehendak tersesat maka tersesat, tetapi itu semuanya mengikuti kehendak Allah ‘azza wa jalla Rabbul ‘alaamiin.” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/340]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

إِنَّ مَشِيئَةَ الْعِبَادِ هِيَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى، وَلَا يَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ، وَإِنَّ أَعْمَالَ النَّاسِ خَلْقٌ مِنَ اللَّهِ فِعْلٌ لِلْعِبَادِ وَإِنَّ الْقَدَرَ خَيْرَهُ وَشَرَّهُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Bahwa kehendak para hamba kembali kepada Allah ta’ala, mereka tidak dapat berkehendak kecuali apabila Allah berkehendak Rabb semesta alam, dan bahwa seluruh perbuatan manusia adalah ciptaan dari Allah yang juga merupakan perbuatan bagi hamba, dan bahwa qodar baik dan buruk dari Allah ‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqod, hal. 225-226]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَالْعِبَادُ فَاعِلُونَ حَقِيقَةً وَاَللَّهُ خَالِقُ أَفْعَالِهِمْ؛ وَالْعَبْدُ هُوَ الْمُؤْمِنُ وَالْكَافِرُ وَالْبَرُّ وَالْفَاجِرُ وَالْمُصَلِّي وَالصَّائِمُ؛ وَلِلْعِبَادِ قُدْرَةٌ عَلَى أَعْمَالِهِمْ وَلَهُمْ إرَادَةٌ؛ وَاَللَّهُ خَالِقُهُمْ وَخَالِقُ قُدْرَتِهِمْ وَإِرَادَتِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ} {وَمَا تَشَاءُونَ إلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ}.

“Para hamba adalah pelaku-pelaku perbuatan secara hakiki, dan Allah Pencipta perbuatan-perbuatan mereka, dan hamba adalah yang beriman, yang kafir, yang berbuat baik, yang berbuat jelek, yang sholat dan yang puasa, mereka memiliki kemampuan dan keinginan untuk melakukan amalan-amalan mereka, dan Allah adalah Pencipta mereka dan Pencipta kemampuan dan keinginan mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala, “Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 28-29).” [Majmu’ Al-Fatawa, 3/150]

Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,

والصواب أن يقال تقع الحركة بقدرة العبد وإرادته التي جعلها الله فيه فالله سبحانه إذا أراد فعل العبد خلق له القدرة والداعي إلى فعله.

“Pendapat yang benar hendaklah dikatakan bahwa terjadinya gerakan seorang hamba adalah dengan kemampuan dan keinginannya yang Allah ciptakan padanya, maka Allah subhanahu wa ta’ala apabila menghendaki perbuatan seorang hamba maka Allah menciptakan baginya kemampuan dan faktor pendorong untuk melakukannya.” [Syifaaul ‘Alil fi Masaailil Qodho’ wal Qodar wal Hikmah wat Ta’lil, hal. 146]

Inilah penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang takdir yang sangat mudah dipahami dan berbeda dengan penjelasan Hizbut Tahrir yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf.

Keempat: Apa bedanya keyakinan Hizbut Tahrir dengan keyakinan Mu’tazilah dan Abu Jahl…?

Hizbut Tahrir menuduh bahwa orang yang menyamakan Hizbut Tahrir dengan Mu’tazilah karena tidak mengerti tentang Mu’tazilah atau tentang HT itu sendiri, dan juga tidak melakukan tabayyun atau punya niat jahat. Entahlah apakah tuduhan ini sudah tabayyun atau belum, berikut ini perbandingan antara Hizbut Tahrir dan Mu’tazilah, sekalian dengan Abu Jahl.

Hizbut Tahrir berkayakinan bahwa perbuatan-perbuatan yang dipilih manusia adalah “sepenuhnya” kuasa manusia.

Perhatikan keyakinan Mu’tazilah menurut An-Nabhani, berikut screen shot dari kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz 1 halaman 91:

Penyimpangan HT dalam Rukun Iman Keenam (Beriman kepada Takdir) 3

Lihat baris kelima pada paragraf di atas yang digarisbawahi, An-Nabhani memberi kesimpulan pendapat Mu’tazilah,

“Mu’tazilah mengatakan semuanya, bahwa seorang hamba dialah yang menciptakan (semua) perbuatan-perbuatannya dengan sendirinya.”

Jadi Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan hamba tanpa terkecuali adalah kuasanya sendiri, perbedaannya dengan Hizbut Tahrir hanyalah dalam perbuatan-perbuatan yang hamba tidak memiliki pilihan, maka itu takdir Allah menurut Hizbut Tahrir.

Adapun dalam perbuatan-perbuatan hamba yang merupakan pilihannya maka menurut Hizbut Tahrir itu adalah “sepenuhnya” perbuatan hamba, tidak termasuk dalam qodho’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala, apa bedanya dengan Mu’tazilah dalam permasalahan ini…?!

Dan bandingkanlah dengan keyakinan Abu Jahl berikut ini, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah atsar,

لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ} قَالَ أَبُو جَهْلٍ: الْأَمْرُ إِلَيْنَا، إِنْ شِئْنَا اسْتَقَمْنَا، وَإِنْ شِئْنَا لَمْ نَسْتَقِمْ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ}.

“Ketika turun firman Allah ta’ala, “Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (At-Takwir: 28) Abu Jahl berkata: “Urusan ini kembali kepada kuasa kami, jika kami berkehendak kami akan lurus dan jika kami tidak berkehendak kami tidak akan lurus”, maka Allah menurunkan firman-Nya, Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 29).” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/340]

Kelima: Pertanyaan besar: Apakah kalau begitu manusia boleh melakukan dosa dengan alasan itu sudah takdir Allah? Bahwa itu tidak lepas dari qodho’ dan qodar Allah? Dan mengapakah manusia diberikan balasan kalau itu memang juga kehendak Allah?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menjadikan sebagian orang rancu dalam memahami takdir Allah subhanahu wa ta’ala, berikut beberapa jawaban yang insya Allah dapat menghilangkan kerancuan:

1) Keyakinan bahwa semua perbuatan yang dipilih hamba tidak lepas dari qodho’ dan qodar Allah ta’ala, tidak menghalangi untuk diberinya balasan oleh Allah atas perbuatan-perbuatan tersebut, karena hamba tidak dipaksa melakukannya tanpa kehendak dan pilihan dari mereka, namun mereka sendiri memilih dan berkehendak melakukannya, walau pilihan dan kehendak mereka tidak lepas dari qodho’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala, bagaimana mungkin bisa lepas sementara itu masih terjadi di bawah penguasaan Allah?! Apakah ada makhluk yang bisa berbuat sekehendaknya, lepas dari penguasaan-Nya?!

2) Semua perbuatan dosa manusia adalah takdir Allah ta’ala yang dipilih oleh manusia, namun seorang hamba tidak boleh melakukan maksiat dengan alasan takdir karena sebelum ia melakukannya ia tidak tahu apa takdir Allah untuknya, apakah ia sudah mengetahui sebelumnya bahwa ia akan berbuat dosa beberapa menit ke depan?! Tentunya ia tidak tahu, karena itu termasuk perkara ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ta’ala.

Dan mengapa ia tidak memilih perbuatan baik dan berprasangka baik kepada Allah bahwa itulah takdirnya?!

Mengapa jika diberikan pilihan dalam perkara duniawi ia memilih yang terbaik, sementara untuk akhiratnya ia memilih perbuatan dosa dengan alasan takdir?!

Dan mengapa jika seseorang merampas haknya ia berusaha menuntutnya, padahal itu juga takdir Allah ta’ala?!

Kesimpulannya, meyakini bahwa semua perbuatan-perbuatan makhluk yang merupakan pilihannya adalah kehendaknya dan kemampuannya, namun tidak lepas dari kehendak dan kuasa Allah ta’ala, bukan sebagai alasan bahwa makhluk boleh berbuat dosa dan tidak akan mendapatkan balasan.

Keenam: Adapun keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, golongan yang benar, yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan Manhaj Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat radhiyallahu’anhum adalah mengimani empat perkara terkait qodho’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala:

1) Ilmu (العلم), mengimani bahwa Allah ta’ala Maha Mengetahui semua yang terjadi sebelum terjadi, baik secara global maupun terperinci, tidak ada satu pun yang tersembunyi dari ilmu Allah tabaraka wa ta’ala.

2) Penulisan (الكتابة), mengimani bahwa semua yang terjadi di alam ini telah ditulis oleh Allah subhanahu wa ta’ala di al-lauhul mahfuzh, sebuah kitab yang terjaga.

Allah ta’ala berfirman tentang dua perkara tersebut,

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Sungguh yang itu semua terdapat dalam sebuah kitab (al-lauhul mahfuzh). Sungguh yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [Al-Hajj: 70]

3) Kehendak (المشيئة), mengimani bahwa semua yang terjadi adalah dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, apakah yang terkait dengan perbuatan-Nya ataukah perbuatan makhluk, semua tidak mungkin terjadi kecuali sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam banyak ayat, diantaranya,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” [Al-Qoshosh: 68]

4) Penciptaan (الخلق), mengimani bahwa seluruh makhluk adalah ciptaan Allah, baik dzat-dzatnya, sifat-sifatnya dan gerakan-gerakannya, tanpa ada pengecualian, sebagaimana firman-Nya,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

“Allah Pencipta segala sesuatu.” [Az-Zumar: 62]

Dan firman-Nya,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” [Ash-Shaffaat: 96]

[Lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul karya Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 111-112]

Ketujuh: Apa perbedaan antara Qodho’ dan Qodar? Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

اختلف العلماء في الفرق بينهما، فمنهم من قال: إن القدر: “تقدير الله في الأزل”، والقضاء: “حكم الله بالشيء عند وقوعه”، فإذا قدر الله -تعالى- أن يكون الشيء المعين في وقته فهذا قدر، فإذا جاء الوقت الذي يكون فيه هذا الشيء فإنه يكون قضاء، وهذا كثير في القرآن الكريم مثل قوله-تعالى-: {قُضِيَ الْأَمْرُ}، وقوله: {وَاللَّهُ يَقْضِي بِالْحَقِّ}، وما أشبه ذلك. فالقدر تقدير الله -تعالى- الشيء في الأزل، والقضاء قضاؤه به عند وقوعه.

ومنهم من قال: إنهما بمعنى واحد.

والراجح: أنهما إن قرنا جميعا فبينهما فرق كما سبق، وإن أفرد أحدهما عن الآخر فهما بمعنى واحد، والله أعلم.

“Ulama berbeda pendapat tentang perbedaan keduanya, maka diantara ulama ada yang berpendapat:

• Sesungguhnya qodar Alah adalah takdir Allah sejak dahulu,

• Sedangkan qodho’ adalah ketetapan Allah atas sesuatu ketika terjadinya.

Maka apabila Allah ta’ala telah menakdirkan sesuatu akan terjadi di waktu tertentu, inilah qodar.

Apabila datang waktu yang padanya akan terjadi apa yang telah Allah takdirkan dahulu, inilah qodho’, dan yang menunjukkan makna ini banyak dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah ta’ala, “Tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan (diqodho’).” (Ibrahim: 22), dan firman Allah ta’ala, “Dan Allah menetapkan (meng-qodho’) dengan keadilan.” (Ghafir: 20), dan ayat-ayat yang semisalnya.

Jadi, qodar adalah takdir Allah atas sesuatu sejak dulu, sedang qodho’ adalah ketetapan-Nya terhadap takdir tersebut ketika terjadinya.

Dan ulama yang lainnya berpendapat bahwa keduanya bermakna sama.

Pendapat yang kuat adalah keduanya apabila disebutkan secara bersamaan maka maknanya berbeda sesuai penjelasan sebelumnya, namun apabila disebutkan secara terpisah maka maknanya sama. Wallaahu A’lam.” [Majmu’ Fatawa wa Rosaail Asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimin rahimahullah, 2/79 no. 191]

Insya Allah ta’ala bersambung…

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

https://www.facebook.com/sofyanruray.info

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini