Menyingkap Syubhat Khawarij dalam Majalah “Salafy”

1
2290

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Editor: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc hafizhahullah

Khawarij

Segala puji hanya bagi Allah ta’ala yang telah menganugerahkan hidayah kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salaifyun untuk ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam semua perkara agama.

Termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat telah memberikan teladan kepada kaum muslimin, diantaranya dalam hubungan antara rakyat dan penguasa, baik penguasa yang adil maupun yang zalim, serta metode (manhaj) menasihati pemimpin yang zalim tersebut. Karena Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia.

Allah ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan telah Ku-ridhoi Islam sebagai agama bagi kalian.” [Al-Maidah: 3]

Rasulullah –shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sungguh tidak ada satu pun Nabi sebelumku, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan yang ia ketahui bagi umatnya, dan mengingatkan kejelekan yang ia ketahui bagi mereka.” [HR. Muslim (no. 1844) dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash –radhiyallahu’anhuma-]

Dari sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiyallahu’anhu, ia berkata, dikatakan kepadanya,

قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

“Sungguh Nabi kalian –shallallahu’alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai cara buang hajat. Maka beliau berkata, Tentu saja, sungguh Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- telah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang hajat atau kencing, melarang kami ber-istinja’ (cebok) dengan tangan kanan, melarang kami ber-istinja’ dengan kurang dari tiga buah batu, dan melarang kami ber-istinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 262) dari Salman –radhiyallahu’anhu-]

Sahabat yang mulia Abu Dzar –radhiyallahu’anhu- berkata,

تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا ، قَالَ : فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meninggalkan kami, dalam keadaan tidaklah seekor burung kecil mengepakkan dua sayapnya di udara, kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentang hal itu. Beliau –shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Tidak tersisa sedikit pun yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian”. [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (no. 1647) dari Abu Dzar –radhiyallahu’anhu-, Ash-Shahihah: 1803]

Peringatan dari Bahaya Bid’ah dan Menyelisihi Sunnah

Tatkala sebagian kaum muslimin berpaling dari bimbingan sunnah, mereka pun tersesat dari jalan yang lurus dan semakin menyimpang serta terancam dengan azab yang pedih.

Allah -ta’ala- telah mengingatkan,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nur: 63]

Fitnah dalam ayat ini,  maknanya adalah kesesatan dan puncaknya adalah kesyirikan. Ini azab (siksa) pertama yang Allah -ta’ala- akan timpakan terhadap orang-orang yang menyelisihi jalan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, yaitu azab pada hati seseorang.  Adapun azab yang kedua adalah azab yang akan ditimpakan pada badannya, wal’iyaadzu billaah.

Al-Imam Ahmad –rahimahullah- berkata,

الفتنة الشرك لعله إذا رد بعض قوله أن يقع في قلبه شئ من الزيغ فيهلك

“Fitnah adalah kesyirikan, bisa jadi jika ia menolak sebagian ucapan Rasul -shallallahu’alaihi wa sallam-, maka muncul dalam hatinya satu bentuk kesesatan, lalu membinasakannya.” [Lihat Ash-Shorim Al-Maslul (1/59) dan Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 483]

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin –rahimahullah- berkata,

“Allah ta’ala memulai pertama kali (dalam ayat ini) dengan azab berupa fitnah sebelum azab yang pedih (yang akan menimpa badan), sebagai isyarat terhadap munculnya penyakit hati dan fitnah bagi hati, lebih keras dibanding azab yang pedih (yang menimpa badan) berupa kekeringan, gempa bumi, banjir dan semisalnya yang diakibatkan karena penyelisihan terhadap Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-.” [Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, hal. 151]

Diantara hukuman terhadap para pelaku bid’ah,  Allah -ta’ala- menghukum mereka untuk sulit rujuk dan bertobat kepada-Nya.

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

“Sesungguhnya Allah menutup tobat dari seorang pemilik bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya.” [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath (no. 4202) dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, Shahihut Targhib: 54]

Meninggalkan bid’ah sangat sulit, sebab pelaku bid’ah itu menganggap bid’ah yang ia kerjakan adalah suatu kebaikan. Inilah diantara sisi yang menunjukkan bid’ah itu lebih berbahaya daripada maksiat.

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri –rahimahullah– berkata,

البدعة أحب إلى إبليس من المعصية والمعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها

“Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada maksiat, dan maksiat mungkin tobat darinya dan bid’ah (umumnya) tidak mungkin tobat darinya.” [Lihat Syarhu I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, lil Laalikaai, 1/132, no. 238]

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- juga bersabda tentang kelompok bid’ah Khawarij,

إِنَّ بَعْدِى مِنْ أُمَّتِى – أَوْ سَيَكُونُ بَعْدِى مِنْ أُمَّتِى – قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَلاَقِيمَهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَعُودُونَ فِيهِ هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ

“Sungguh setelahku ada dari umatku –atau akan datang sepeninggalku dari kalangan umatku- suatu kaum yang membaca Al-Qur’an tanpa melewati kerongkongan-kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembus sasarannya, kemudian mereka tidak kembali lagi dalam agama, mereka adalah sejelek-jeleknya manusia dan makluk yang melata.” [HR. Muslim (no. 1067) dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit –radhiyallahu’anhu-]

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- berkata,

[ باب ما جاء في أن الله احتجز التوبة على صاحب البدعة ]

هذا مروي من حديث أنس ومن مراسيل الحسن، وذكر ابن وضاح عن أيوب قال: “كان عندنا رجل يرى رأياً فتركه فأتيت محمد بن سيرين فقلت: أشعرت أن فلاناً ترك رأيه؟ قال: انظر إلى ماذا يتحول؟ إن آخر الحديث أشد عليهم ن أوله. (( يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية ثم لا يعودون إليه)) . وسئل أحمد بن حنبل عن معنى ذلك فقال : “لا يوفقون للتوبة”.

“Bab: tentang Allah menutup pintu taubat atas pelaku bid’ah. Ini diriwayatkan dari hadits Anas dan dari Marasil-nya Al-Hasan. Disebutkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Ayub, ia berkata, “Dahulu ada seseorang yang memiliki pendapat bid’ah, lalu ia meninggalkannya, maka aku mendatangi Muhammad bin Sirin, lalu aku berkata, “Apakah engkau telah tahu bahwa fulan telah meninggalkan pendapat bid’ahnya?” Maka beliau berkata, “ Lihatlah ke mana ia berpindah? Sesungguhnya bagian akhir hadits yang paling keras terhadap mereka, ”Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah yang menembus sasarannya, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya.” Imam Ahmad ditanya tentang makna hadits tersebut, maka beliau berkata, “Mereka tidak diberikan taufiq untuk bertaubat”.” [Matan Risalah Fadhlul Islam, Asy-Syamilah]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata,

“Ini kenyataan pada umumnya, dan bisa kita saksikan hari ini pada kaum Khawarij. Walau engkau mengingatkan mereka siang dan malam, dan engkau men-tahdzir dan terus mengingatkan mereka, tetap saja mereka tidak berubah dari bid’ah mereka selamanya. Ini sesuatu yang disaksikan, sebab mereka menganggap bahwa mereka di atas al-haq dan kebenaran. Setan telah menghiasi kesesatan bagi mereka, sehingga mereka tidaklah menganggap diri mereka,  kecuali di atas al-haq. Manusia apabila tidak mengakui kesalahannya, ia akan ditimpakan kesalahan yang lebih parah, dan inilah keadaan para pelaku bid’ah.  Ini termasuk fiqh (pemahaman) Al-Imam Muhammad bin Sirin –rahimahullah-. Sungguh beliau tidak menganggap bahwa seorang Khawarij itu akan bertobat dari bid’ah, tapi beliau menganggap bahwa ia akan berpindah kepada bid’ah yang lebih parah.  Itu diambil dari sabda Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, “Mereka keluar dari agama, kemudian tidak lagi kembali kepadanya”, sedang Rasul tidaklah berbicara dari hawa nafsunya, dan mesti terjadi sesuatu yang telah beliau -shallallahu’alaihi wa sallam- kabarkan.” [Syarhu Risalah Fadhlil Islam, hal. 98-99]

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama di atas, dan bahwa hari ini hal itu masih tetap kita saksikan. Tak heran bila beberapa pekan yang lalu kami mendapatkan majalah SALAFY Edisi 01 bulan Muharram 1435, yang dipimpin oleh Ustadz Jafar Umar Thalib hadaahullah, pada rubrik hadits hal. 29-33, terdapat sebuah tulisannya yang berjudul, “Hukum Mencerca Pemerintah di Depan Umum (Studi Kritis Politik Ahlus Sunnah wal Jama’ah).”

Kesimpulan akhir tulisan tersebut adalah masih mempertahankan pemahaman Khawarij, dan bahwa mencerca pemerintah di depan umum tidak dapat disalahkan dan orang yang melakukannya tidak dapat dikatakan mengikuti pemahaman Khawarij dengan dua alasan:

Pertama: Hadits-hadits yang melarangnya lemah.

Kedua: Sebagian Salaf melakukannya, bahkan memberontak.

Sesungguhnya syubhat yang semisal ini telah lama ditanyakan kepada kami oleh sebagian Ikhwan (saudara). Mereka dapatkan dari orang-orang Wahdah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan berbagai kelompok yang memiliki pemahaman Khawarij lainnya.

Dengan mengharap pertolongan Allah -ta’ala- kami akan menjelaskan -insya Allah ta’ala- penyimpangan dalam tulisan Ustadz Ja’far tersebut dan menyingkap syubhatnya. Dan ini sebagai realisasi tobat kami dari ucapan yang mengandung bantahan terhadap guru kami Asy-Syaikh Al-‘Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhalihafizhahullah- tentang Ustadz Ja’far bahwa beliau telah menasihatinya hingga beliau tidak memiliki harapan ia bertobat, dan sekaligus mencabut tulisan kami sebelumnya yang mengandung pembelaan diri terhadap kesalahan tersebut, dan kami memohon ampun kepada Allah -ta’ala- atas kesalahan yang berasal dari kebodohan kami tersebut.

Jawaban Terhadap Syubhat

Syubhat Pertama: Hadits-hadits yang Melarang Mencerca Penguasa Secara Terbuka Derajatnya Lemah

Teks Hadits:

قَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ لِهِشَامِ بْنِ حَكِيمٍ أَلَمْ تَسْمَعْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلا يُبْدِهِ عَلانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

“Iyadh bin Ganm berkata kepada Hizyam bin Hakim radhiyallahu’anhuma: Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096]

Ustadz Ja’far mendha’ifkan hadits ini dengan 4 alasan:

  1. Dalam riwayat Al-Hakim terdapat rawi yang lemah yaitu Ibnu Zuraiq
  2. Dalam riwayat Ahmad terdapat Syuraih bin ‘Ubaid yang riwayatnya terputus, tidak mendengar dari Hisyam dan ‘Iyadh
  3. Dalam riwayat Ibnu ‘Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096) terdapat keterputusan sanad seperti poin (b), dan dalam As-Sunnah (1097) trdapat rawi yang lemah yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyash Al-Himshi, dan dalam As-Sunnah (1098) terdapat rawi yang lemah, yaitu Abdul Hamid bin Ibrahim
  4. Riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam lemah pada sanadnya masing-masing.

Tanggapan:

Pertama: Tentang Derajat Hadits

1). Dalam ta’liq Adz-Dzahabi rahimahullah terhadap Al-Mustadrak (no. 5269) karya Al-Hakim rahimahullah beliau memang mengatakan: “Ibnu Zuraiq waahin” dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan dalam Adh-Dhaifah (3/39) bahwa yang dimaksud dengan waahin menurut Adz-Dzahabi dan Al-Asqolani adalah: “Sangat lemah.” Akan tetapi terdapat penguat hadits ini dari jalan periwayatan yang lain yang tidak terdapat padanya Ibnu Zuraiq, yaitu dalam riwayat Ahmad (dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro dan lain-lain. Dan sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits bahwa riwayat yang lemah terangkat menjadi kuat dengan adanya syawahid (penguat-penguat).

2). Adapun keterputusan sanad dalam riwayat Ahmad antara Syuraih bin ‘Ubaid (tabi’in) dan sahabat Hisyam dan ‘Iyadh, maka dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (1097) terdapat Jubair bin Nufair yang menjadi penghubung antara Syuraih dan kedua sahabat (Hisyam dan ‘Iyadh), maka atas dasar ini Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menshahihkan hadits ini.

3). Sangkaan Ustadz Ja’far bahwa riwayat Ibnu ‘Ashim dalam As-Sunnah (1096) terdapat keterputusan sanad seperti poin (b), maka ini sudah terbantah sebagaimana pada tanggapan poin (b) di atas.

Adapun dalam As-Sunnah (1097) terdapat rawi yang lemah yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyasy Al-Himshi, maka ia menjadi kuat dengan dukungan riwayat yang sebelumnya (1096) yang tidak terdapat padanya Muhammad bin ‘Ayyasy, demikian keterangan Asy-Syaikh Al-Albani.

Di dalam As-Sunnah (1098) terdapat rawi yang lemah, yaitu Abdul Hamid bin Ibrahim. Akan tetapi dengan adanya jalan periwayatan lain,  ia terangkat menjadi kuat sebagaimana yang dipahami dalam ilmu hadits.

4). Adapun ucapan Ustadz Ja’far bahwa riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam lemah pada sanadnya masing-masing, maka telah berlalu penjelasan di atas bahwa ada beberapa jalan yang tidak sampai pada tingkat “sangat lemah” sehingga menjadi kuat dengan seluruh jalan-jalannya, demikian kesimpulan Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.

Kedua: Teladan Para Sahabat radhiyallahu’anhum

1)      Sahabat yang mulia, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata,

أيتها الرعية إن لنا عليكم حقا النصيحة بالغيب، والمعاونة على الخير وإنه ليس شيء أحب إلى الله وأعم نفعا من حلم إمام ورفقه، وليس شيء أبغض إلى الله من جهل إمام وخرقه

“Wahai rakyat, sesungguhnya kami memiliki hak atas kalian, yaitu nasihat secara tersembunyi, dan menolong dalam kebaikan. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lebih dicintai  oleh Allah dan lebih luas manfaatnya dibanding kesabaran seorang pemimpin dan kelembutannya, dan tidak ada sesuatu yang lebih dimurkai oleh Allah dibanding kejahilan seorang pemimpin dan kebodohannya.” [Diriwayatkan Hannad dalam Az-Zuhd (no. 1281), dan Ibnu Syubbah dalam Tarikh Al-Madinah An-Nabawiyyah (2/12)]

2)      Sahabat yang mulia Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhuma berkata, dikatakan kepadanya,

أَلاَ تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ فَقَالَ أَتُرَوْنَ أَنِّى لاَ أُكَلِّمُهُ إِلاَّ أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِى وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ

“Tidakkah engkau masuk menemui ‘Utsman untuk berbicara dengannya (menasihatinya), maka ia berkata, “Apakah kalian menyangka bahwa aku tidak berbicara kepadanya, kecuali aku harus memperdengarkan kepada kalian?! Sesungguhnya aku telah berbicara kepadanya ketika hanya antara aku dan dia saja, tanpa aku membuka satu perkara yang aku tidak suka untuk membukanya pertama kali.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (no. 3267) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 2989), dan lafaz ini milik Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani –rahimahullah- berkata,

قوله قد كلمته ما دون أن افتح بابا أي كلمته فيما أشرتم إليه لكن على سبيل المصلحة والأدب في السر بغير ان يكون في كلامي ما يثير فتنة أو نحوها

“Ucapan beliau (Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu), “Sungguh aku telah berbicara dengannya tanpa aku membuka sebuah pintu” maknanya adalah, aku telah berbicara kepadanya dalam perkara yang kalian maksudkan tersebut, akan tetapi dengan jalan maslahat dan adab secara rahasia, tanpa ada dalam ucapanku sesuatu yang dapat mengobarkan fitnah atau semisalnya.” [Fathul Bari, 13/51]

Al-Muhallab rahimahullah berkata,

أرادوا من أسامة ان يكلم عثمان وكان من خاصته وممن يخف عليه في شأن الوليد بن عقبة لأنه كان ظهر عليه ريح نبيذ وشهر أمره وكان أخا عثمان لأمه وكان يستعمله فقال أسامة قد كلمته سرا دون أن أفتح بابا أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة

“Mereka menginginkan dari Usamah agar beliau berbicara kepada ‘Utsman -dan Usamah adalah orang dekat dan disegani oleh ‘Utsman- dalam perkara Al-Walid bin ‘Uqbah, karena muncul darinya bau nabidz (khamar) dan telah ramai dibicarakan, sedang ia adalah saudara ‘Utsman seibu dan beliau tugaskan sebagai gubernurnya. Maka Usamah berkata, “Sungguh aku telah berbicara kepadanya secara rahasia tanpa aku membuka pintu” maknanya adalah pintu mengingkari pemimpin secara terang-terangan, karena dikhawatirkan akan terpecahnya persatuan.” [Fathul Bari, 13/52]

3)      Dari Sa’id bin Jumhan –rahimahullah-, ia berkata,

أَتَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ، قَالَ لِي : مَنْ أَنْتَ ؟ فَقُلْتُ : أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ ، قَالَ : فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : قَتَلَتْهُ الأَزَارِقَةُ ، قَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلاَبُ النَّارِ ، قَالَ : قُلْتُ : الأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا ؟ قَالَ : بَلِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا . قَالَ : قُلْتُ : فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ ، وَيَفْعَلُ بِهِمْ ، قَالَ : فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ، ثُمَّ قَالَ : وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ ، وَإِلاَّ فَدَعْهُ ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ.

“Aku pernah mendatangi Abdullah bin Abi Aufa -radhiyallahu’anhu- dan beliau adalah seorang yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah kamu?” Aku berkata, “Aku Sa’id bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi pada bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al-Azaariqoh telah membunuhnya”. Beliau berkata, “Semoga Allah melaknat Al-Azariqoh, semoga Allah melaknat Al-Azariqoh. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kami bahwa mereka dalah anjing-anjing neraka”. Aku berkata, “Apakah Al-Azariqoh saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzalimi manusia dan semana-mena terhadap mereka”. Beliau pun menarik tanganku dengan keras seraya berkata, “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah), hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah). Apabila penguasa mau mendengar nasihatmu, maka datangilah ia di rumahnya, lalu kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasihat darimu.  Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/382), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 6435) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 905), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 905]

4)      Dari Ziyad bin Kusaib Al-‘Adawi rahimahullah, ia berkata,

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرٍ يَخْطُبُ النَّاسَ عَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ مُرَجِّلٌ شَعْرَهُ قَالَ فَصَلَّى يَوْمًا ثُمَّ دَخَلَ قَالَ وَأَبُو بَكْرَةَ جَالِسٌ إِلَى جَنْبِ الْمِنْبَرِ فَقَالَ مِرْدَاسٌ أَبُو بِلاَلٍ : أَلاَ تَرَوْنَ إِلَى أَمِيرِ النَّاسِ وَسَيِّدِهِمْ يَلْبَسُ الرِّقَاقَ وَيَتَشَبَّهُ بِالْفُسَّاقِ فَسَمِعَهُ أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ لاِبْنِهِ الأُصَيْلِعِ ادْعُ لِى أَبَا بِلاَلٍ فَدَعَاهُ لَهُ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ أَمَا إِنِّى قَدْ سَمِعْتُ مَقَالَتَكَ لِلأَمِيرِ آنِفًا وَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ أَكْرَمَهُ اللَّهُ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ أَهَانَهُ اللَّهُ »

“Dahulu Abdullah bin ‘Amir menyampaikan khutbah kepada manusia dengan mengenakan pakaian tipis lagi tersisir rambutnya. Suatu hari beliau melakukan sholat, kemudian beliau masuk dan Abu Bakrah duduk di samping mimbar. Mirdas Abu Bilal berkata, “Tidakkah kalian melihat pemerintah dan pemimpin manusia yang mengenakan pakaian tipis dan menyerupai orang-orang fasik?”. Abu Bakrah mendengarkan ucapannya, lalu ia berkata kepada anaknya yang masih kecil,  “Panggilkan Abu Bilal”. Lalu ia pun memanggilnya. Abu Bakrah berkata kepadanya, “Sungguh aku telah mendengar ucapanmu terhadap amir (pemimpin) tadi, dan sungguh aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memuliakan sultan (penguasa) Allah, maka Allah akan memuliakannya, dan barangsiapa yang menghinakan sultan Allah, maka Allah akan menghinakannya.” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2224), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 1017-1018), dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (8/163-164), di-hasan-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2297]

5)      Dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu, ia berkata,

لاَ أُعِيْنُ عَلَى دَمِ خَلِيْفَةٍ أَبَداً بَعْدَ عُثْمَانَ. فَقِيْلَ لَهُ: يَا أَبَا مَعْبَدٍ! أَوَ أَعَنْتَ عَلَيْهِ؟ قَالَ: كُنْتُ أَعُدُّ ذِكْرَ مَسَاوِيْهِ عَوْناً عَلَى دَمِهِ.

“Aku tidak akan menolong dalam menumpahkan darah seorang khalifah selamanya setelah ‘Utsman (terbunuh). Lalu dikatakan kepadanya, Wahai Abu Ma’bad (sapaan Abdullah bin Ukaim, ed.-), apakah engkau terlibat?” Beliau berkata, “Sungguh aku menganggap bahwa menyebutkan kejelekan-kejelakannya adalah pertolongan atas tumpahnya darah beliau.” [HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot Al-Kubro (3/80) & (6/115) dan Ad-Dulabiy dalam Al-Kuna wal Asma’ (no. 384). Siyar A’laamin Nubala’, 3/512]

Jadi, andaikan hadits ‘Iyadh bin Ganm radhiyallahu’anhu dha’if sekalipun maka masih banyak riwayat dari sahabat yang melarang untuk menasihati penguasa secara terbuka, maka itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari manhaj para sahabat radhiyallahu’anhum.

Ketiga: Fatwa dan Nasihat Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,

فالنصح يكون بالأسلوب الحسن والكتابة المفيدة والمشافهة المفيدة , وليس من النصح التشهير بعيوب الناس , ولا بانتقاد الدولة على المنابر ونحوها , لكن النصح أن تسعى بكل ما يزيل الشر ويثبت الخير بالطرق الحكيمة وبالوسائل التي يرضاها الله عز وجل

“Nasihat hendaklah dengan cara yang baik, tulisan yang bermanfaat dan ucapan yang berfaidah. Bukanlah termasuk nasihat dengan cara menyebarkan aib-aib manusia, dan tidak pula mengeritik negara di mimbar-mimbar dan semisalnya. Akan tetapi nasihat itu engkau curahkan setiap yang bisa menghilangkan kejelekan dan mengokohkan kebaikan dengan cara-cara yang hikmah dan sarana-sarana yang diridhoi Allah ‘azza wa jalla.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 7/306]

Beliau –rahimahullah- juga berkata,

ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة , وذكر ذلك على المنابر; لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف , ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع , ولكن الطريقة المتبعة عند السلف : النصيحة فيما بينهم وبين السلطان , والكتابة إليه , أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير

“Bukan termasuk manhaj Salaf, menasihati dengan cara menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkannya di mimbar-mimbar, sebab yang demikian itu mengantarkan kepada kekacauan dan tidak mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf, dan mengantarkan kepada provokasi yang berbahaya dan tidak bermanfaat. Akan tetapi tempuhlah jalan yang telah dilalui oleh Salaf, yaitu nasihat antara mereka dan pemerintah (secara rahasia), dan menulis surat kepada penguasa, atau menghubungi ulama yang memiliki akses kepadanya, sehingga ia bisa diarahkan kepada kebaikan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 8/210]

Sangat banyak fatwa dan nasihat ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang melarang untuk menasihati pemerintah secara terbuka, semoga Allah ta’ala memberikan taufiq kepada Ustadz Ja’far untuk kembali kepada kebenaran dan bertaubat dari pemikiran Khawarij ini.

Syubhat Kedua: Sebagian Sahabat dan Tabi’in Mencerca Penguasa Secara Terbuka, Bahkan Memberontak

Ustadz Ja’far berkata, “Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya telah diriwayatkan perbuatan Shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang senior bernama Abu Said Al Khudri dan Abu Mas’ud Al Anshari yang keduanya mencerca di depan umum (yakni di depan jama’ah shalat hari raya di lapangan) terhadap  perbuatan gubernur Al Madinah An Nabawiyah yang bernama Marwan bin Al Hakam yang melaksanakan khutbah terlebih dahulu sebelum shalat ied (Shahih Al Bukhari hadits ke 956, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya hadits ke 889).” [hal. 32-33]

“Bagaimana mungkin sikap mencerca penguasa di depan umum itu dijadikan patokan untuk menilai pelakunya sebagai Khawarij, padahal terdapat kalangan Shahabat dan Tabi’in yang mencerca penguasa di depan umum dan bahkan memberontak kepada penguasa yang dianggap telah melakukan kekafiran yang nyata. Dari kalangan Shahabat dan Tabi’in itu antara lain ialah Abu Thufail Amir bin Watsilah Al Kinani yang memobilisasi kaum muslimin untuk memberontak kepada Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi dan mendukung pemberontakan Abdurrahman bin Al As’ats.” [hal. 33]

Tanggapan:

Pertama: Memahami Hadits Pengingkaran Salaf Secara Terbuka Terhadap Penguasa

Pengingkaran terhadap kemungkaran penguasa yang dilakukan Salaf secara terbuka hanyalah dilakukan langsung di depan penguasa tatkala kondisinya menuntut demikian. Adapun dalam tulisannya Ustadz Ja’far mengesankan pada semua kondisi, bahkan ia berdalih dengan pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian Salaf, sehingga ia mengesankan lebih umum lagi, yaitu mencakup pembolehan memberontak, dan dalam sejarahnya Ustadz Ja’far sendiri pernah melakukan demonstrasi terhadap penguasa.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

فأقول: أما المنكرات الشائعة فأنكرها، لكن كلامنا على الإنكار على الحاكم مثل أن يقوم الإنسان -مثلاً- في المسجد ويقول: الدولة ظلمت الدولة فعلت، فيتكلم في نفس الحكام، وهناك فرق بين أن يكون الأمير أو الحاكم الذي تريد أن تتكلم عليه بين يديك وبين أن يكون غائباً؛ لأن جميع الإنكارات الواردة عن السلف إنكارات حاصلة بين يدي الأمير أو الحاكم.

وهناك فرق بين كون الأمير حاضراً أو غائباً. الفرق أنه إذا كان حاضراً أمكنه أن يدافع عن نفسه، ويبين وجهة نظره، وقد يكون مصيباً ونحن مخطئون، لكن إذا كان غائباً وبدأنا نحن نفصل الثوب عليه على ما نريد هذا هو الذي فيه الخطورة، والذي ورد عن السلف كله في مقابلة الأمير أو الحاكم، ومعلوم أن الإنسان لو وقف يتكلم في شخص من الناس وليس من ولاة الأمور وذكره في غيبته، فسوف يقال: هذه غيبة، إذا كان فيك خير فصارحه وقابله

“Aku katakan, “Adapun mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang tersebar, maka lakukanlah. Akan tetapi pembicaraan kita tentang mengingkari penguasa, seperti seorang berdiri di masjid dan mengatakan, “Negara telah berlaku zalim, negara telah berlaku semena-mena!” Maka ia berbicara tentang para penguasa tersebut. Terdapat perbedaan, antara pemerintah atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu berada di depanmu dan tidak hadir di depanmu, karena seluruh pengingkaran yang diriwayatkan dari Salaf (yang dilakukan secara terbuka) itu dilakukan di depan pemerintah atau penguasa (secara langsung).

Terdapat perbedaan antara keadaan penguasa yang dinasihati itu hadir dan tidak hadir. Perbedaannya, jika ia hadir, maka memungkinkan baginya untuk membela dirinya dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir dan kita mulai merinci permasalahan sesuai apa yang kita inginkan, maka inilah yang berbahaya. Adapun yang diriwayatkan dari Salaf seluruhnya adalah di depan pemerintah atau penguasa (secara langsung). Dimaklumi bahwa andaikan seseorang berbicara tentang kesalahan orang tertentu di belakangnya, sedang ia bukan termasuk pemerintah, maka akan dikatakan, “Ini adalah ghibah”. Jika pada dirimu terdapat kebaikan, terus teranglah kepadanya dan temui dia.” [Lihat Liqo’ Baabil Maftuh, no. 62/13]

Kedua: Pemberontakan Hukumnya Haram dan Ulama Sepakat Atas Keharamannya

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7054) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1849) dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]

Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَة وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ

“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7052) dan Muslim dalam Shohih-nya  (no. 1843) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]

Beliau -shallallahu’alaihi wa sallam- juga bersabda,

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّة لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak meneladani petunjukku dan tidak mengamalkan sunnahku, dan akan muncul diantara mereka (para penguasa) orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam jasad manusia.” Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Engkau tetap dengar dan taat kepada pemimpin itu, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan taatlah.” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 1847)dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu’anhu-]

Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu berkata,

دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاه فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- menyeru kami, lalu kami pun membai’at beliau. Diantara sesuatu yang beliau ambil perjanjian (bai’at) atas kami adalah, kami membai’at beliau untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin, baik pada saat kami senang maupun susah; sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya (7055-7056) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 1709)]

Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu- berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجُلٌ سَأَلَهُ فَقَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَمْنَعُونَا حَقَّنَا وَيَسْأَلُونَا حَقَّهُم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Aku mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Apa pendapat anda jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” [HR. Muslim (1846) dan At-Tirmidzi (2199), Ash-Shahihah: 3176]

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi –rahimahullah- berkata,

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan bagi mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah]

Ulama besar Syafi’iyah, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

وأجمع أهل السنة أنه لا ينعزل السلطان بالفسق وأما الوجه المذكور في كتب الفقه لبعض أصحابنا أنه ينعزل وحكى عن المعتزلة أيضا فغلط من قائله مخالف للإجماع قال العلماء وسبب عدم انعزاله وتحريم الخروج عليه ما يترتب على ذلك من الفتن واراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل

“Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa tidak boleh seorang penguasa dilengserkan karena kefasikan (dosa besar) yang ia lakukan. Adapun pendapat yang disebutkan pada kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh sebagian sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa penguasa yang fasik harus dilengserkan dan pendapat ini juga dinukil dari kaum Mu’tazilah, maka telah salah besar. Orang yang berpendapat demikian menyelisihi ijma’.

Para ulama telah berkata, “Sebab tidak bolehnya penguasa zalim dilengserkan dan haramnya memberontak kepadanya karena akibat dari hal itu akan muncul berbagai macam fitnah (kekacauan), ditumpahkannya darah dan rusaknya hubungan, sehingga kerusakan dalam pencopotan penguasa zalim lebih banyak disbanding tetapnya ia sebagai penguasa”. Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak sah bagi orang kafir, dan jika seorang pemimpin menjadi kafir harus dicopot.” [Lihat Syarh Muslim, 12/229]

AI-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata,

وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء

“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik disbanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Lihat Fathul Bari, 13/7]

Ketiga: Memberontak dengan Kata dan Senjata adalah Ciri Khawarij

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

والقعدية قوم من الخوارج كانوا يقولون بقولهم ولا يرون الخروج بل يزينونه

“Al-Qo’adiyah adalah satu kaum dari golongan Khawarij yang dahulu berpendapat dengan ucapan mereka, dan mereka tidak memandang untuk memberontak, akan tetapi mereka memprovokasi untuk melakukannya (dengan kata-kata).” [Fathul Bari, 1/432]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

بل العجب أنه وُجّه الطعن إلى الرسول صلى الله عليه وسلم ، قيل لـه : اعدل، وقيل لـه: هذه قسمة ما أريد بها وجه الله. وهذا أكبر دليل على أن الخروج على الإمام يكون بالسيف ويكون بالقول والكلام، يعني: هذا ما أخذ السيف على الرسول صلى الله عليه وسلم، لكنه أنكر عليه.

ونحن نعلم علم اليقين بمقتضى طبيعة الحال أنه لا يمكن خروج بالسيف إلا وقد سبقه خروج باللسان والقول. الناس لا يمكن أن يأخذوا سيوفهم يحاربون الإمام بدون شيء يثيرهم، لا بد أن يكون هنـاك شيء يثـيرهم وهو الكلام. فيكون الخروج على الأئمة بالكلام خروجاً حقيقة، دلت عليه السنة ودل عليه الواقع

“Sangat mengherankan tatkala celaan  itu diarahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (yaitu yang dilakukan oleh pentolan Khawarij, Dzul Khuwaisiroh). Dikatakan kepada beliau, “Berlaku adillah!” Juga dikatakan,  “Pembagianmu ini tidak menginginkan wajah Allah!” Ini adalah sebesar-besarnya dalil yang menunjukkan bahwa memberontak kepada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa jadi pula dengan ucapan dan kata-kata. Maksudnya, orang ini tidaklah memerangi Rasul -shallallahu’alaihi wa sallam- dengan pedang, akan tetapi ia mengingkari beliau (dengan ucapan di depan umum).

Kita tahu dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan ucapan. Manusia tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa memprovokasi mereka, yaitu dengan kata-kata. Jadi, memberontak terhadap penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan dalil  As-Sunnah dan kenyataan.” [Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hal. 96]

Keempat: Membantah Syubhat Adanya Pemberontakan Sebagian Salaf

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه وسلم بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا كان الفعل فيه صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من فساده رجحوا فعله وإن كان فساده أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور وغيرهم فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى السيف فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي سلطان إلا كان ما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي مسلم صاحب الدعوة الذي خرد عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة والبصرة وأمثال هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا يكون لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا وكلاهما قتله أبو جعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث وابن المهلب وغيرهم فهزموا وهزم أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا يأمر بأمر لا يحصل به صلاح الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة

“Bahwa Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam- demi kemaslahatan para hamba di dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan bahwa beliau memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kerusakan. Apabila dalam satu perbuatan terdapat kebaikan dan kerusakan, hendaklah kaum muslimin mengambil mana yang paling kuat dari keduanya; jika kebaikannya lebih banyak daripada kerusakannya, hendaklah mereka melakukannya. Namun apabila kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya, hendaklah mereka meninggalkannya, karena sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk menghasilkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menghilangkan kemudaratan dan menguranginya.

Jika yang berkuasa dari kalangan khalifah (yang tidak lebih pantas) seperti Yazid, Abdul Malik, Al-Manshur dan selain mereka; bisa jadi dikatakan bahwa wajib mencopotnya dan memeranginya sampai ia lengser dan digantikan oleh yang lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang berpendapat bolehnya pemberontakan. Ini adalah pendapat yang rusak, karena sungguh kerusakannya lebih besar daripada kemaslahatannya.

Pada umumnya, tidaklah mereka memberontak kepada penguasa, kecuali timbul kejelekan yang lebih besar dibanding kebaikan, seperti mereka yang memberontak kepada Yazid di Madinah, pemberontakan Ibnul ‘Asy’ats terhadap Abdul Malik di Iraq, pemberontakan Ibnul Mulhab terhadap anaknya Abdul Malik di Khurasan, pemberontakan Abu Muslim yang menyerukan pemberontakan terhadap penguasa di Khurasan, juga pemberontakan terhadap Al-Manshur di Madinah dan Bashroh dan yang semisalnya. Pada akhirnya dua kemungkinan, mereka dikalahkan atau mereka menang, lalu berakhir kekuasaan pemerintah sebelumnya. Namun yang terjadi adalah tidak ada hasil yang baik bagi para pemberontak tersebut.

Abdullah bin Ali dan Abu Muslim yang melakukan pemberontakan dengan membunuh banyak orang, akhirnya keduanya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur. Adapun penduduk Al-Harah, Ibnul Asy’ats, Ibnul Mulhab dan selain mereka, akhirnya menderita kekalahan, demikian pula pasukan-pasukannya, sehingga mereka tidaklah menegakkan agama dan tidak pula menyisakan dunia. Padahal Allah -ta’ala- tidak memerintahkan suatu perkara yang tidak menghasilkan kebaikan bagi agama ataupun dunia, meskipun yang memberontak itu dari kalangan wali Allah yang bertakwa dan termasuk penduduk surga (perbuatan mereka tidak dapat dibenarkan).” [Lihat Minhaajus Sunnah, 4/313-315]

An-Nawawi rahimahullah berkata,

قال القاضي وقيل أن هذا الخلاف كان أولا ثم حصل الإجماع على منع الخروج عليهم والله اعلم

“Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata,  “Dikatakan bahwa khilaf ini terjadi dahulu, kemudian telah sepakat (ijma’ ulama) tentang dilarangnya pemberontakan, wallaahu a’lam.”[Syarah Muslim, 12/229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وقولهم كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على ائمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن استقر الامر على ترك ذلك لما رأوه قد افضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة ابن الاشعث وغيرهما عظة لمن تدبر

“Dan ucapan para Ulama, “(كان يرى السيف)”, maknaknya adalah, dia (Al-Hasan bin Shalih) berpendapat boleh memberontak dengan pedang terhadap penguasa yang zalim. Pendapat ini dahulu merupakan mazhab sebagian Salaf. Akan tetapi setelah itu, telah tetap pendapat Salaf tentang tidak bolehnya melakukan pemberontakan, karena mereka telah melihat bahwa pemberontakan hanya mengantarkan kepada kondisi yang lebih buruk. Pada peristiwa Al-Harah, pemberontakan Ibnul Asy’ats dan lainnya terdapat pelajaran bagi orang yang merenunginya.” [Lihat Tahzibut Tahzib, 2/250]

Ta’liq Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah[1]

  1. Penyebutan adanya khilaf Salaf sebelum terjadinya ijma’ dinilai tidak benar oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, bahkan ulama sejak dulu telah sepakat akan haramnya pemberontakan
  2. Adapun semua contoh pemberontakan Salaf pada hakikatnya bukan pemberontakan, seperti sahabat yang mulia Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu’anhuma, hakikatnya beliau tidak memberontak, sebab beliau adalah amir, pemerintah yang sah ketika itu
  3. Pintu ini jika dibuka akan menjadi syubhat bagi orang-orang yang ingin memberontak
  4. Andaikan kita sepakat bahwa ada sebagian Salaf yang memberontak maka setelah itu telah terjadi ijma’, maka tidak ada pintu lagi untuk berdalih dengannya.

Ta’liq Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah[2]

Selain itu, adanya sikap demikian dari sebagian sahabat dalam mengingkari pemerintah merupakan perkara yang bersifat kasuistik dan incidental, bukan menjadi manhaj mereka dalam kehidupan mereka. Karena itu, tidak setiap kali mereka menemukan kemungkaran yang muncul dari pemerintah, maka mereka mengeritiknya di depan publik. Mereka melakukannya karena hajat yang mendesak pada saat itu.

Adapun adanya sebagian kecil salaf yang melakukan pemberontakan, maka para sahabat dan salaf telah mengingkarinya, karena bertentangan dengan manhaj yang mereka terima dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Selain itu, diantara mereka ada yang telah bertobat dan rujuk. Semua ini menunjukkan bahwa pemberontakan bukanlah manhaj yang mereka bolehkan. Wallahu A’lam.

Manhaj yang agung di sisi mereka adalah senantiasa menaati, memuliakan, membantu dan mendoakan kebaikan bagi para pemerintah, serta memberikan nasihat yang lembut lagi rahasia, tidak dipublikasikan.

Manhaj yang agung ini, terpancar jelas dari lentera Al-Kitab dan Sunnah menurut bimbingan para salaf sholih. Oleh karena itu, tak layak bagi kaum Khawarij untuk berpegang dengan sikap sebagian sahabat (seperti, Abu Sa’id Al-Khudriy) tersebut yang sifatnya masih mutasyabih dan memiliki banyak ihtimal (kemungkinan), lalu dalam waktu yang sama mereka (kaum Khawarij) meninggalkan dan membuang semua nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat muhkam (jelas) dalam melarang memberontak dan melawan pemerintah atau menghinakannya. Ini adalah jalannya orang-orang yang sesat.

Allah -Ta’ala- berfirman,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ [آل عمران : 7]

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat(terang), itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat  darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya”. (QS. Ali Imraan : 7)



[1] Disampaikan secara lisan, dan tulisannya dari kami secara makna

[2] Disampaikan secara tertulis, dan bagian akhir artikel ini seluruhnya dari beliau hafizhahullah

1 KOMENTAR

  1. Jazakallahu khairan ustadz atas pencerahannya, smoga ustadz tetap kritis kepada mereka penyeru kebatilan dan pembuat syubhat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini