Mengkritisi Pemahaman “Islam” Liberal (Menyingkap Akar Kerancuan Pemikiran Irshad Manji)

29
2345

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Liberal, yang bermakna bebas, adalah sebuah kata yang sebetulnya tidak cocok disandarkan kepada Islam, sebab Islam itu sendiri bermakna tunduk dan patuh kepada Allah tabaraka wa ta’ala, berserah diri kepada-Nya, yang berarti tidak bebas melakukan berbagai hal dalam kehidupan ini tanpa terikat dengan ketentuan-ketentuan sang pencipta; Allah Rabbul’alamin.

Jika dinalar dengan logika yang sehat pun, makna Islam seperti di atas maka insya Allah sama sekali tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat, sebab akal yang sehat dapat memahami bahwa manusia dan seluruh alam ini adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dan selalu butuh kepada-Nya, maka sudah sepatutnya seluruh makhluk tidak menyombongkan diri dengan menolak ketentuan-ketentuan sang pencipta; Allah jalla wa ‘ala.

Akan tetapi, jika akal manusia telah rusak, baik sadar maupun tidak sadar, maka logika di atas dapat terbalik seratus delapan puluh derajat. Namun itulah yang terjadi apabila seseorang menganut paham liberal, bebas tak terikat dengan ketentuan-ketentuan apapun juga. Menariknya, kebanyakan pelopor paham liberal adalah orang-orang yang pernah belajar “islam” di dunia barat yang notabene didominasi oleh non muslim, sehingga “wajar” jika kemudian pandangan-pandangan mereka selalu tidak ingin terikat dengan Islam.

Sebagai bukti, mereka yang berpaham liberal pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa (sepanjang yang kami teliti, dua poin berikut adalah pangkal kekafiran mereka):

  • Tidak ada yang bisa mengklaim bahwa Allah ta’ala, yang disembah oleh umat Islam, sebagai satu-satunya yang layak disembah sedangkan yang lain salah.
  • Semua agama sama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Tidak boleh seorang pun mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah.

Dari sini tercabang semua pandangan mereka yang menolak ajaran-ajaran Islam, diantaranya:

  1. Penolakan terhadap ketentuan waris laki-laki mendapat dua bagian wanita
  2. Imam sholat harus laki-laki
  3. Jihad terhadap orang-orang kafir
  4. Penyesatan kelompok-kelompok yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah
  5. Hukum-hukum hudud
  6. Tidak syahnya pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
  7. Tidak boleh saling mewarisi dengan non muslim
  8. Hingga penolakan mereka terhadap pengharaman free sex dan hubungan sejenis atau LBGT (lesbian, gay, bisexual dan transgender) yang akhir-akhir ini semakin mencuat, khususnya setelah kedatangan salah satu tokoh mereka yang lesbi; Irshad Manji.

Yang menarik dicermati adalah, meskipun mereka telah mengetahui dalil-dalil agama, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan ijma’ (kesepakatan) seluruh ulama bahwa, “Tidak ada yang berhak di sembah selain Allah ta’ala, dan semua yang disembah manusia selain-Nya adalah salah” dan “Tidak ada agama yang benar selain Islam, sedangkan semua agama selain Islam tidak syah dalam pandangan Allah ta’ala,” tetapi dengan mudahnya mereka menolak seluruh dalil-dalil agama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Diantara bentuk penolakan secara langsung adalah seperti pandangan mereka bahwa dalil-dalil agama tersebut sudah tidak otentik lagi, namun anehnya, untuk mendukung hal ini mereka tidak segan-segan menggunakan dalil-dalil agama. Dan lebih aneh lagi, ketika berargumentasi dengan dalil-dalil agama tersebut mereka tidak peduli apakah dalil yang mereka gunakan itu adalah sebuah ayat yang hukumnya sudah mansukh bahkan hadits maudhu’ (palsu) sekalipun.

Dan saya berkeyakinan hal itu terjadi karena mereka memang tidak memiliki “perangkat ilmu” untuk dapat mengenali nasikh dan mansukh, serta membedakan antara hadits maqbul (layak diterima) dan mardud (tidak layak diterima karena lemah atau palsu). Tidak adanya perangkat ilmu ini diperparah dengan telah adanya “asumsi awal” yang berusaha tetap dipertahankan tanpa peduli bahwa hal itu salah atau benar, sehingga yang terjadi adalah mencari “pembenaran” bukan “kebenaran”. Inilah yang dikenal dengan istilah ta’asshub (fanatisme), sadar maupun tidak, adanya metodelogi mencari pembenaran ini menunjukkan bahwa sifat fanatisme ini ada pada diri mereka.

Apabila kita kembali menengok ke belakang, di awal penciptaan manusia, sesungguhnya metode mencari “pembenaran” inilah yang digunakan iblis ketika menentang ketetapan Allah tabaraka wa ta’ala. Iblis sudah memiliki “asumsi awal” bahwa dialah yang lebih mulia dari Nabi Adam ‘alaihissalam, pada akhirnya diapun mencari pembenaran dengan berusaha memutar otaknya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa memang dialah yang lebih mulia dengan alasan dia tercipta dari api sedang manusia dari tanah. Dengan modal pendalilan yang lemah inilah iblis berani menentang perintah Allah tabaraka wa ta’ala, dan hasilnya diapun dimurkai dan diusir dari surga.

Penggunaan dalil-dalil agama meskipun hadits palsu inilah yang ditempuh oleh Salman Rushdie dalam “Ayat-ayat Setannya” dan diikuti begitu saja oleh Irshad Manji dalam “Beriman Tanpa Rasa Takut” (edisi terjemahan). Anehnya, Manji dalam beberapa pernyataannya selalu menyerukan agar bersikap kritis terhadap dalil-dalil agama, tidak begitu saja menerimanya, namun ternyata dia sendiri tidak mampu bersikap kritis terhadap Rushdie dan terhadap hadits palsu yang dia jadikan untuk mendukung pemikirannya. Perhatikan ucapannya berikut ini dalam mengkritisi keotentikan Al-Qur’anul Karim,

“Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian  mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (Beriman Tanpa Rasa Takut, hal. 96-97).[1] 

Walaupun sebagian ulama Islam ada yang mencantumkan hadits tentang kisah “ayat-ayat setan” tersebut pada sebagian karya-karya mereka, akan tetapi kita diajarkan untuk bersikap kritis terhadap pendapat manusia selain Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, prinsip ilmiahnya adalah seperti ucapan Al-Imam Malik rahimahullah, “Semua perkataan bisa diterima dan bisa ditolak kecuali ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam” terlebih ucapan Allah tabaraka wa ta’ala.

Kisah di atas diriwayatkan tidak kurang dari 10 riwayat namun semuanya riwayat mursal (terputus sanadnya) tidak ada yang maushul (sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam) sehingga tidak dapat saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu para ulama ahli hadits yang terkenal dengan ketelitian dalam meriwayatkan hadits tidak seorangpun meriwayatkan hadits ini, seperti para penyusun Kutubus Sittah; Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasai tidak sedikitpun meriwayatkan kisah di atas. Bahkan Al-Qodhi ‘Iyadh telah menukil kesepakatan (ijma’) ulama akan batilnya matan kisah tersebut (lihat Asy-Syifa, 2/126).

Demikian pula para ulama muhaqqiqin telah meneliti dan menjelaskan kepalsuan kisah ini seperti Al-Imam Al-Mufassir Al-Qurthubi dalam Ahkamul Qur’an (12/80-84), Al-Kirmani, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Al-Fath (8/498), Al-‘Aini dalam Umdatul Qori (9/47) dan Asy-Syaukani dalam Fathul Qodir (3/247-248), bagi siapa yang ingin melihat penjelasan ilmiah atas kepalsuan kisah ini secara lebih detail silakan membaca penjelasan Al-Muhaddits Al-Albani dalam sebuah buku khusus mengkritik kisah tersebut secara sanad dan matan yang berjudul, “Nashbul Majaaniq li Nasfi Qisshotil Gharaaniq.” 

MENCARI AKAR PENYIMPANGAN

Telah dimaklumi bersama bahwa untuk mengobati suatu penyakit, yang terbaik adalah dimulai dengan menghilangkan sebab munculnya penyakit tersebut. Maka sejauh yang bisa kami teliti, diantara sebab penyimpangan para penganut liberal ini adalah kerancuan berpikir (syubhat) yang ada di kepala mereka, diantaranya kerancuan berpikir mereka bahwa,

“Manusia tidak dapat mengenali hakikat kebenaran yang sejati, yang tahu hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga manusia tidak dapat meyakini ajaran yang Allah ta’ala turunkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai satu-satunya yang benar, sedangkan yang lain salah.”

Dan kadang-kadang, kerancuan berpikir mereka ini dibungkus dengan kata-kata indah seakan-akan dalam rangka memuliakan Allah ta’ala dan menempatkan kedudukan manusia sesuai kedudukannya, namun hakikat di balik itu adalah sebaliknya, yaitu menuhankan (akal) manusia dan merendahkan Allah ‘azza wa jalla. Perhatikan ucapan Irshad Manji dalam wawancara yang diterbitkan di web resmi kaum liberal berikut ini ketika dia menolak pelarangan terhadap Ahmadiyah,

“Melarang mereka (Ahmadiyah, pen) adalah suatu bentuk kesombongan kalangan Muslim mainstream yang mengambil alih peran Tuhan. Jika kita meyakini ada kebenaran final dan hanya Tuhan yang berhak menghukum orang yang tidak beriman atau memberi pahala pada mereka yang beriman, lalu siapakah kita ini sehingga menganggap orang lain tidak beriman?”

Juga ucapan Manji dalam bukunya “Beriman Tanpa Rasa Takut”:

“Setelah begitu banyak mengeksplorasi, interpretasi pribadiku atas Al-Qur’an telah menuntunku ke arah tiga pesan yang berulang kali muncul. Pertama, hanya Tuhan yang sepenuhnya tahu kebenaran atas segala sesuatu. Kedua, hanya Tuhan saja yang dapat menghukum kaum yang tidak percaya, sesuatu yang masuk akal, karena hanya Tuhan yang tahu apa itu keyakinan yang sesungguhnya…”[2]

[Cetak tebal dari kami]

Perhatikan juga ucapan salah seorang “pembesar” mereka di web resmi kelompok liberal berikut ini,

“Saya meyakini bahwa Allah Yang Esa dan Yang Mutlak tak mungkin dijelaskan oleh manusia yang relatif. Karena itu, diperlukan kerendah-hatian dari setiap manusia untuk tak mengabsolutkan konsep ketuhanannya. Kita mesti belajar untuk tak jadi manusia yang menganggap diri selalu benar. Amat berbahaya sekiranya setiap orang mengklaim bahwa rumus ketuhanan versi dirinya adalah yang paling benar. Itu bukan hanya menunjukkan kepongahan si perumus, melainkan juga telah mengecilkan kebesaran Allah yang tak berhingga itu…”

[Cetak tebal dari kami]

MELURURSKAN KERANCUAN

Ucapan di atas jika dilihat sekilas nampak benar,[3] dan seakan-akan yang mereka inginkan dari pemikiran tersebut adalah memuliakan Allah ta’ala, akan tetapi maksud yang sebenarnya adalah, “Janganlah Anda yakini ajaran atau agama (Islam) Anda yang paling benar sedang yang lain salah, Anda tidak mampu memahami kebenaran yang hakiki, sehingga semua agama benar menurut keyakinan masing-masing maka tidak boleh saling menyalahkan, hal itu karena Anda tidak mampu memahami ucapan Allah ta’ala, hanya Allah ta’ala sendiri yang mampu mengetahui kebenaran.” Maka intinya, mereka menganggap semua agama benar, inilah makna ucapan Manji di atas.

Adapun yang dimaksudkan dalam ucapan sang “pembesar” di atas adalah, ”Jangan Anda yakini Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan sedangkan yang lain salah sebagaimana makna kalimat Laa ilaaha illallah sebab Anda tidak bisa memahami makna Laa ilaaha illallah sebagaimana yang Allah ta’ala inginkan.” Maka intinya, tidak boleh menyalahkan agama lain yang menyembah selain Allah ta’ala.

Tidak diragukan lagi keyakinan di atas adalah kekafiran yang menyebabkan orang yang meyakininya murtad, keluar dari Islam. Untuk meluruskannya maka kami jawab dari beberapa sisi:

Pertama: Allah ta’ala sendiri telah menetapkan bahwa Dialah sesembahan yang benar, sesembahan selain-Nya adalah salah. Sebagaimana firman-Nya:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya dialah Allah (sesembahan) yang benar, adapun yang mereka sembah selain-Nya adalah salah, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Al-Hajj: 62]

Ayat ini telah sangat jelas sekali, tidak membutuhkan penafsiran dengan akal manusia, tetapi hendaklah gunakan akal yang sehat untuk memahami dan menerima ayat ini. Jelas sekali ayat ini menujukkan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar, selain-Nya adalah salah.

Berikut kami sebutkan bukti-bukti ilmiah dari wahyu dan akal yang sehat, yang mendukung bahwa makna ayat di atas adalah sesuai zhahirnya, tidak lagi membutuhkan penafsiran dari akal manusia yang terbatas.

Manusia meyakini bahwa Allah ta’ala yang telah menciptakan mereka, maka akal yang sehat dapat memahami bahwa sudah sepatutnya hanya Allah ta’ala yang layak disembah. Sehingga Allah tabaraka wa ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firmannya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [Al-Baqorah: 21]

Oleh karena itu Allah ta’ala mencela sesembahan-sesembahan selain-Nya yang tidak sedikitpun mampu menciptakan sesuatu. Sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لاَّ يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka (orang-orang yang menyekutukan Allah ta’ala) tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj: 73-74]

Demikian pula jika Anda membaca pengabaran dari Allah ta’ala tentang ucapan orang-orang kafir ketika mereka menolak untuk menjadikan Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan, maka logika yang sehat akan dapat memahami bahwa siapa yang menolak ketetapan tersebut berarti dia tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir yang menentang dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Apakah dia (Muhammad) menjadikan yang disembah adalah sesembahan yang satu saja, sesungguhnya ini adalah sesuatu yang sangat aneh.” [Shod: 5]

Oleh karena itu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dosa yang paling besar adalah perbuatan syirik. Sebagaimana dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah ta’ala suatu tandingan/sekutu padahal Dia yang menciptakanmu.” Aku berkata, “Sesungguhnya hal itu benar-benar dosa besar. Kemudian apa lagi?” Beliau bersabda,  “Engkau membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.” Aku berkata, “Kemudian apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][4]

Dan subhanallah, seorang mukmin yang akalnya sehat dan fitrahnya lurus juga meyakini, bahwa Allah ta’ala tidak sekedar sebagai Penciptanya, bahkan dia senantiasa butuh kepada Allah ta’ala untuk dapat bertahan hidup di dunia ini, maka kesombongan mana lagi yang lebih besar dibanding orang yang menolak ketentuan Allah ta’ala untuk manusia, yaitu mengesakan-Nya dalam ibadah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga.

Sehingga Allah ta’ala mengecam orang-orang yang menjadikan selain-Nya sebagai sesembahan yang sedikitpun tidak mampu memberikan manfaat ataupun mudarat kepada mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya:

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ

“Dia berkata, ‘Apakah kalian beribadah kepada selain Allah yang tidak sedikitpun mampu memberikan manfaat dan mudarat kepada kalian’.” [Al-Anbiya’: 66]

Juga firman-Nya:

قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً

“Katakanlah, ‘Serulah yang kalian sangka sebagai sesembahan selain-Nya, maka mereka tidak sedikitpun mampu menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya’.” [Al-Isra’: 56]

Maka inilah hakikat kesombongan manusia, dia butuh kepada Allah ta’ala namun dia tidak menjadikan-Nya sebagai satu-satunya sesembahan sebagaimana ketentuan-Nya, namun dengan permainan kata-katanya Manji mampu membalikkan fakta bahwa kesombongan adalah ketika seorang meyakini kebenaran apa yang telah Allah ta’ala tetapkan dengan alasan manusia tidak mampu memahami kebenaran tersebut.

Sebagai jawaban kepada Manji, berikut ini adalah sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang menjelaskan kepada kita hakikat kesombongan,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada kesombongan meskipun hanya sebesar biji dzarrah,” seseorang berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang ingin pakaian dan sandalnya bagus,” Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan, “Seseungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, (kesombongan bukanlah itu) tetapi kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia.” [HR. Muslim][5]

Maka silakan Anda gunakan akal sehat Anda, apakah masuk akal jika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang menolak kebenaran adalah orang yang sombong dan dia tidak akan masuk surga padahal dia tidak dapat mengenali kebenaran tersebut!?

Apakah orang yang berakal sehat dapat menerima sesuatu sebagai kebenaran sementara dia tidak mampu mengenalinya dan tidak meyakini hal itu sebagai kebenaran yang hakiki!?

Kedua: Uraian di atas dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dipahami oleh akal manusia tanpa membutuhkan penafsiran yang rumit sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada agama yang benar di muka bumi ini selain Islam. Sebab hanya Islam satu-satunya agama yang mengajarkan tauhid dan melarang syirik. Oleh karena itu Allah ta’ala menegaskan:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” [Ali Imron: 19]

Juga penegasan Allah jalla wa ‘ala:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين

“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama baginya maka sekali-kali tidak akan diterima dari padanya dan dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali Imron: 85]

Mungkin Anda dapat mengatakan bahwa yang dimaksud Islam dalam ayat di atas adalah berserah diri kepada Allah ta’ala sehingga bisa jadi maknanya termasuk Yahudi dan Nasrani jika mereka juga berserah diri kepada Allah ta’ala. Maka kami katakan, akal sehat memahami bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang lebih memahami Al-Qur’an dibanding manusia yang lainnya, sebab beliau diajari Al-Qur’an secara langsung oleh Allah ta’ala melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihissalam yang terpercaya, yang hanya menyampaikan sesuai perintah Allah ta’ala kepadanya.

Dalam hadits berikut terdapat penjelasan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa siapapun termasuk Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman dengan risalah Islam yang beliau bawa maka dia akan termasuk penghuni neraka,

وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentang aku, baik Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati sebelum beriman dengan risalah yang aku diutus membawanya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” [HR. Muslim][6]

Ketiga: Pandangan liberal bahwa manusia tidak dapat mengetahui kebenaran adalah tidak masuk akal, sebab jika demikian adanya maka tidak perlu Allah ta’ala menurunkan wahyu-Nya sebagai kebenaran jika memang tidak dapat diketahui. Pandangan tersebut juga sama saja dengan melecehkan tugas para Rasul ‘alaihimussalam untuk menyampaikan kebenaran, karena percuma, ternyata kebenaran yang disampaikan para Rasul tersebut tidak dapat diketahui oleh manusia.

Allah ta’ala menegaskan bahwa wahyu yang diturunkannya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam itulah kebenaran:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ

“Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada wahyu yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah kebenaran dari Rabb mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” [Muhammad: 2]

Dalam ayat yang mulia ini juga, Allah ta’ala berjanji kepada orang-orang yang beriman dengan kebenaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam bahwa akan dihapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan diperbaiki keadaan mereka. Maka apakah ini hanyalah sebuah janji kosong belaka sebab ternyata manusia tidak mampu mengetahui kebenaran tersebut!? Mungkinkah manusia mengimani sesuatu yang tidak mungkin dia ketahui!?

Keempat: Allah ta’ala telah mengabarkan kepada kita hakikat sesungguhnya bahwa sebetulnya manusia mampu mengenal kebenaran yang hakiki, bahkan oleh orang-orang kafir sekalipun, hanya saja sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran tersebut. Sebagaimana firman-Nya:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Nabi Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [Al-Baqorah: 146-147]

Dalam ayat yang mulia ini Allah ta’ala dengan jelas sekali mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengetahui kebenaran, sebab dahulu Allah ta’ala telah menurunkan Taurat dan Injil yang telah mengabarkan kepada mereka akan kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima setelah diutusnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Akan tetapi sebagaimana kata Allah jalla wa ‘ala, mereka menyembunyikan kebenaran tersebut. Walaupun begitu nampaknya mereka masih lebih baik dari orang-orang liberal yang sama sekali tidak mampu mengenal kebenaran dan menganggap manusia seluruhnya seperti mereka.

Dalam ayat yang mulia ini juga terdapat perintah Allah ta’ala agar kita tidak meragukan kebenaran yang berasal dari-Nya, maka apakah mungkin kita tidak meragukan sesuatu yang tidak mungkin kita kenali dengan baik!?

Kelima: Sesungguhnya kerancuan liberal bahwa tidak boleh menyalahkan ajaran agama apapun yang dipahami oleh setiap orang adalah sesuatu yang tidak masuk akal, sebab hal itu tidak mungkin diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Karena jika mereka jujur mengaplikasikannya maka pertama sekali yang melanggar kerancuan ini adalah mereka sendiri, sebab konsekuensinya mereka tidak boleh menyalahkan siapapun termasuk kaum muslimin yang menyalahkan mereka bahkan mengkafirkan mereka, toh mereka sendiri juga tidak peduli jika mati sebagai muslim ataupun kafir sama saja bagi mereka.

Namun ternyata dedengkot mereka, sebagaimana dalam web pribadinya, menyatakan kejengkelannya ketika ditanya, “Anda agamanya apa?” dan “Anda Muslim bukan?” Padahal seharusnya, sebelum dia jengkel dan menegur penanya dengan sebuah artikel khusus, adalah mengoreksi dirinya terlebih dahulu, “Mengapa Anda sampai ditanya demikian? Mengapa pula Anda harus jengkel? Bukankah Anda yang mengajarkan untuk tidak saling menyalahkan? Mengapa Anda jengkel ketika orang lain menyalahkan Anda!?”

Demikian pula, kaum liberal tidak boleh mengklaim bahwa keyakinan liberal itu sebagai kebenaran, sebab konsekuensinya akan menyalahkan keyakinan orang lain yang meyakini pemikiran liberal itu salah. Dan juga akan berbenturan dengan keyakinan mereka sendiri bahwa manusia tidak mampu mengenali kebenaran, berarti pemahaman liberal bukan pemahaman yang benar sebab dia adalah hasil dari usaha manusia. Oleh karena itu ucapan Manji di atas lebih tepat diarahkan kepadanya,

“Melarang mereka (Ahmadiyah, pen) adalah suatu bentuk kesombongan kalangan Muslim mainstream yang mengambil alih peran Tuhan…”

Maka Anda pun tidak boleh melarang orang-orang yang menyalahkan Ahmadiyah ataupun menyalahkan orang yang menyalahkan Anda. Jika Anda masih melakukannya berarti Anda telah melakukan suatu bentuk kesombongan.

Alhamdulillah, ini yang bisa kami tulis, semoga dengan membaca dalil-dalil agama dan logika-logika ini mereka dapat tersadar dari penyimpangan-penyimpangannya dan kaum muslimin terselamatkan dari kerancuan-kerancuan pemikiran mereka. Allahumma amiin.


[1] Dikutip melalui perantara sebuah web berpemahaman Khawarij, sehingga saya tidak mencantumkan alamatnya, karena khawatir menjadi ta’awun menyebarkan web menyimpang tersebut. Dan sebagai peringatan kepada sebagian Ikhwan yang insya Allah termasuk Ahlus Sunnah, “Takutlah kepada Allah ta’ala dari turut andil menyebarkan web-web berpahaman Khawarij seperti Voa-Khawarij, Era-Ikhwani, Tidak-Rahmah, dll. Janganlah engkau tertipu dengan permusuhan mereka terhadap Liberal dan Syi’ah sehingga engkau tidak waspada dengan pemahaman Khawarij yang ada pada mereka.”

[2] Dinukil dari status FB seorang Kiai Liberal pendukung Manji

[3] Jika diperhatikan syubhat mereka ini semisal atau bahkan lebih dahsyat dari syubhat yang dibantah oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah Al-Ushulus Sittah keenam.

[4] HR. Al-Bukhari no. 4477 dan Muslim no. 267 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.

[5] HR. Muslim, no. 275 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.

[6] HR. Muslim, no, 403 dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

29 KOMENTAR

  1. serius amat nih tulisan… kesannya ngajakin perang udah deh…. coba saling “tidak mengkafirkan”, toh sama-sama menyembah Allah. Ane bukan aliran liberal apalagi radikal. Yang saya paham cuma, “Sesama kaum beriman adalah saudara.” Mohon jangan tafsiri mereka tidak beriman. Karena iman pusatnya ada di hati.

    • بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

      Justru tulisan ini ingin menyadarkan mereka dari kekafiran dan mengingatkan kaum muslimin agar jangan sampai mengikuti kekafiran mereka. Adapun ucapan Anda, “toh sama-sama menyembah Allah” dan “sesama kaum beriman” maka kami katakan:

      Pertama: Jika memang kita bersaudara dan sama-sama menyembah Allah ta’ala, sudah sepatutnya untuk saling mengingatkan.

      Kedua: Apa sih yang dimaksud menyembah Allah ta’ala dan beriman kepada-Nya? Seorang muslim tentu memahami bahwa yang dimaksud adalah mentauhidkan Allah ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga, yakni meyakini kalimat Laa ilaaha illallah, yaitu tidak ada satu pun yang berhak disembah selain Allah ta’ala, adapun semua sesembahan selain-Nya adalah salah.

      Oleh karena itu seluruh makna ibadah atau menyembah dalam Al-Qur’an adalah tauhid. Sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (yang mempelajari tafsir Al-Qur’an dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) berkata,

      كل ما ورد في القرآن من العبادة فمعناها التوحيد

      “Semua kata ibadah yang disebutkan dalam Al-Qur’an maksudnya adalah tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam ibadah).” [Tafsir Al-Baghawi, 1/71]

      Demikian pula yang dimaksud dengan beriman, yaitu iman yang tidak dicampuri dengan kesyirikan sedikitpun, sebagaimana firman Allah ta’ala:

      الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

      “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan hidayah.” [Al-An’am: 82]

      Kezaliman dalam ayat di atas adalah kesyirikan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

      عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لاِبْنِهِ {يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

      “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, ‘Ketika turun firman Allah ta’ala, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman,” kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, siapa diantara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri?’ Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Kezaliman yang dimaksud tidak seperti yang kalian katakan, tetapi “…dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman,” maksudnya dengan kesyirikan, tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada anaknya, “Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang besar”.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

      Kesimpulannya, mereka tidak benar-benar menyembah Allah ta’ala, tidak juga beriman kepada-Nya, sebab mereka masih membolehkan kesyirikan, karena prinsip mereka tidak boleh menyalahkan siapa pun meskipun perbuatan syirik dan kekafiran.

      • hmh.. kalau memang hendak mengingatkan seseorang, silahkan secara personal… itu menjadi urusan yg mengingatkan dengan yg diingatkan. kalau anda bermaksud mengingatkan banyak orang, tentunya anda sudah seharusnya lebih tahu bagaimana menyampaikannya. jangan sampai seperti saya yang sekarang memilih mengatakan ‘Anda sombong ya dengan ilmu anda’.

        • بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

          1. Yang kita ingatkan di sini adalah kepada semua orang, secara khusus kepada para penganut paham liberal dan lebih khusus lagi kepada Irshad Manji dan para pengagumnya, dan secara umum yang tidak kalah pentingnya adalah kepada kaum muslimin agar tidak terpengaruh dengan kesesatan Irshad Manji dan paham liberal yang diusungnya.

          2. Benar bahwa hukum asalnya jika seseorang bersalah maka hendaklah kita ingatkan secara pribadi, kecuali jika ada maslahat yang lebih besar jika diingatkan secara terbuka. Diantara bentuknya adalah, mengingatkan kaum muslimin dari orang-orang sesat jangan sampai terpengaruh, terlebih jika kesesatannya itu dilakukan secara terang-terangan. Oleh karena itu dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (ulama besar Syafi’iyah yang menjadi mazhab kaum muslimin di Indonesia) menyebutkan bab haramnya ghibah dan perintah menjaga lisan (باب تحريم الغيبة والأمر بحفظ اللسان), dan setelah itu bab ghibah yang dibolehkan (باب مَا يباح من الغيبة).

          Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan diantara ghibah yang dibolehkan adalah:

          تَحْذِيرُ المُسْلِمينَ مِنَ الشَّرِّ وَنَصِيحَتُهُمْ

          “Mengingatkan manusia dari keburukan dan menasihati mereka.” Maka dalam keadaan seperti ini boleh mengingatkan kesalahan seseorang secara terbuka apabila dalam rangka mengingatkan dan menasihati kaum muslimin dari kesesatan orang tersebut. Oleh karena itu jika saya diam, Andapun diam, maka kapan kaum muslimin mengetahui kesesatannya untuk kemudian waspada darinya!?

          3. Adapun ucapan Anda, ‘Anda sombong ya dengan ilmu anda,’ maka saya anggap hal itu karena Anda belum mengerti beberapa hal berikut ini:

          Pertama: Bahayanya kesesatan “Islam” liberal, diantaranya: tersebarnya kesyirikan, perzinahan, bahkan homoseksual dan lesbianisme yang dapat mengundang kemurkaan Allah ta’ala.

          Kedua: Pentingnya mengingatkan kaum muslimin akan bahayanya, dan ini termasuk dalam kewajiban dakwah; amar ma’ruf dan nahi munkar.

          Dua poin ini diantara alasan-alasan munculnya tulisan ini, maka dari sisi mana dapat dikatakan sombong!?

          Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepadaku dan kepadamu.

  2. Bismillah, Afwan ust ana ada kirim artikel d gmail nya ustadz, ana mohon jawabnnya, Sebelumnya jazakumullahu khairan

  3. Baarokallaahufiikum… alhamdulillah, semoga Allah Subhanahu WaTa’ala membalas tulisan ustadz ini dengan pahala yang banyak, dengan sebab tulisan ini memberi hidayah bagi kaum muslimin yang masih menyimpang/jahil tentang aqidahnya, menghinakan dan membinasakan semua kaum yang bermaksud merusak agama islam.

  4. Bismillahirrahmanirrahiim,
    Jazakallah khairan wa Barakallahufiik yaa Ustadz,
    semoga Allah berikan hidayah kepada pengagum dan penganut keyakinan LIBERAL utk bertobat dengan sebenar benar tobat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    • Alhamdulillah, silakan bagi seluruh kaum muslimin yang mau share artikel ini, jazaakumullahu khairon.

      Adapun dari sisi kelengkapan bahasannya, sebetulnya masih banyak yang perlu dibahas (terutama dalam cabang-cabang permasalahannya) dan sisi-sisi bantahan yang belum ana sebutkan, akan tetapi karena khawatir kepanjangan maka semoga bisa dibahas pada kesempatan yang lain insya Allah ta’ala.

  5. (IRSHAD MANJI BOOKS) BERIMAN TANPA RASA TAKUT : “…tidak boleh menyalahkan agama lain yang menyembah selain Allah ta’ala” | Mengkritisi Pemahaman “Islam” Liberal (Menyingkap Akar Kerancuan Pemikiran Irshad Manji) « ‎ ‎طب (IRSHAD MANJI BOOKS) BERIMAN TANPA RASA TAKUT : “…tidak boleh menyalahkan agama lain yang menyembah selain Allah ta’ala” | Mengkritisi Pemahaman “Islam” Liberal (Menyingkap Akar Kerancuan Pemikiran Irshad Manji) « ‎ ‎طب

    […] : http://nasihatonline.wordpress.com/2012/05/08/mengkritisi-pemahaman-islam-liberal-menyingkap-akar-ke… Bantu menyebar amalan :Like this:LikeBe the first to like this […]

  6. syukran ustadz,,catatan ini sangat manfaat,,tadinya..ana tak begitu faham,,apa itu liberal,,semoga kita tak mudah tertipu,,dengan ajaran yg kelihatannya baik,,tapi menyesatkan

  7. […] perilaku lesbiannya. Untuk masalah membantah dan menanggapi tulisan dari buku Irshad Manji ini sudah ada seorang ustadz yang membahasnya dan saya kira pembahasannya cukup lugas dan sangat jelas. Yang ingin saya bahas adalah generalisasi […]

  8. Alhamdulillah….ketemu juga bahasan serius yang cukup dalam untuk membentengi diri dari kerusakan serius faham liberal….. Semoga Allah SWT (subhanahu wa ta’ala) memberikah rahmat dan barakah pada penulis dan membimbing kita selalu dalam naungan Islam menurut hadis n alquran…aamiin, jazakallahukhairan

  9. Alhamdullilah…………..harus semakin banyak ulasan yg membahas secara detail seperti ini……….semoga kita terbuka mata hati dan pikiran, untuk mencari kebenaran dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Amiin Yaa Rabbal ‘Alaamiin

  10. BISMILLAH, ASSALAMU`ALAIKUM WARRAHMATULLAHI WABAARAKATUH…., ALHAMDULILLAH USTADZ DENGAN ADANYA BLOG INI DAN PENJELASAN KEPADA UMAT TENTANG PEMAHAMAN BERAGAMA ISLAM DI ATAS AL QUR`AN DAN AS SUNNAH DENGAN PEMAHAMAN PARA SALAFUSHOLEH BUKAN DENGAN HAWA NAFSUNYA ATAU PEMAHAMAN KIAYINYA/USTADZNYA/SYAIKHNYA HENDAKNYA TERUS DI INGATKAN KEPADA UMAT, APALAGI DI ZAMAN SEKARANG INI MENYEBARNYA KESYIRIKAN, KEBID`AHAN, KERANCUAN BERAGAMA DST…, UNTUK TETAP BERDAKWAH SEBAB KEBENARAN HANYA SATU, WALAUPUN ORANG2 JAHIL, SYAETHON2 YANG MENGHALANGI SEMOGA ALLOH TA`ALA MEMBERIKAN KEMUDAHAN KEPADA USTADZ DAN SEMOGA ALLOH TA`ALA MEMBERIKAN HIDAYAH KEPADA YANG MEMBACA TULISAN USTADZ. BAARAKALLAHUFIIKUM.

  11. […] yang memberikan pernghargaan adalah Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif yang cenderung liberal, bahkan menurutnya, Front Pembela Islam (FPI) pun hormat kepada orang kafir ini. Media […]

  12. […] yang memberikan pernghargaan adalah Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif yang cenderung liberal, bahkan menurutnya, Front Pembela Islam (FPI) pun hormat kepada orang kafir ini. Media […]

  13. kurangnya ilmu & pemahaman akan agama ini yg menjadikan seseorang liberal atau berpaham liberal, terkadang ada org yg tdk mengaku”saya bkn liberal” tp tnp di sadari prilaku & pemikiranya mengarah liberal. Allahu yahdihim

  14. Umat islam di Indonesai secara umum sudah diincar oleh pemahaman “sipilis” (sekuler, pluralis, liberalis), Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang awalnya menganggap baik pemahaman tersebut, dengan bahasa dan konsep kemanusiaan yang se olah-olah “manusiawi” dan ilimah, saya hampir terbuai dan kejebak. tapi Alhamdulillah dengan kita mau bermajelis ilmu dengan ustad ustad yang mengikuti pemahaman shalafushalih (salafy) seperti ustad sofyan dan para asatid alhamdulillah Allah tunjukan jalan Nya.

  15. yang menganut ajaran islam liberal kayak nya sudah buntu pikirannya. bisa bisa nanti perempuan di perbolehkan bugil di khalayak umum, tanpa berbusana muslim. apa gak terpikir olehnya mental generasinya akan rusak gara gara pola pikir liberal mereka. kayaknya jemaah islam libearal sedang menunggu kedatangan dajjal, yang di prakarsai oleh zionis yahudi lewat freemasonnya. hati hati lah umat islam yang telah menjalankan syariat islam sesuai alquran dan sunnah rasul.didiklah moral generasi kita sesuai alquran dan sunnah rasul. karena anak anak kita lah harapan kita, yang merupakan amanah dari allah untuk membinanya. kalau kita tidak peka atau tidak tanggap maka anak anak kita akan terpengaruh oleh prinsip jemaah islam liberal. mengenai amal ibadah kita saja sudah susah kita pertanggungkan jawabkan di hadapan allah, di tambah lagi mengenai pertanyaan tentang anak anak kita di akhirat, apa tidak bertambah pusing kita nantinya di hadapan allah. jadi hati hati lah terhadap jemaah islam liberal. dan terima kasih kepada yang menulis tulisan tersebut, sehingga menambah pengetahuan kita tentang sepak terjang mereka. semoga allah selalu melindungi kita dari godaan syaitan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini